Saturday, 2 April 2016

Usia Senja Sang Penanam Bakau






Oleh Hengky Ola Sura

Bapa masih dalam perjalanan, mungkin sebentar lagi tiba, anak mereka tunggu sebentar ya, duduk di tedang ( bahasa etnis Sikka-Flores, NTT artinya, bale-bale) itu saja dulu. Saya tadi dengan bapa ke Maumere, kontrol kesehatan bapa. Begitu kata-kata yang keluar dari mulut mama Anselina Nona, istri dari Viktor Emanuel Rayon atau yang lebih dikenal dengan sapaan Baba Akong. Kami memilih berdiri di depan rumah karena di tedang masih ada orang yang ternyata datang ke rumah Baba Akong untuk membeli babi. Sepuluh menit berselang dan sebuah motor ojek berhenti di depan rumah, ojek tersebut menghantar Baba Akong. Usai menemui tamu dan bicara sebentar dengan tamu yang membeli babi, Baba Akong memanggil istrinya untuk membayar ojek yang ditumpanginya tadi. Istrinya lantas menyampaikan padanya, bapa ada tamu, Baba Akong langsung saja menghampiri kami, dan mempersilakan kami masuk ke rumah. sebuah rumah dengan lantai keramik, beratap seng dan berdinding bambu cincang. Rumah ini jauh sekali dari kesan mewah seorang yang berdarah Tionghoa kebanyakan. Pada dinding rumahnya berjejer sejumlah piagam penghargaan,  bingkai berisi foto saat penerimaan kalpataru  dan sebuah lemari kaca menghiasi ruang tamu. Sebelum memulai wawancara Baba Akong membuka lemari kaca tersebut dan mengambil sebuah majalah berbahasa Belanda. Anak bisa terjemahkan kasih saya kah, katanya pada saya, saya melihat sejenak majalah tersebut. Ada fotonya dan hutan bakau. Aduh Bapa, maaf bahasa Inggris mungkin bisa tetapi bahasa Belanda saya sama sekali tidak paham. Saya pikir anak bisa. Kita lanjut cerita-cerita saja e, katanya dengan suara yang sudah mulai kurang jelas. Penyakit komplikasi berupa jantung, sakit lambung, malaria secara kasat mata telah membuat ketegaran sang penanam bakau peraih kalpataru Juni 2009 ini mulai lamban.
Pria kelahiran Atambua, Timor, 2 September 1947 ini sesungguhnya adalah seorang perantau lebih tepatnya seorang petualang. Dulu waktu kami sekolah dasar, guru kami, Kornelis Seran bilang kalau tidak merantau itu tidak ada pengalaman. Demikian kata pria berusia 66 tahun ini mengenang jejak petualangnya. Dari Timor saya merantau ke Jawa, dari tanah Jawa lalu saya ke Pulau Flores, di Maumere. Di Maumere saya kerja di toko Kali Mas. Saya kerja di tokonya keluarga jadi tidak ada gaji. Bosan di toko, Baba Akong lantas beralih mengikuti kapal barang dari pemilik toko Angkasa, saya lalu jadi nakhoda kapal barang, bosan bawa kapal saya lalu berhenti. Getirnya pengalaman mencari nafkah membuat Akong berpikir untuk harus memulai usaha sendiri. Magepanda jadi tujuan baru jejak petualangan mencari rejeki. Magepanda adalah salah satu kecamatan di pesisir pantai utara pulau Flores, jaraknya kurang lebih 30 kilometer dari kota Maumere. Di sini saya usaha benih ikan bandeng. Sambil menjalani usaha benih ikan bandeng atau yang lebih dikenal dengan nener. Baba Akong rupanya memilih gadis pribumi Magepanda untuk pendamping hidupnya. Anselina Nona, demikian nama wanita yang kini jadi istrinya. Menikah tahun 1975, pasangan ini dianugerahi enam orang anak. Jejak petualangannya pun berhenti di sini. Hidup berkecukupan dari usaha ikan nener yang dipasarkan ke pulau Jawa serta ke negara Thailand membuat keadaan ekonomi keluarganya lebih mapan. Kemapanan ekonomi yang menjadi kebanggan dari usaha menjual nener itu ternyata luluh lantah saat gempa 12 Desember 1992 melanda pulau Flores. Seluruh harta saya habis. Tidak ada yang tersisa, hanya pakain di badan. Perhiasan yang tersisa paling hanya kalung di leher sang istri. Tsunami 1992 itu merubah seluruh hidup kami sekeluarga. Baba Akong hanya sanggup mengenang masa jaya dengan berjalan di seputaran pantai, menyaksikan lima ratusan pohon kelapanya yang telah memberikan hasil harus tumbang tak tersisa. Saya bertanya dalam hati sesungguhnya Tuhan ini maunya apa. Setiap hari saya berdoa, saya novena kepada bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Pada suatu sore di awal tahun 1993, saya jalan-jalan di pantai sambil berdoa. Ada semacam suara yang meminta saya berbalik. Saya berbalik dan di belakang saya berdiri, saya lihat ada satu pohon bakau. Dalam hati saya berpikir, saya ini harus tanam bakau,cerita Baba Akong mengenang.
