Saturday, 2 April 2016

Ajak Anak Mencintai Sastra

Oleh Hengky Ola Sura
 

Mantan Staf Pengajar SMA Seminari BSB Maumere.
Kini bergiat di Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana)






Mochtar Lubis dengan yakin pernah mengungkapkan bahwa sastra mampu menggerakkan gelombang kesadaran masyarakat, serta menyuntikan motivasi masyarakat guna melakukan loncatan tranformasi kebudayan selekas-lekasnya. Sebab karya sastra memiliki spririt untuk membangun nilai-nilai kemajuan. 


Membaca karya sastra diyakini bisa menjadi cara ampuh untuk mengasah imajinasi yang amat dibutuhkan dalam perkembangan sebuah bangsa. Tidak heran jika di negera-negara maju seperti Jerman, Perancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus membaca hingga 22-32 judul buku sebagai syarat kelulusan. Satu hal yang saya kira berbanding terbalik dengan pendidikan kita di Indonesia dan lebih khusus di NTT. Patut diketahui bahwa fungsi terpenting pendidikan bukanlah mencetak manusia-manusia super cerdas yang picik hati nuraninya tetapi lebih dari itu menyadari bahwa pendidikan pada akhirnya adalah membawa orang-orang terdidik pada karakter yang baik, berkualitas dan punya andil bagi diri sendiri, masyarakat dan kehidupan sosial yang jangkauannya lebih luas.

Tulisan berikut adalah pendapat pribadi dari sebuah torehan pengalaman sebagai mantan guru dan juga sebagai bagian dari ikthiar memajukan sastra anak-anak NTT yang sesungguhnya sangat berbakat ketika dipoles, diasah dan dilecuti semangat positif bahwa mereka sesungguhnya bisa jauh lebih berkembang dan maju. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan bahwa sastralah yang paling utama dan paling penting.

Sebagai pengajar, kebanggan terbesar seorang guru bahasa dan sastra adalah ketika siswa-siswanya mampu menulis, sebuah capaian yang paling tinggi dari kecerdasan berbahasa yang meliputi kemampuan mendengarkan/menyimak, kemampuan membaca, kemampuan berbicara dan yang terakhir kemampuan menulis. Dengan demikian saya kira kita tidak sedang mempromosikan sebuah kerja murahan yang hanya sekedar nampang pada publisitas media seperti profil sekolah tetapi lebih dari itu profil anak didik dalam sekolah sebagai bagian dari proses belajar yang terus-menerus. Sastra saya kira tidak dimaksudkan diajarkan untuk menjadikan peserta didik menjadi sastrawan, novelis, cerpenis, penyair dan atau juga dramawan tetapi sastra lebih dari itu mengasah kepekaan nurani batinnya agar menjadi lebih bermoral, memiliki semacam rasa yang boleh disebut sebagai sense of crisis dan dari rasa krisis itu mereka kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang turut merasakan pergulatan sosial hidup bermasyarakat dan terlebih juga pergulatan dengan batinnya.

