Oleh Hengky Ola Sura
Bapa masih dalam perjalanan, mungkin sebentar lagi
tiba, anak mereka tunggu sebentar ya, duduk di tedang ( bahasa etnis Sikka-Flores, NTT artinya, bale-bale) itu
saja dulu. Saya tadi dengan bapa ke Maumere, kontrol kesehatan bapa. Begitu
kata-kata yang keluar dari mulut mama Anselina Nona, istri dari Viktor Emanuel
Rayon atau yang lebih dikenal dengan sapaan Baba Akong. Kami memilih berdiri di
depan rumah karena di tedang masih ada orang yang ternyata datang ke rumah Baba
Akong untuk membeli babi. Sepuluh menit berselang dan sebuah motor ojek
berhenti di depan rumah, ojek tersebut menghantar Baba Akong. Usai menemui tamu
dan bicara sebentar dengan tamu yang membeli babi, Baba Akong memanggil istrinya
untuk membayar ojek yang ditumpanginya tadi. Istrinya lantas menyampaikan
padanya, bapa ada tamu, Baba Akong langsung saja menghampiri kami, dan
mempersilakan kami masuk ke rumah. sebuah rumah dengan lantai keramik, beratap
seng dan berdinding bambu cincang. Rumah ini jauh sekali dari kesan mewah
seorang yang berdarah Tionghoa kebanyakan. Pada dinding rumahnya berjejer
sejumlah piagam penghargaan, bingkai
berisi foto saat penerimaan kalpataru
dan sebuah lemari kaca menghiasi ruang tamu. Sebelum memulai wawancara
Baba Akong membuka lemari kaca tersebut dan mengambil sebuah majalah berbahasa
Belanda. Anak bisa terjemahkan kasih saya kah, katanya pada saya, saya melihat
sejenak majalah tersebut. Ada fotonya dan hutan bakau. Aduh Bapa, maaf bahasa
Inggris mungkin bisa tetapi bahasa Belanda saya sama sekali tidak paham. Saya
pikir anak bisa. Kita lanjut cerita-cerita saja e, katanya dengan suara yang
sudah mulai kurang jelas. Penyakit komplikasi berupa jantung, sakit lambung,
malaria secara kasat mata telah membuat ketegaran sang penanam bakau peraih
kalpataru Juni 2009 ini mulai lamban.
Pria kelahiran Atambua, Timor, 2 September 1947 ini
sesungguhnya adalah seorang perantau lebih tepatnya seorang petualang. Dulu
waktu kami sekolah dasar, guru kami, Kornelis Seran bilang kalau tidak merantau
itu tidak ada pengalaman. Demikian kata pria berusia 66 tahun ini mengenang
jejak petualangnya. Dari Timor saya merantau ke Jawa, dari tanah Jawa lalu saya
ke Pulau Flores, di Maumere. Di Maumere saya kerja di toko Kali Mas. Saya kerja
di tokonya keluarga jadi tidak ada gaji. Bosan di toko, Baba Akong lantas
beralih mengikuti kapal barang dari pemilik toko Angkasa, saya lalu jadi
nakhoda kapal barang, bosan bawa kapal saya lalu berhenti. Getirnya pengalaman
mencari nafkah membuat Akong berpikir untuk harus memulai usaha sendiri.
Magepanda jadi tujuan baru jejak petualangan mencari rejeki. Magepanda adalah
salah satu kecamatan di pesisir pantai utara pulau Flores, jaraknya kurang
lebih 30 kilometer dari kota Maumere. Di sini saya usaha benih ikan bandeng. Sambil
menjalani usaha benih ikan bandeng atau yang lebih dikenal dengan nener. Baba
Akong rupanya memilih gadis pribumi Magepanda untuk pendamping hidupnya.
Anselina Nona, demikian nama wanita yang kini jadi istrinya. Menikah tahun 1975,
pasangan ini dianugerahi enam orang anak. Jejak petualangannya pun berhenti di
sini. Hidup berkecukupan dari usaha ikan nener yang dipasarkan ke pulau Jawa
serta ke negara Thailand membuat keadaan ekonomi keluarganya lebih mapan.