Baba Akong kembali ke rumah dan meminta istrinya untuk menanam bakau di lokasi kebun mereka yang sudah jadi pantai. Mama Anselina sama sekali tidak mau dengan keinginan suaminya untuk menanam bakau. Saya bilang pada suami saya, Bapa tua, kita cari lahan tanam kelapa pisang saja daripada tanam bakau untuk apa. Bakau itu bukan untuk kita makan toh. Baba Akong rupanya menyerah pada ketegaran hati sang istri yang tidak mau turut serta dalam menanam bakau. Selama tiga hari itu bapa sendiri turun ke pante, tanam bakau. Sendiri cari bakau, sendiri gali lubang dan sendiri tanam. Hari keempat, saya ingat bapa jadi saya ikut bapa ke pantai. Namanya suami jadi saya kasihan lihat dia sendiri kerja begitu. Saya sendiri kira dia sudah gila, tambah lagi tetangga bilang Baba Akong itu stres harta bendanya sudah habis jadi dia tanam bakau. Ya kami tanam bakau, saya bilang, Bapa tua ini kita kerja buta e, kisah mama Anselina. Tanam bakau memang bukan salah satu pekerjaan yang mudah. Dari berbagai percobaan setelah gagal tumbuh karena hanya pakai batang/stek, biji yang langsung ditanam, lubang yang kurang dalam Baba Akong akhirnya memutuskan harus gunakan polybag. Tahun 1994 nyaris menyerah usaha menanam bakau bersama istri dan anak-anak. Uang habis, saya minta mama jual kalung, satu-satunya harta berharga yang tersisa, selain jual kalung kami juga jual babi. Dari hasil penjualan kalung seharga lima ratus ribu rupiah saya beli polybag. Saya tahu mama sedih tapi dia tahan saja, saya janji untuk beli kembali kalungnya kalau sudah ada uang.
Bakau rupanya menjadi bagian dari dirinya. Setelah tahun-tahun awal gagal tumbuh, coba lagi, akhirnya bakau-bakau yang dikoker di polybag mulai ditanam. Gali lubang itu harus 40 cm dalamnya, biar akar yang sudah mulai tumbuh dari polybag itu tertanam kuat dalam tanah atau pasir. Bakau-bakau itu kini tumbuh subur dan menjadi hutan nan rimbun di sepanjang pantai Ndete, desa Reroroja kecamatan Magepanda. Motivasi dasar dari seorang Akong hanyalah untuk melindungi diri dari gempa dan bahaya tsunami. Tak pernah terpikirkan dalam benak bahwa dari usaha menghijaukan daerah pesisir pantai utara itu bakal menghantarnya diwawancarai khusus dalam acara Kick Andy di Metro TV pada tahun 2008 dan meraih kalpataru pada tahun 2009 di istana negara. Banyak tamu yang berkunjung ke hutan bakau seluas tiga puluh hektar itu hanya untuk menyaksikan keindahan alam nan cantik berkat tangan dingin Baba Akong dan istrinya. Baba Akong kini membina empat puluh dua kelompok binaan untuk mengembangkan usaha penanaman bakau di kabupaten Sikka dan kabupaten Ende. Kalau dihitung secara keseluruhan luasnya hutan bakau dengan kelompok-kelompok binaannya maka menurut Baba Akong hutan bakau yang sudah dikembangkannya mencapai seratus hektar.