Pengalaman menarik yang telah ‘menyeret’ saya dalam pergumulan dan pergulatan sebagai seorang mantan guru bahasa dan sastra adalah ketika berjuang meyakinkan kepada peserta didik bahwa mereka bisa dan mereka berpotensi menjadi orang-orang hebat ketika mereka belajar untuk mulai membuat sesuatu (baca, mendengarkan/menyimak, membaca, berbicara dan menulis dengan baik,benar dan tentunya berkualitas). Setiap kali, ketika kami memulai pelajaran saya minta mereka memperlihatkan buku harian dari pengalaman yang mereka alami disertai dengan refleksi atau pendapat pribadi mereka. Saya juga biasanya bertanya dan meminta penjelasan mereka dari buku-buku bacaan yang mereka baca. Saya akan selalu membandingkan dan menjelaskan kepada mereka mengapa pendidikan di Eropa, Amerika atau di Jepang maju pesat karena mereka diasah kepekaannya untuk membaca banyak buku. Kurikulum di negara-negara maju itu biasanya mewajibkan kepada peserta didik untuk dalam setahun harus menghabiskan beberapa buku bacaan. Awalnya siswa-siswa saya, susah sekali menerima gayanya saya dalam memberikan pelajaran. Banyak yang pasang wajah cemberut dan mengomeli dengan ekspresi yang jika tidak siap, berarti tenggelam dalam cara mengajar yang ikut lurus-lurus dalam buku paket, beri penjelasan dengan gaya ceramah, sedikit tanya jawab, kasih tugas dan siap belajar untuk ulangan. Sebagai guru, saya berusaha menarik keluar cara pengajaran saya dari metode seperti itu. Model pembelajaran bahasa dan sastra hemat saya harus berada pada sebuah model yang inovatif. Ketika berbicara tentang drama misalnya, saya mengawali dengan berkisah tentang William Shakespeare yang termasyur dengan Romeo dan Julietnya, Rendra dengan Bengkel Teaternya, Putu Wijaya, N. Riantiarno, di NTT, Flores khususnya ada Olanama yang termasyur juga dengan Mayat-Mayat Berjalan atau kelompok teater Alethia dari Ledalero dengan teater-teaternya yang luar biasa memukau. Saya coba menunjukkan video-video dari drama atau juga puisi-puisi yang ada dramatisasinya. Atau mengisahkan kepada mereka tentang salah seorang penyair NTT, Mario F. Lawi yang kini puisi-puisinya dibahas dalam kelompok diskusi Salihara karena dimuat pada kolom puisi Kompas dan Koran Tempo. Dalam diskusi-diskusi tentang sastra kepada siswa saya menghadirkan pada mereka berupa rekaman video diskusi kelompok Salihara asuhan Goenawan Mohammad dan masih banyak kegiatan kreatif lainnya selama pembelajaran bahasa dan sastra. Dari hasil kegiatan pembelajaran kreatif, saya sedikit berbangga karena ada siswa yang telah mampu menulis pada Jurnal Sastra Santarang yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Mereka mulai terlibat dalam penelitian-penelitian kecil, mampu menulis esai, drama dan puisi dari hasil pengamatan dan juga realitas yang mereka alami. Ada lagi yang menulis sangat bernas pada buletin dan mading sekolah. Kegiatan-kegiatan kreatif ini saya kira telah dan sedang membawa mereka untuk sungguh-sungguh mencintai sastra. Tentu semua kegiatan ini dilakukan dengan tetap harus pada semangat membaca. Tak ada cara lain untuk menjadi lebih hebat, lebih berkualitas untuk menjadi peka terhadap realitas dan mampu menulis selain membaca. Membaca sastra misalnya dapat menjadikan siswa-siswa menjadi pelajar yang berpikir lebih terbuka dan holistik terhadap karya yang dibacanya. Pernah saya meminta mereka membuat kliping cerpen-cerpen dari Kompas dan membuat telaah singkat satu halaman atas cerpen-cerpen yang mereka baca. Ada yang secara berani mengungkapkan kekaguman terhadap Agus Noor dalam cerpen-cerpennya. Ada lagi yang menulis tentang bahasa yang njlimet dan sukar dipahami dari cerpenis Seno Gumira Ajidarama. Saya memberikan apresiasi terhadap ulasan-ulasan mereka dengan tetap juga mengritik titik lemah dari telaah mereka. Suasana kelas diusahakan sedemokratis mungkin. Mereka boleh bertanya saat penejelasan sedang diberikan. Mengajar dan mengajak siswa mencintai sastra hemat saya, memberikan kenikmatan dan kesenangan tersendiri meskipun harus duduk berjam-jam dan membaca karya-karya mereka.

Sastra pada dasarnya mengajarkan kepada kita tentang manusia dan kemanusiaan. Sastra melahirkan ‘terang’ yang mampu membawa transformasi terhadap cara pandang yang membawa pembacanya untuk menjadi kritis, peka dan peduli juga terhadap sesamanya. Dengan mengajak dan mencintai sastra juga berarti membawa siswa pada ajaran moral dan tindakan preventif yang tidak seharusnya dilakukan. Mencintai sastra juga berarti membawa siswa/peserta didik pada pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan multikultural. Pada level yang lebih mulia mengajak siswa mencintai sastra berarti mewariskan nilai-nilai luhur kebudayaan yang termaktub di dalamnya. Keyakinan Mochtar Lubis tersebut di atas kiranya menjadi pelecut kita bersama yang peduli dengan pendidikan anak-anak bahwa mereka adalah generasi pewaris kebudayaan yang membanggakan dan bukannya yang memiriskan.

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...