Saturday, 2 April 2016

Yang Aneh dari Revisi UU MD3

Oleh Hengky Ola Sura dan Elda Gudipun

Staf Perhimpunan Bantuan Hukum NUSRA





Adalah Filsuf dan Sejarahwan Perancis, Ernest Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati. Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Bangsa adalah kaki langit. Sayangnya pemikiran briliant sang filosof ini rupanya tak berurat, tak berakar pada kepala-kepala legislator kita di Senayan. Publik Indonesia belakangan tersentak tak percaya dengan kerja DPR yang lebih tepatnya ngawur menghasilkan sebuah keputusan yang mau cari aman.

Pada 24 Oktober 2013, DPR secara resmi mengusulkan rancangan Undang-Undang tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (RUU Perubahan UU MD3) mencerminkan tindakan yang jauh dari harapan rakyat Indonesia. Pada 8 Juli 2014 yang lalu DPR mensyakan revisi UU MD3. Revisi ini pun menuai kritik dan protes dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah Koalis Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 dalam siaran persnya mengemukakan tiga persoalan dalam naskah revisi tersebut; Pertama, birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR. Pasal 220 naskah revisi UU MD3 memuat ketentuan yang cenderung membuat anggota DPR sulit untuk disentuh proses hukum. Ketentuan pemanggilan dan permintaan keterangan [baca: pemeriksaan] anggota DPR harus seizin Presiden khususnya berkaitan dengan tindak pidana khusus semisal korupsi bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Ketentuan ini juga akan berimplikasi pada proses hukum yang semakin berbelit dan menimbulkan celah penghilangan atau perusakan alat bukti. Bahkan akan membuat proses hukum terhadap anggota DPR macet. Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang meliputi keseluruhan proses [penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman]. Lebih aneh lagi, aturan ini juga diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.  

Kedua, dihapusnya ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam sejumlah pasal yakni Pasal 95 yang mengatur masalah komposisi pimpinan komisi, Pasal 101 terkait komposisi pimpinan badan legilasi, pasal 106 tentang komposisi pimpinan badan anggaran, pasal 119 tentang komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Pasal 125 menyangkut komposisi pimpinan Badan Kehormatan, Pasal 132 terkait komposisi Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang mengatur tentang pimpinan Alat Kelengkapan DPR [AKD]. Dihapusnya keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi tanpa penjelasan utuh merupakan sebuah upaya kemunduran dalam mendorong perempuan yang didukung sebagai pembuat kebijakan. Padahal pada periode 2014-2019 jumlah anggota DPR perempuan. Bukannya membuat kebijakan yang mampu menambal situasi tersebut, namun DPR justru semakin mempersempit peran perempuan dalam posisi strategis di parlemen. Situasi ini tentu merupakan hambatan nyata bagi kiprah perempuan dalam bidang politik.  

Ketiga, menguatnya usulan hak anggota DPR untuk mendapatkan dana aspirasi atau daerah pemilihan [dapil]. Jika pada awal naskah revisi UU MD3 mengenai usulan hak dana aspirasi/dapil ini berbentuk hak mengusulkan program, kemudian dalam perkembangan pembahasan terbaru usulan berubah menjadi hak untuk mendapatkan jatah alokasi dana dengan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah. Semakin parah karena usulan ini tanpa disertai dengan mekanisme implementasi dan pertanggungjawaban yang jelas. Sehingga rawan dari sisi akuntabilitas. Lebih aneh lagi ketentuan ini hanya untuk anggota DPR, bukan untuk DPD dan DPRD.

