(Konteks Politik)
Oleh Hengky Ola Sura
Koordinator Divisi Indok PBH NUSRA
Judul tulisan di atas sebenarnya adalah pendalaman lebih lanjut dari berita pada media on line Bisnis.com yang saya baca pada edisi Minggu, 18 Mei 2014. Entah berlebihan atau tidak tetapi pernyataan SBY sebagai ketua umum partai Demokrat tentang kader partainya yang tak tahan berada di luar pemerintahan dipersilakan untuk mencari peluang karir di parpol lain. Tulisan ini lebih merupakan ulasan dari pendapat SBY pada rapimnas Partai Demokrat dan bukannya sebuah luahan perasaan benci terhadap SBY apalagi partai yang didirikannya bernama Demokrat itu. Serentak juga sebuah ajakan memahami politik sebagai bentuk paling mulia menuju terciptanya masyarakat yang beradab.
Untuk lebih jelasnya saya sengaja memasukan pernyataan SBY tersebut dalam tulisan yang saya kutip dari Bisnis.com, “Kekalahan Partai Demokrat pada Pileg 2014 kemarin, merupakan pukulan yang cukup telak bagi Partai Demokrat. Pasalnya, Partai Demokrat adalah partai incumbent. Namun dapat dikalahkan dengan PDI Perjuangan yang selama ini menjadi oposisi Partai Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri berduka dengan kekalahan Partai Demokrat pada Pileg 2014 kemarin. Namun, SBY tetap optimis bahwa Partai Demokrat tetap akan bangkit dari keterpurukan saat ini. "Rasa duka saudara-saudara sama dengan saya. Dengan izin dan pertolongan Allah SWT, serta kerja keras kita, bendera Partai Demokrat akan berkibar 5 tahun yang akan datang. Bintang kita akan kembali bersinar. Saya tetap akan bersama Partai Demokrat yang saya cintai ini dalam suka maupun duka," tutur SBY, Minggu (18/5/2014). Selain itu SBY juga mengatakan, jika tahun ini Partai Demokrat tidak dapat memenangkan Pilpres, maka SBY dan Partai Demokrat siap dengan segala risiko yang ada, termasuk menerima kekalahannya pada Pilpres 2014 nanti. "Jika kita tidak berada di Pemerintahan lima tahun mendatang, justru kita bisa berbenah dan berbakti kepada rakyat yang kita cintai. Badai pasti berlalu, habis gelap terbitlah terang," kata SBY.
SBY menegaskan, bahwa dirinya juga tidak akan menghalang-halangi kader Partai Demokrat yang akan pindah partai, jika tidak siap berada di luar Pemerintahan. "Bagi para kader yang ingin mencari peluang karir di parpol lain, saya persilahkan," tukasnya.”
Politik Kekuasaan
Saya coba menganalisis pernyataan SBY ini, terlebih pada dua kalimat terakhir. Membaca pernyataan SBY, pembaca dihadapakan pada sebuah penalaran yang cukup masuk akal yakni bahwa SBY tidak siap dengan kekalahan partainya. Bukti ketidaksiapan itu akhirnya merujuk pada dua kalimat terakhir dari pernyataannya yang menyatakan bahwa tidak akan menghalang-halangi kader partai Demokrat yang akan pindah dan mencari peluang karir di parpol lain. Alih-alih menunjukan harapan akan datang terang, SBY lalu dengan gampangnya mengaburkan terang itu. Alejandro MP Franklinw, sahabat diskusi dalam milis Forum Academy Award NTT (FAN) mengemukakan pendapatnya demikian, Hari ini Minggu 18 Mei 2014 termasuk hari paling sedih dalam perpolitikan Indonesia. SBY ajar rakyat Indonesia untuk menjadikan parpol sebagai ladang bermaling! Apakah ini berlebihan? Demikian adanya. Sudah lama para politisidi Indonesia menjadi kutu loncat alias gonta ganti partai politik. Dan tanpa sadar SBY hari merestui dan menghimbau para politisi untuk menjadi kutu loncat. Alias Gonta ganti partai? Enak aja!!! Begitu gampang mereka buat ini: pindah-pindah partai. Ini jelas menggambarkan apa yang masyarakat Indonesia sudah lama tahu bahwa orang ramai mendirikan partai politik dan masuk partai politik bukan karena dimotivasi untuk memperjuangkan idealisme (ideologi) untuk memajukan kehidupan bersama sebagai bangsa tapi semata sebagai ladang untuk jadi maling alias korupsi. Kalau ini yang menjadi motivasi utama, ya jelas orang tidak peduli dengan idealisme partai. Demi duit untuk kepentingan