Yang Mesianistik dari Kumpulan Cerpen Sabtu Kelabu- Satu
lagi karya sastra (kumpulan cerpen) karya terbaik anak NTT yang berjudul Sabtu Kelabu. Sabtu Kelabu adalah karya
sulung dari seorang remaja SMAN I Maumere kelas XII jurusan Bahasa, bernama
Erlyn Lasar. Dalam rangka hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan
Nasional, kami para guru Bahasa dan Sastra Indonesia bersama para siswa
terlibat dalam kegiatan membedah buku kumpulan cerpen ini. Membaca Sabtu Kelabu,
kami dihadapakan pada rasa kagum akan kebersahajaan seorang gadis yang
cemerlang memotret realitas dan membahasakannya dengan bahasa yang
sungguh-sungguh memukau. Erlyn, sang penulis buku kumpulan cerpen ini ibaratnya
cerpenis hati nurani yang membongkar kegamangan dan kegalauan manusia dari
segala karut-marut hidup untuk sejenak tercenung dan merenung dari semua
lakonan hidup.
Buku terbitan Penerbit Mosalaki Librica tahun 2011 ini patut diberi apresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat NTT, khususnya semua pegiat sastra dan yang meminati sastra. Erlyn tampil luar biasa dalam karya adiluhungnya ini. Rm. Richardus Muga, dosen STFK Ledalero dan Sekretaris Keuskupan Maumere dalam testimoninya terhadap buku ini melukiskan, “Saya mengagumi karya ini, justru karena ditulis oleh seorang pelajar. Ia memiliki ketajaman dan kemampuan membahasakannya dalam narasi yang bening.
Kepiwaian seperti ini tidak banyak dimiliki kelompok segenerasinya. Penulis menyentuh realitas sosial yang luas, menyelisik relung-relung kehidupan manusia. Ia bukan saja menyuarakan pedihnya nasib seorang pemulung, tapi juga kemapanan hidup mewah yang berakhir naas. Ia tidak saja menyoroti hingar-bingar kehidupan kota tapi juga eloknya keharmonisan pedesaan. Ia tidak saja meretas isu seputar persaudaraan antar manusia, tapi juga keharusan manusia bersahabat dengan alam. Semua dimensi keberadaan manusia itu dikemas dalam diksi yang rapih dan apik terpilin”. Senada dengan testimoni tersebut di atas, saya kira kita sepakat bahwa Erlyn sang penulis buku kumpulan cerpen ini mengamini kata-kata dari Filosof Walter Benyamin, hanya seni (sastra) yang mampu melihat totalitas sejarah dan menunjukkan hal yang lain, yang melampauinya.
Sabtu Kelabu, cerpen yang menjadi judul untuk buku ini adalah kisahan atas kekhasan yang meninggalkan pertanyaan atas kepergian seseorang yang menggerus sukma. Tokoh aku dalam Sabtu Kelabu kehilangan sang adik, akibat gempa bumi. Erlyn mengambil sudut pandang orang pertama dengan membahasakan rasa kehilangan dalam nada sedih duka yang miris degan sedikit protes, “hari-hariku merayap dalam sepi, mengaburkan senyum surya, membuat kelabu langit biru itu. Sepoi-sepoi angin yang menghembus kurasakan bagai pengingat perih sembari mampu mengiris hati. Tak hentinya kukeluhkan pada Dia, yang tahu segalanya, (hal 57)”.
Filu Merah Putih, salah satu cerpen dalam buku ini, menurut Pater Paul Budi Kleden, SVD, Erlyn menampilkan kejutan. Dalam cerpen ini Erlyn berhenti bercerita ketika pembaca berharap alur ceritanya mengalir lurus sampai pada pengumuman pemenang lomba memasak. Cerpen Filu Merah Putih melukiskan ketika seluruh emosi yang terbangun membuat orang berharap bahwa ibu si tokoh utama akhirnya mendapat hadiah sebagai pemenang. Erlyn tak melanjutkan ceritanya. Terasa ada yang belum selesai. Tetapi dengan ini penulis menunjukkan satu kedewasaan emosi yang tidak mau menjadikan para tokoh pemuas gejolak emosi atau perpanjangan gagasan penulis semata, (hal 18).
Menelisik lebih dalam 17 cerpen, dari cerpen Aku sampai cerpen Akhirnya dalam buku ini, kita para pembaca dihadapkan pada pemahaman bahwa karya sastra tak pernah lahir begitu saja. Melainkan melukiskan, menggambarkan dan memantulkan torehan-torehan sejarah atau kisah yang melintas dan menggumpal dalam imaginasi artistik penciptanya. Sastra selalu berurusan dengan semua potensi dan daya hidup yang melekat dan yang tumbuh dari sebuah konteks masyarakat. Karena itu sastra tidak selalu historis-politis tetapi juga mesianistik. Mesianistik inilah yang tampak dalam kumpulan cerpen Sabtu Kelabu.
Kumpulan cerpen Sabtu Kelabu menyoroti tidak hanya realitas aktual tetapi lebih dari itu ia menunjukkan sebuah harapan yang lebih dari realitas lain, ‘dunia’ baru dengan suasana serba lain. Hal ini menyata dalam cerpen Senja. Tuhan, tatap aku (hal 197), adalah nukilan kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai doa pengharapan. Sebuah pengungkapan madah dari kedalaman jiwa bahwa kata-kata itu menjadi mesias/penyelamat karena kata-kata itu sendiri adalah doa. Atau juga cerpen Ya, penulis menggores kisah yang amat sentimentil tentang Tuhan yang selalu berbela rasa dengan manusia dalam deret kata-kata yang tersirat, ‘terkadang Tuhan menyembunyikan ‘matahari’ku dan menampakan kedahsyatan ‘petir’ dan ‘kilat’-Nya. Tetapi, ternyata semuanya merupakan awal dari jelangnya sang’pelangi’, indah mewarnai hari tanpa ‘matahari’ (hal 213).
Dengan demikian membaca seluruh cerpen dalam buku kumpulan cerpen Sabtu Kelabu semua dihadapkan pada pertemuan sebagai manusia dengan sesama dalam suasana khas kita. Maka sastra pada dasarnya melonggarkan eksistensi kemanusiaan kita dan orang-orang sekitar kita. Sastra membuka ruang di sekitar eksistensi manusia untuk saling berdialog dan saling memahami. Dari dialog dan pemahaman kita akhirnya sadar bahwa semua realitas yang melingkupi kita tidak hanya historis-politis tetapi juga punya pesan mesianistik. (Hengky Ola Sura)
Ahhayy, terimakasih tta guru,.:D
ReplyDeleteTerus berkarya No.
ReplyDelete