Kemapanan ekonomi yang menjadi kebanggan dari usaha menjual nener itu ternyata
luluh lantah saat gempa 12 Desember 1992 melanda pulau Flores. Seluruh harta
saya habis. Tidak ada yang tersisa, hanya pakain di badan. Perhiasan yang
tersisa paling hanya kalung di leher sang istri. Tsunami 1992 itu merubah
seluruh hidup kami sekeluarga. Baba Akong hanya sanggup mengenang masa jaya
dengan berjalan di seputaran pantai, menyaksikan lima ratusan pohon kelapanya
yang telah memberikan hasil harus tumbang tak tersisa. Saya bertanya dalam hati
sesungguhnya Tuhan ini maunya apa. Setiap hari saya berdoa, saya novena kepada
bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Pada suatu sore di awal tahun 1993, saya
jalan-jalan di pantai sambil berdoa. Ada semacam suara yang meminta saya
berbalik. Saya berbalik dan di belakang saya berdiri, saya lihat ada satu pohon
bakau. Dalam hati saya berpikir, saya ini harus tanam bakau,cerita Baba Akong
mengenang.
Baba Akong kembali ke rumah dan meminta istrinya
untuk menanam bakau di lokasi kebun mereka yang sudah jadi pantai. Mama
Anselina sama sekali tidak mau dengan keinginan suaminya untuk menanam bakau.
Saya bilang pada suami saya, Bapa tua, kita cari lahan tanam kelapa pisang saja
daripada tanam bakau untuk apa. Bakau itu bukan untuk kita makan toh. Baba
Akong rupanya menyerah pada ketegaran hati sang istri yang tidak mau turut
serta dalam menanam bakau. Selama tiga hari itu bapa sendiri turun ke pante,
tanam bakau. Sendiri cari bakau, sendiri gali lubang dan sendiri tanam. Hari keempat,
saya ingat bapa jadi saya ikut bapa ke pantai. Namanya suami jadi saya kasihan
lihat dia sendiri kerja begitu. Saya sendiri kira dia sudah gila, tambah lagi
tetangga bilang Baba Akong itu stres harta bendanya sudah habis jadi dia tanam
bakau. Ya kami tanam bakau, saya bilang, Bapa tua ini kita kerja buta e, kisah
mama Anselina. Tanam bakau memang bukan salah satu pekerjaan yang mudah. Dari
berbagai percobaan setelah gagal tumbuh karena hanya pakai batang/stek, biji
yang langsung ditanam, lubang yang kurang dalam Baba Akong akhirnya memutuskan
harus gunakan polybag. Tahun 1994 nyaris menyerah usaha menanam bakau bersama
istri dan anak-anak. Uang habis, saya minta mama jual kalung, satu-satunya
harta berharga yang tersisa, selain jual kalung kami juga jual babi. Dari hasil
penjualan kalung seharga lima ratus ribu rupiah saya beli polybag. Saya tahu
mama sedih tapi dia tahan saja, saya janji untuk beli kembali kalungnya kalau
sudah ada uang.
Bakau rupanya menjadi bagian dari dirinya. Setelah
tahun-tahun awal gagal tumbuh, coba lagi, akhirnya bakau-bakau yang dikoker di
polybag mulai ditanam. Gali lubang itu harus 40 cm dalamnya, biar akar yang
sudah mulai tumbuh dari polybag itu tertanam kuat dalam tanah atau pasir.
Bakau-bakau itu kini tumbuh subur dan menjadi hutan nan rimbun di sepanjang
pantai Ndete, desa Reroroja kecamatan Magepanda. Motivasi dasar dari seorang
Akong hanyalah untuk melindungi diri dari gempa dan bahaya tsunami. Tak pernah
terpikirkan dalam benak bahwa dari usaha menghijaukan daerah pesisir pantai
utara itu bakal menghantarnya diwawancarai khusus dalam acara Kick Andy di
Metro TV pada tahun 2008 dan meraih kalpataru pada tahun 2009 di istana negara.
Banyak tamu yang berkunjung ke hutan bakau seluas tiga puluh hektar itu hanya
untuk menyaksikan keindahan alam nan cantik berkat tangan dingin Baba Akong dan
istrinya. Baba Akong kini membina empat puluh dua kelompok binaan untuk
mengembangkan usaha penanaman bakau di kabupaten Sikka dan kabupaten Ende.
Kalau dihitung secara keseluruhan luasnya hutan bakau dengan kelompok-kelompok
binaannya maka menurut Baba Akong hutan bakau yang sudah dikembangkannya
mencapai seratus hektar.
