Saturday, 2 April 2016

Wilda dan Tuhannya




(Apresiasi atas Buku Kumpulan Puisi Mengalirlah Sunyi)

Oleh Hengky Ola Sura

Peminat Sastra


Penulisan puisi, atau dengan meminjam kias sifat ketuhanan, menurut ilmu agama, pen-cipta-an sebuah puisi /sajak dilakukan seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra. Ia, si penyair atau penyuka puisi bukan membuat sesuatu dari yang tiada. Sajak / puisi adalah jadi-jadian. Lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki dan dibina oleh si penyair atau penyuka puisi. Ide (sajak/puisi) itu mirip konsep Plato sebagai rumus filsafat, berupa bentuk dasar, dapatlah dicatat bahwa budaya manusia padat dengan ide-ide yang dikembangkan, diwariskan, dicerap, ditimang-timang dalam hati atau benak. Hasil akumulasi lewat pewarisan (pendidikan), saling mempengaruhi, proses saling membenihi antarbudaya umat manusia dan antar manusia sepanjang sejarah. Sajak memang dikembangkan dari sesuatu ide, dalam pengertian filsafat secara demikian, dikembangkan oleh si penyair atau penyuka puisi dengan bahasanya sendiri, dituangkannya dalam bahasanya sendiri.
Kita publik NTT patut berbangga dan memberi apresiasi atas terbitnya kumpulan puisi Mengalirlah Sunyi, Penerbit Nusa Indah 2013, karya Wilda Wisang, seorang staf pengajar dari Universitas Flores dan juga seorang biarawati dari serikat CIJ. Sebagai pembaca puisi yang menyukai puisi dan menikmati puisi, saya mendalami puisi-puisi dalam buku ini lebih sebagai pergumulan Wilda dengan Tuhannya. Menjadi pertanyaan apakah Wilda mempunyai Tuhannya sendiri? Tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang paham ketuhanan. Tulisan ini lebih sebagai penafsiran atas refleksi yang terjalin dari kata hati, kata pikiran menjadi kata tertulis tentang adanya Sang Tuhan mewarnai seluruh proses pergumulan hidup seorang Wilda. Lewat seluruh pergumulan hidupnya memaknai sunyi sebagai bagian integral dari diri dan hidupnya yang mengalir. Mengalirlah Sunyi sungguh-sungguh sebuah pilihan kata  yang tragik dramatis dari kacamata pembaca biasa tetapi ketika merefleksinya lebih dalam kata mengalirlah sunyi itu sungguh sebuah kebangkitan dari kegelisahan yang meregang. Dalam hal ini saya sependapat dengan Leo Kleden  yang memberikan pengantar untuk buku ini. Kesunyian punya dua sisi. Yang pertama ialah suasana kosong, dimana orang merasa sendirian, terpisah dari orang-orang tercinta dan dari lingkungan yang diakrabinya. Inilah yang disebut kesepian (bahasa Inggris: Loneliness). Aspek kedua ialah sunyi yang penuh, semacam keheningan kudus, ketika orang merasakan keutuhan dirinya dalam kesatuan dengan semesta (kosmos), dengan orang-orang tercinta, dan dengan Yang Maha Ada. Itulah makna yang tersirat dalam ungkapan , O Beata Solitudo. Kata Latin solitudo kemudian diambil alih oleh kata bahasa Inggris menjadi solitude. Kedua sisi kesunyian itu adalah dua dimensi dari pengalaman rohani yang satu dan sama ketika orang menggumuli sunyi, (Mengalirlah Sunyi, hal 6). Puisi yang tepat untuk menggambarkan pergumulan dari dua aspek sunyi di atas termaktub dalam puisi berjudul Lirih Sembayangku.
aku telah kembali
dari perjalanan meniti malam
rongga-rongga kesunyian
menakar tawakalku
yang lelap di sayap sepi
ku naikan pasrah bergita janji
karena hasratku telah ditawan gelap
bersua juakah lirih sembayangku
diredup cahaya berujung keluh
dengan rindumu nan perkasa
aku di sini menggenggam niat
menunggu gema suaramu
bawa aku ke sunyimu abadi
Puisi di atas menyodorkan kepada pembaca bagaimana sebuah teks berbicara dan bagaimana seorang pembaca membaca. Media utama penyair untuk melukiskan gagasannya adalah bahasa. Agar memikat pembacanya, penyair harus memiliki kemampuan dalam mengolah bahasa. Pengolahan bahasa dalam karya puisi bersifat pribadi. Artinya, setiap penyair mempunyai kekhasan dalam mengolah bahasa, gaya bahasa itu yang menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan rekasi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
            Menurut Gorys Keraf (1991), bahwa gaya bahasa (style) dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Pendapat lain mengatakan bahwa gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Pradopo, 1987: 93).
 
