Telanjang Dada Melawan
Tambang
(Tentang Tambang di
Matim)
Oleh Hengky Ola Sura
Koordinator Divisi
Informasi & Dokumentasi PBH NUSRA
Miris
memang tetapi itulah perlawanan. Sekelompok ibu-ibu warga Tureng, kecamatan
Elar seperti tak punya daya berhadapan dengan pemerintah. Mereka memilih
menolak tambang dengan cara yang sangat menyentuh rasa kemanusiaan kita. Mereka
bertelanjang dada. Kisah ibu-ibu yang bertelanjang dada adalah sebuah
perlawanan kaum tertindas, orang pinggiran yang menyadari bahwa kalau dengan
argumentasi mereka pasti kalah. Mereka akhirnya memilih memblokir jalan dan
aksi blokir ini diikuti dengan bertelanjang dada.
Menurut Wikipedia telanjang dada adalah
aktivitas manusia yang dilakukan tanpa mengenakan baju. Istilah
ini biasanya tidak digunakan untuk wanita, karena
laki-laki lebih sering telanjang dada dibandingkan perempuan. Banyak laki-laki,
seperti petani dan pekerja
tambang yang bekerja dengan telanjang dada karena faktor cuaca. Ketika
ibu-ibu bertelanjang dada melawan tambang maka sesungguhnya mereka sedang
melucuti rasa (baca, budaya) malu mereka untuk sebuah perjuangan yang nyaris
tak dipedulikan penguasa.
Harian Pos Kupang
(25/8), mengangkat
kisah telanjang dada ini. Dan aksi ini menurut Yosep Durahi camat Elar sebagai
hal yang paling dikecewakannya. Mengenai rasa kecewanya, saya kira publik
pembaca dan siapa saja yang concern pada
perjuangan rakyat justru lebih kecewa dengan sang camat dan terlebih Bupati,
Yoseph Tote yang menyatakan belum mengeluarkan izin tambang. Tentang ini, saya
berharap semoga revolusi mental yang menjadi jargon Jokowi sebagai presiden
terpilih sungguh-sungguh merubah mental pemimpin-pemimpin daerah kita secara
khusus di NTT. Lebih-lebih untuk sang camat di Elar dan sang bupati.
Perempuan versus Tambang
Perlawanan
ibu-ibu dengan bertelanjang dada adalah bentuk perlawanan atas maskulinitas.
Mengapa? Jawabannya adalah karena pertambangan
itu sendiri adalah sebuah industri yang terkesan maskulin. Kathrin Robinson
dalam tulisannya “Women, Mining and
Development mengemukakan secara eksplisit bahwa maskulinitas dari
pertambangan ditampakkan oleh penetrasi alat berat untuk mengeruk isi perut
bumi, dominasi pekerja lelaki, penggunaan teknologi canggih, dan kekuatan
penghancur. Lebih jauh dari itu hemat saya, maskulinitas itu juga tampak dari
sikap arogansi pejabat dan aparat di seputaran lokasi tambang. Menghadapi
tindakan warga yang memblokir jalan masuk ke area pertambangan, aparat menyebut
aksi ini sebagai bagian dari perbuatan
melawan hukum. Benar demikian. Masalahnya adalah bahwa rakyat benar-benar berada pada nasib paling getir. Memilih
mempertahankan hasil-hasil pertanian dan perkebunan dari mata air yang juga
mengaliri sawah-sawah mereka atau pasrah membiarkan tanaman pertanian dan
perkebunannya mati. Hal ini secara amat
jelas disampaikan oleh Pater Simon Suban Tukan, SVD, sebagai seorang pemerhati
lingkungan dan keutuhan alam ciptaan dari JPIC SVD Ruteng. Menurutnya, ketika
berbicara tentang kampung Tureng maka pertambangan adalah sesuatu yang haram.