diri sendiri, orang bisa memeluk partai apa saja. Padahal seharusnya, orang pertama-tama masuk dan merangkul partai tertentu karena ingin memperjuangkan ideologi, idealisme atau platform partai tersebut. Dan ini yang seharusnya membuat seorang politisi fanatik dan berjuang habis-habisan. Bahkan kalau sampai jatuh miskin sekalipun ia akan tetap berjuang. Ia juga tidak akan pindah partai. Setelah reformasi ini tidak terjadi. Dan yang menyedihkan SBYpucuk tertinggi bangsa ini hari ini merestui politik seperti ini - politik kutu loncat yang tak berbasis idealisme, politik yang hanya dimotori oleh ketamakan. Saya akin SBY mengucapkan ini tanpa sadar, apa yang diucapkan tanpa sadar ini mencuat apa yang ada di dalam alam bawah sadarnya. Himbau SBY agar kader Partai Demokrat yang tidak becus pindah ke partai adalah himbauan salah dan menyesatkan bangsa.Sependat dengan Alejandro, saya juga mau mengatakan bahwa, SBY dalam pernyataannya mungkin telah sedang melucuti misi atau pun visi mulia partainya. Jika saja UU dan peraturan di Republik ini menghendaki SBY yang telah dua periode berturut jadi presiden dan kembali mencalonkan diri pada periode selanjutnya maka tidak mungkin SBY jatuh dalam paternialisme kepemimpinan ala Soeharto selama orde baru. SBY dalam keadaan yang labil telah mejadi sangat senewen dan tidak bijak mengajak kadernya untuk menjadi politisi-politisi tanpa idealisme, tanpa visi misi membangun kemaslatan hidup berbangsa dan bernegara yang kuat, yang adil, bermartabat dan sejahtera. Dan inilah salah satu gambaran dari politik yang disebut dengan politik kekuasaan. Politik kekuasaan menafikan politik kebudayaan. Politik kekuasaan selalu saja penuh dengan intrik mempertahankan kekuasaan. Ketika tak berdaya lagi maka salah satu yang ditempuh adalah pindah partai. Persis seperti yang SBY ajarkan kepada kader-kadernya. Sekalipun itu hanya sebuah imbauan toh ia tetap sebuah pernyataan yang fatal. Pendidikan politik yang jenis ini ibaratnya orang yang malu bertanya tersesat di jalan, terlalu banyak bertanya akhirnya memalukan. Persis dagelan kegalauan SBY serentak juga kader yang berada di lingkaran terdekat SBY.
Politik Kebudayaan
Pernyataaan SBY tetap harus ditelaah sebagai sebuah pelajaran preventif dan represif juga untuk pemimpin partai, kader partai dan terlebih seluruh warga negara sebagai bagian dari makluk hidup yang oleh Plato disebut sebagai zoon politicon. Pendidikan politik pada gilirannya harus membawa semua yang berkecimpung di dalamnya sebagai sebuah kebudayaan. Politik adalah bagian dari kebudayaan dan politik tidak akan jadi berbudaya jika pandangan kita tentang kebudayaan hanya sebatas pada pencapaian dari sebuah esensi yang semu. Yang hanya sebatas mencapai keinginan dan kepentingan sendiri. Atau menurut bahasanya Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Surat dari Palmerah, kebudayaan bukan sekedar hiasan dinding, embel-embel yang disebut keindahan. Kebudayaan adalah suatu kata kerja, untuk menumbuhkan kualitas kehidupan manusia. Dengan suatu pandangan kebudayaan, politik akan menjadi kemungkinan besar untuk mengembangkan kerja kemanusiaan. Bukan rebutan kursi.Faktanya politik kekuasaan masih terlalu kuat mendominasi. Soal kursi, ia hanya sebuah tempat untuk duduk, tetapi ia simbol dari sebuah kemeneterengan bernama kekuasaan. Orang lupa bahwa kelak, suka atau tidak suka kursi itu juga akan ditinggalkan. Banyak teman-teman dalam bahasa yang sangat normatif bilang begini, “kami ingin bekerja lebih maksimal ketika kami mencalonkan diri menjadi caleg dan berada dalam lingkaran legislatif. Telak memang, tetapi kita kadang terjerumus juga dalam politik kekuasaan. Politik kekuasaan versus politik kebudayaan, semoga saja membawa kita pada pemahaman lebih mendalam dan mempratikkan lebih sungguh politik kebudayaan. Tidak gampang tetapi kita memang harus memulainya.
No comments:
Post a Comment