Sambil menelusuri sejuknya hutan bakau di atas jembatan bambu yang dibuat bersama kelompok binaan Sabar Subur, baba Akong berkisah, jembatan ini kami bangun tahun lalu. Bantuan dana pembangunan jembatan ini dari Belanda. Mereka pernah ke sini dan mereka senang sekali lihat hutan bakau ini. Di tengah-tengah hutan bakau dibangun sebuah pondok peristirahatan nan asri juga dari bambu. Kami berisitirahat sejenak di pondok ini, bercerita dan menyusuri kembali jembatan bambu sepanjang tiga ratus meter. Baba Akong rupanya mengenal baik semua jenis bakau dan memberikan sejumlah nama untuk bakau-bakau yang ada. Ada bakau akar tongkat, bakau akar nafas, akar lutut, bakau gaharu laut, bakau daun lebar, bakau santinggi, bakau biji kacang hijau. Nama-nama ini diberi oleh Baba Akong karena rupanya yang menyerupai tongkat, akarnya setinggi lutut, akarnya memberikan oksigen untuk ikan di kolam tambak. Menyerupai biji kacang hijau dan bakau yang dapat dijadikan bonsai hias dan dijual dengan harga yang sangat tinggi di pasaran sehingga Baba Akong menamainya dengan bakau santinggi. Satu polybag bakau santinggi harganya mencapai lima puluh juta di Surabaya.
Bakau itu dapat menghimpun dan memberikan kehidupan bagi plankton-plankton. Baba Akong sendiri membuat perkiraan, satu hektar hutan bakau menghasilkan sekitar dua puluh ton plankton. Bayangkan saja kalau sekitar tiga puluh hektar atau seratus hektar hutan bakau. Pasti semakin banyak plankton. Banyaknya plankton mengundang semakin banyak ikan, teripang dan aneka jenis hewan laut yang berada di pantai sekitar hutan bakau. Anak lihat sendiri di pantai Ndete, banyak sekali perahu-perahu nelayan penangkap ikan, karena mereka tahu di sekitar hutan bakau itu pasti banyak ikan jadi mereka tidak jauh-jauh melaut dari sini.
Gerimis yang turun lamat-lamat di Magepanda akhirnya berbuah hujan membuat petualangan bersama Baba Akong dan Yulius Heribertus harus segera diakhiri. Kami pulang kembali ke rumah Baba Akong menyusuri kembali jembatan bambu. Saya dan Yulius harus ekstra hati-hati juga menjaga orang tua penanam bakau nan bersahaja ini, kami cemas kalau-kalau ia jatuh terperosok dalam lumpur. Kesehatannya memang mulai surut. Sudah sembilan tahun menderita penyakit jantung. Ia menjalani sisa hidupnya dengan memelihara ternak untuk menopang ekonomi keluarga. Kalau butuh uang paling-paling ke bank NTT untuk ambil sedikit simpanan untuk makan dan kontrol kesehatan. Mama Anselina menghidangkan untuk kami kopi dan biscuit Roma Kelapa. Sudah delapan puluan juta kami keluarkan uang untuk kesehatan bapa, tapi saya bersyukur Tuhan Maha Adil, bapa masih bisa jalan dan pergi jauh. Mama Anselina melanjutkan Bapa baru saja pulang dari Madura untuk beri pelatihan penanaman bakau bagi masyarakat di sana. Kami sudah sangat bersyukur hidup seperti ini dan memberikan seluruh hidup dan kerja kami. Pertanyaan terakhir dari saya apakah baba mau bangun rumah yang lebih mewah dari rumah yang sekarang? Saya tidak mau, yang begini saja saya sudah bahagia. Saya masih mau menikmati hidup dengan pergi jalan-jalan di hutan bakau. Suaranya mulai serak. Kami mengisi buku tamu, rasa takjub pada orang ini semakin bertambah-tamabah, dari buku tamu saya membaca tamu tidak hanya dalam negeri tapi juga dari mancanegara. Banyak mahasiswa, wartawan, dosen, peneliti dan tamu yang meminta kesediaan hutan bakaunya untuk dijadikan foto prewedding. Usia senja sang penanam bakau ini tidak melunturkan semangatnya untuk terus menjaga hutan bakau yang telah dikerjakannya selama dua puluh tahun sambil membuat pendampingan untuk kelompok-kelompok untuk terus merwat bumi, menjaga pertiwi. 



No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...