Saturday, 2 April 2016

Beriman dengan Mata Terbuka

(Catatan Kritis atas Film Bunga Kering Perpisahan Karya Hanung Bramanto)


Oleh Hengky Ola Sura

Wakil Direktur Penerbit Carol Maumere





Simpan bunga kering ini, Dewiku,
Sampai kau terbebas dari belenggu.
Kalau sampai waktunya nanti,
Kalau kita memang jodoh sejati,
Kirimlah bunga ini padaku kembali
Dan aku akan datang padamu. Aku janji!



Bunga Kering Perpisahan sesungguhnya adalah luka. Setidaknya demikian, cinta yang pada galibnya buta seolah tak pernah bisa membatasi tembok yang memisahkan, tetapi apa lacur, menonton film mahakarya Hanung Bramanto yang diadopsi dari puisi esai Denny JA ini kita dihadapkan pada dada yang bergetar dan sumpeknya menjalani hidup hanya karena perbedaan agama. Film berdurasi empat puluh lima menit ini seperti sedang menghadirkan banyak fakta yang terjadi dengan hidup ke-Indonesiaan kita yang plural. Denny dengan puisi esainya dan Hanung sebagai sutradaranya menangkap fakta ke-Indonesiaan yang plural sebagai bagian mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi. Sebuah mimpi yang mulia. Lewat film ini tokoh Albert mewakili Kristen, anak pendeta dan Dewi mewakili Islam anak haji saling jatuh hati. Cinta yang memanggil mereka telah menyalibkan mereka pada luka. Albert, dalam film ini tampil sebagai tokoh yang sangat menghormati Dewi dan agamanya. Salah satu dari adegan yang membuktikan itu adalah ketika sama-sama dalam pendakian ke gunung, mereka sejenak berisitirahat dan Albert mempersilahkan Dewi untuk mengambil wudhu. Albert adalah tipikal manusia yang moderat dan kritis, sedangkan Dewi adalah sosok yang menghadirkan kelembutan dan telah meperdayai hati Albert untuk tak bisa kemana-mana. Pertemanan dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan merasakan adanya getaran perasaan akhirnya terbentur pada agama yang berbeda.

Menonton film ini, kita disuguhkan pada situasi serba problematis. Tak bisa menyalahkan Ayah Dewi yang bersikeras anaknya harus menikah dengan Joko. Tak bisa juga menyalahkan Dewi yang tak bisa mencintai Joko yang jadi suaminya. Hidup boleh saja harmonis tapi sesungguhnya diam-diam dalam keharmonisan itu juga tidak baik. Rumah Tangga Dewi dan Joko biasa-biasa saja. Joko dalam film ini akhirnya meninggal karena sakit. Dewi yang tetap menyimpan rasa sayang pada Albert akhirnya membantah Ayah untuk menemui Albert. Kisah tragik pun mengalir. Albert sama juga seperti Joko, telah menjadi jasat yang mati. Ia simbol anak muda yang memilih tak mencintai siapa-siapa selain Dewi. Perempuan bukan hanya Dewi, tetapi kenapa Albert harus memilih pergi dan mati. Aneh tapi nyata, itulah yang namanya cinta.


Keseluruhan lakonan kisah dalam film ini hanya mau menegaskan bahwa; pertama, beragama tetap harus dalam kerangka kaum beragama memberikan penghargaan yang luhur terhadap dimensi keindividuan manusia (supremasi individu), kedua, dalam kaitan dengan pembicaraan moral, kaum beragam mesti insyaf bahwa setiap individu memiliki tujuan dalam dirinya sendiri dan juga memiliki hak prerogatif untuk menentukan moralitas pribadinya (prinsip invidualitas moral dan otonomi moral), ketiga,non-intervensi. Dalam prinsip ini, kaum beragama diharamkan untuk mengintervensi kebebasan individu dalam beragama atau berkeyakinan. Menyaksikan kisah Ayah Dewi yang mengatakan Albert kafir dan ia takut murka neraka hanya karena anaknya menjalin hubungan beda agama adalah salah satu bentuk mendiskreditkan agama lain tanpa bukti yang sahih. Menjadi pertanyaan apakah perbedaan menjadi salah satu bentuk penegasian terhadap pluralitas kebenaran dan kebebasan individu dalam beragama atau berkeyakinan? Menonton film ini kita juga diajak untuk berani keluar dari doktrin yang memasung bahwa kitalah yang paling benar, paling suci. Kekhawatiran hanya karena relasi beda agama tidak bisa dijadikan instrumen legitim untuk memisahkan relasi yang didasari cinta nan bening itu. Cinta Albert dan Dewi tidak sekedar rasa yang biasa. Ia sebuah kenyataan yang pada kedalamannya ia mengandung energi perlawanan terhadap mainstream serentak koreksi.

Denny JA lewat puisi esainya dan Hanung Bramanto dengan filmya adalah perpaduan dari mengangkat fakta salah kaprah yang timpang. Film ini pada akhirnya mengajarkan kepada semua agar beriman dengan iman yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika saja ayah Dewi membiarkan Dewi tetap menjalani hubungan dengan Albert dengan tetap memberikan mereka kebebasan yang bertanggung jawab dengan dasar cinta paling tulus, lalu dimana salahnya? Iman pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan dengan akal budi menjadi prasayratnya. Percaya sesungguhnya bukan dalam arti yang buta, melainkan manusia beragama perlu mencoba memahami apa yang diamininya. Kredo aku percaya karena tidak masuk akal mestinya dilenyapkan. Kaum beragama sejatinya beriman dengan mata terbuka bukan dengan mata tertutup.

Film ini akan menjadi lebih dramatis jika saja, tokoh Joko itu ditampilkan sebagai sosok yang juga benar-benar mengasihi dan menyayangi Dewi. Sayangnya Joko hanyalah figuran. Film ini eksplistasinya juga terlalu nampak lewat pembacaan puisi pada setiap adegannya. Hal yang menggiring penonton untuk mengetahui lebih dahulu jalan ceritanya. Sebagai sebuah film yang mengangkat realitas pluralitas ke-Indonesiaan film ini layak untuk ditonton. Bahwa semua agama datang dari Tuhan, tapi yang perlu kita camkan secara baik adalah siapapun kita, dengan situasi dan latar belakang masing-masing hendaknya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang kita anut sambil tetap terbuka terhadap nilai-nilai luhur yang dianut manusia lain. Iman tidak perlu melampaui siapa yang melampaui siapa. Beriman tetap harus dengan mata terbuka.




No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...