Teks puisi di atas akhirnya perlu dipahami lewat proses interpretasi yang bersumber pada ”reception of a text. Induk teori interpretasi adalah hermeneutik. Namun hermeneutik mengandung berbagai variasi. Konsep dasar metodologisnya menyatakan bahwa teks memiliki dua tataran, yakni tataran permukaan dan isi. Pada tataran permukaan kita berurusan dengan tata bahasa dan semantik dalam teks tersebut, sedangkan pada tataran isi berurusan dengan interpretasi teks.
Pada bait pertama baris pertama dan kedua dari puisi Lirih Sembayangku, Wilda sebenarnya melukiskan secara ekspresif bahwa puisi tersebut sebenarnya adalah sebuah doa pagi, doa membuka hari.
aku telah kembali
dari perjalanan meniti malam
 Pada baris ketiga, keempat dan kelima 
rongga-rongga kesunyian
menakar tawakalku
yang lelap di sayap sepi

Wilda membahasakan secara implsit bahwa selama dalam tidurnya ia dinaungi kesepian yang boleh dikatakan sebagai bagian dari ukuran sembah baktinya sebagai seorang religius. Wilda secara amat mendalam membahasakannya, /rongga-rongga kesunyian/ menakar tawakalku/ yang lelap di sayap sepi/. Diksi seperti ini boleh dikatakan sebagai bagian dari rasa teralienasi terhadap malam. Malam identik dengan gelap dan kegelapan itu menghantarnya pada sebuah rasa sunyi, rasa sepi. Rasa sunyi, rasa sepi itu kemudian dibahasakan sebagai tawanan kegelapan, dan doa pagi itu berubah menjadi sebuah ungkapan kesedihan, pada bait kedua baris satu, dua, tiga dan empat,
ku naikan pasrah bergita janji
karena hasratku telah ditawan gelap
bersua juakah lirih sembayangku
diredup cahaya berujung keluh

Judul Lirih Sembayangku menjadi tepat karena sang penulis puisi ini mengungkapkan kepada sang Tuhannya bahwa niatnya tertawan gelap. Doa paginya menjadi sebuah kesusahan, seperti tanpa sinar, diksi /bersua juakah lirih sembayangku/, /diredup cahaya berujung keluh/, saya kira membahasakan suasana kesusahan itu.
Selanjutnya pada bait ketiga baris satu, dua dan tiga
aku di sini menggenggam niat
menunggu gema suaramu
bawa aku ke sunyimu abadi

Wilda secara amat bersahaja melukiskan sebuah ketulusan untuk berada pada sebuah kesunyian yang abadi. Bait ketiga sebenarnya dapat dipadankan dengan puisinya Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, yang juga sempat disentil Leo Kleden dalam pengantarnya,
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Diksi /bahwa aku ke sunyimu abadi/ adalah sebuah luahan kontemplatif untuk merasakan kedamaian paling hakiki dari sebuah kesunyian.
Pada puisi Kaulah Kemerlap, Wilda mendeskripsikan kemerlap sebagai Tuhan. Menurut saya, puisi ini berangkat dari pengalaman perjumpaan yang intens dengan Tuhannya yang memiliki cahaya. Kata kemerlap mendapat pemenuhannya karena kemerlap adalah semacam katarsis yang menghantarkannya pada kelembutan kasih Tuhannya yang berseri-seri dalam selusin janji.
terpekur aku dibias wajah rembulan
lembut sinarnya melukis kehendak
berseri-seri dalam selusin janji
telah pula ku baca rindumu
pada sebaris titah suci
            segera kubenam sujud di serambi harapan
            bersama selapik rindu dikerlip terangmu
hantarlah impianku ke batas hasrat
kaulah kemerlap digulita rinduku membisu

Puisi Kaulah Kemerlap sesungguhnya menggunakan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat. Wilda sebagai penulis puisi merefleksikan Tuhannya sebagai bagian integral yang memberikan kemerlap. Kemerlap itulah yang ditunjukan dalam struktur kalimat yang mencapai klimaksnya. Gaya bahasa itu diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Ia mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya.
/terpekur aku dibias wajah rembulan/, /lembut sinarnya melukis kehendak/
/berseri-seri dalam selusin janji/
/telah pula ku baca rindumu/
/pada sebaris titah suci/
            /segera kubenam sujud di serambi harapan/
            /bersama selapik rindu dikerlip terangmu/
/hantarlah impianku ke batas hasrat/
/kaulah kemerlap digulita rinduku membisu/

Akhirnya keseluruhan puisi yang berjumlah 30 dalam buku yang diberi judul Mengalirlah Sunyi ini, saya kira merupakan catatan pengembara dari seorang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ada saat-saat dimana ia mengalami konsolasi dan ada saat-saat dimana ia mengalami desolasi. Semuanya mengalir dalam sunyi. Seperti sunyi yang kadang-kadang luka, sunyi juga kadang-kadang lampus. Ke-tiga puluh puisi tersebut antara lain, Kusunting Rembulan, Jejak, Apakah Kau Sanggup, Lidah-Lidah Fajar, Mari Kita Merunduk, Langit di Batas Langit, Menanam Cinta, Di BerandaMu, Lirih Sembayangku, Kaulah Kemerlap, Kenangan Yang Tertinggal, Senja Sebuah Natal, Bintang Terbit di Puncak Malam, Mengulang Janji, Mengalirlah Sunyi, Butir Doa yang Patah, Sepanjang Jalan Pulang, Tuhan, Aku Rindu, Tangan-Tangan Terentang, Ah Tuhan, Ketika Kau Tersenyum, Kembalilah, Madah, Tentang Jumpa Kita, Mencari Daulat, Langkah Kita, Tahukah Engkau, Hanya Kita, Adalah Kita dan Wajah Siapakah adalah deretan kata yang hidup, yang menyatakan bahwa sunyi yang mengalir adalah juga bagian anugerah terindah dari Tuhannya.




No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...