Alih-alih duduk pada kursi kepunyaan rakyat untuk memperjuangkan nasib rakyat, legislator malah lupa pada tugas mulianya. Menjadi pertanyaan bersama rakyat Indonesia mengapa selalu saja legislator yang jadi tumpuan rakyat untuk berjuang menjadikan segala kepelikan hidup berbangsa dan bernegara yang bebas dari kungkungan penderitaan justru mencari aman kalau melakukan kesalahan dengan membentengi diri dengan merevisi UU nomor 27 tahun 2009. Revisi UU itu pun sungguh jauh dari harapan. Benny K. Harman selaku Ketua Pansus Revisi UU MD3 yang pada awalnya mengemukakan bahwa revisi UU MD3 adalah usaha untuk menjadikan lembaga parlemen lebih kredibel dan akuntabel pun sepertinya sama sekali tak nampak pada hasil revisi. Sebegitu dangkalnyakah pemikiran tim Pansus sampai-sampai lupa bahwa hasil revisi itu justru seperti hanya sebuah bentuk rasa aman untuk menyalurkan nafsu dan kekuasaan yang terorganisasi.

Lebih parahnya lagi Marsuki Ali, Ketua DPR RI ini justru mengemukakan bahwa revisi tim pansus sudah sesuai dengan amanat konstitusi. Dalih Marsuki memang kontradiksi. Terkesan sok gagah-gagahan dengan menyatakan bahwa revisi adalah amanat kontitusi sang ketua DPR justru lupa bahwa revisi tim Pansus ternyata mendapat sorotan publik. Abraham Samad, Ketua KPK bahkan terang-terangan mengemukakan bahwa revisi Undang-Undang MD3 menunjukkan bukti penolakan terhadap pemberantasan korupsi. "MD3 memuat aturan tentang itu berarti DPR dan pemerintah tidak punya keinginan memberantas korupsi secara sungguh-sungguh, seperti yang terdapat dalam pasal 245 UU MD3, yang antara lain berbunyi, pemeriksaan terhadap seorang anggota DPR untuk perkara korupsi harus mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Kehormatan DPR. Mahkamah Kehormatan ini kemudian akan mengeluarkan izin tertulis dalam waktu 30 hari. Isi pasal ini dapat berpotensi menjadi celah bagi penghilangan alat bukti atau melarikan diri karena memperumit administrasi proses hukum yang sedang berjalan.

Menjadi sangat jelas bahwa revisi UU MD3 sungguh-sungguh sebuah keanehan yang disadari oleh legislator tetapi dipaksakan untuk sebuah hasrat yang tidak beradab bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Semangat good governance seperti semangat anti korupsi, tranparansi dan kesetaraan perempuan diabaikan. Eva Sundari politisi PDIP yang juga anggota Komisi III DPR menyebut revisi ini dimotori oleh niat tidak baik dari kelompok koalisi yang terkontaminasi polarisasi pilpres yang ingin melembagakan peperangan pilres ke Senayan hingga motifnya menang-menangan, tidak peduli ongkosnya bagi demokrasi keterwakilan dan akuntabilitas.

Dalam diskusi bersama kawan-kawan PBH NUSRA kami setuju dengan adanya Revisi Undang-Undang MD3, tetapi kurang setuju dengan beberapa pasal yang direvisi kembali tentang Pidana Khusus (Lex Specialis derograt lex generalis) karena dengan adanya pasal-pasal tersebut dianggap telah menyelamatkan banyak kaum elit politik untuk melakukan korupsi. Untuk itu sangat diharapkan Revisi Undang-Undang MD3 dapat ditinjau kembali. Dilain pihak kami melihat bahwa dengan adanya Revisi Undang-Undang MD3 terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan dalam pengambilan keputusan yakni dalam hal ini adanya dewan kehormatan yang dinilai dapat memperlambat dan menghambat proses hukum. Lebih lanjut mewakili rakyat Indonesia kami juga mengharapkan agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak gegabah untuk menandatangani Revisi Undang-Undang MD3 agar tidak meninggalkan polemik.

Indonesia ini rumah bersama yang cita-citanya adalah pencapaian untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Demikian pernyataan Renan. Bangsa adalah juga kaki langit. Kaki langit itu impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah. Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi yang aneh dari revisi itu segera direvisi dengan lebih baik dan tidak terkandung motif-motif untuk melemahkan kemajuan demokrasi di Indonesia.


No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...