Alasan yang paling mendasar adalah pada tahun 2011, pemerintah membangun waduk
dan jaringan pengairan sawah. Anggarannya bersumber dari APBN sebesar 40
miliar. Waduk sudah dibangun dan yang tersisa adalah jaringan pengairannya menuju
sawah. Aneh tapi nyata karena aktivitas tambang justru jalan terus di Tureng.
Berharap pada
pemerintah kabupaten dalam hal ini Pemkab Matim seperti menabrak tembok tebal
yang tak dapat runtuh dan terbongkar. Memilih berargumentasi juga tak bisa maka
warga memilih dengan jalan memblokir. Lebih jauh dari itu bertelanjang dada.
Maka dalil pembenaran untuk menakuti warga adalah perbuatan melawan hukum yang
akibatnya adalah masuk penjara adalah bukti
arogansi kekuasaan. Aksi perempuan melawan tambang
dengan bertelanjang dada adalah perlawanan yang mewakili peran para
ekofeminis. Perempuan sebagai ibu, menuntut tanggung jawab lebih bahwa sebagai
ibu, mereka memilih kedekatan khusus dengan alam. Kisah ibu-ibu di Tureng yang
bertelanjang dada melawan tambang sebenarnya sebuah pukulan paling telak bagi
investor dan pemerintah bahwa mereka masih sangat layak hidup jika tanpa
tambang. Perempuan-perempuan yang bertelanjang dada adalah para ekofeminis yang
sedang berjuang merawat bumi.
Telanjang
Dada dan Restorasi Ekologis
Tidak berlebihan atau
sok gagahan tetapi aksi telanjang dada menolak tambang adalah aksi bisu
perlawanan menuju restorasi ekologis. Disadari atau tidak tetapi perjuangan
restorasi ekologis itu menuntut sebuah ketegaran. Tidak hanya menolak malu karena
memamerkan buah dada tetapi aksi telanjang dada adalah roh elan vital yang
bertujuan melawan dehumanisasi yang dipraktekan oleh pemerintah yang membiarkan
tambang jalan terus. Tentang ini benar apa yang dikatakan oleh Jared Diamond
dalam teori collapse-nya (dikutip
dari M. Irsad Thamrin dan M. Farid, 2010:365) bahwa, runtuh dan berkembangnya
sebuah komunitas di suatu lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi
alamnya saja tetapi juga tergantung pada
manusia yang tinggal di dalamnya yang pada konteks tertentu ditentukan
pemimpinnya. Jadi penyebab dehumanisasi
dalam kasus tambang di Tureng adalah Pemkab Matim.
Menolak
malu demi restorasi ekologis pada prinsipnya adalah usaha menuju terciptanya
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang. Undang-Undang Lingkungan Hidup dan berbagai undang-undang
pengelolaan sumber daya alam dan berbagai sektor lainnya menjamin setiap orang
mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi
lingkungan hidup yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup dan hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku.
UU
RI no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal
1 angka 1 dan 2 secara amat
jelas menandaskan bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Mengaca
dari UU no 32 di atas maka aksi telanjang dada melawan tambang adalah sebuah
aksi yang menohok kesadaran kita bahwa sekalipun mereka tidak pernah paham dan
tahu tentang undang-undang hukum dan sejenisnya toh aksi mereka adalah bentuk
melindungi lingkungan tempat mereka hidup dan mewarisi hidup untuk generasi
mereka selanjutnya. Spirit ekofeminis sebenarnya sedang ada dan hidup pada diri
ibu-ibu di Tureng maka bukan tidak mungkin aksi ini akan menjadi lebih dari
sekedar telanjang dada demi harga diri mempertahankan alam, merawat lingkungan
hidupnya demi harmonisasi. Cara berpikir ekofeminis saya
kira perlu juga ada dan hidup tidak hanya pada perempuan khususnya ibu-ibu di
Tureng tetapi ada pada diri dan hidup
kita semua.
No comments:
Post a Comment