Sambil menelusuri sejuknya hutan bakau di atas
jembatan bambu yang dibuat bersama kelompok binaan Sabar Subur, baba Akong berkisah,
jembatan ini kami bangun tahun lalu. Bantuan dana pembangunan jembatan ini dari
Belanda. Mereka pernah ke sini dan mereka senang sekali lihat hutan bakau ini.
Di tengah-tengah hutan bakau dibangun sebuah pondok peristirahatan nan asri
juga dari bambu. Kami berisitirahat sejenak di pondok ini, bercerita dan
menyusuri kembali jembatan bambu sepanjang tiga ratus meter. Baba Akong rupanya
mengenal baik semua jenis bakau dan memberikan sejumlah nama untuk bakau-bakau
yang ada. Ada bakau akar tongkat, bakau akar nafas, akar lutut, bakau gaharu
laut, bakau daun lebar, bakau santinggi, bakau biji kacang hijau. Nama-nama ini
diberi oleh Baba Akong karena rupanya yang menyerupai tongkat, akarnya setinggi
lutut, akarnya memberikan oksigen untuk ikan di kolam tambak. Menyerupai biji
kacang hijau dan bakau yang dapat dijadikan bonsai hias dan dijual dengan harga
yang sangat tinggi di pasaran sehingga Baba Akong menamainya dengan bakau
santinggi. Satu polybag bakau santinggi harganya mencapai lima puluh juta di
Surabaya.
Bakau itu dapat menghimpun dan memberikan kehidupan
bagi plankton-plankton. Baba Akong sendiri membuat perkiraan, satu hektar hutan
bakau menghasilkan sekitar dua puluh ton plankton. Bayangkan saja kalau sekitar
tiga puluh hektar atau seratus hektar hutan bakau. Pasti semakin banyak
plankton. Banyaknya plankton mengundang semakin banyak ikan, teripang dan aneka
jenis hewan laut yang berada di pantai sekitar hutan bakau. Anak lihat sendiri
di pantai Ndete, banyak sekali perahu-perahu nelayan penangkap ikan, karena
mereka tahu di sekitar hutan bakau itu pasti banyak ikan jadi mereka tidak
jauh-jauh melaut dari sini.
Gerimis yang turun lamat-lamat di Magepanda akhirnya berbuah
hujan membuat petualangan bersama Baba Akong dan Yulius Heribertus harus segera
diakhiri. Kami pulang kembali ke rumah Baba Akong menyusuri kembali jembatan bambu.
Saya dan Yulius harus ekstra hati-hati juga menjaga orang tua penanam bakau nan
bersahaja ini, kami cemas kalau-kalau ia jatuh terperosok dalam lumpur.
Kesehatannya memang mulai surut. Sudah sembilan tahun menderita penyakit
jantung. Ia menjalani sisa hidupnya dengan memelihara ternak untuk menopang
ekonomi keluarga. Kalau butuh uang paling-paling ke bank NTT untuk ambil
sedikit simpanan untuk makan dan kontrol kesehatan. Mama Anselina menghidangkan
untuk kami kopi dan biscuit Roma Kelapa. Sudah delapan puluan juta kami
keluarkan uang untuk kesehatan bapa, tapi saya bersyukur Tuhan Maha Adil, bapa
masih bisa jalan dan pergi jauh. Mama Anselina melanjutkan Bapa baru saja
pulang dari Madura untuk beri pelatihan penanaman bakau bagi masyarakat di
sana. Kami sudah sangat bersyukur hidup seperti ini dan memberikan seluruh
hidup dan kerja kami. Pertanyaan terakhir dari saya apakah baba mau bangun
rumah yang lebih mewah dari rumah yang sekarang? Saya tidak mau, yang begini
saja saya sudah bahagia. Saya masih mau menikmati hidup dengan pergi
jalan-jalan di hutan bakau. Suaranya mulai serak. Kami mengisi buku tamu, rasa
takjub pada orang ini semakin bertambah-tamabah, dari buku tamu saya membaca
tamu tidak hanya dalam negeri tapi juga dari mancanegara. Banyak mahasiswa,
wartawan, dosen, peneliti dan tamu yang meminta kesediaan hutan bakaunya untuk
dijadikan foto prewedding. Usia senja
sang penanam bakau ini tidak melunturkan semangatnya untuk terus menjaga hutan
bakau yang telah dikerjakannya selama dua puluh tahun sambil membuat pendampingan
untuk kelompok-kelompok untuk terus merwat bumi, menjaga pertiwi.
No comments:
Post a Comment