(Apresiasi atas Buku Kumpulan Puisi Mengalirlah Sunyi)
Oleh Hengky Ola Sura
Peminat Sastra
Penulisan puisi, atau dengan meminjam kias
sifat ketuhanan, menurut ilmu agama, pen-cipta-an
sebuah puisi /sajak dilakukan seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra. Ia,
si penyair atau penyuka puisi bukan membuat sesuatu dari yang tiada. Sajak /
puisi adalah jadi-jadian. Lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang
dicerap, dimiliki dan dibina oleh si penyair atau penyuka puisi. Ide
(sajak/puisi) itu mirip konsep Plato sebagai rumus filsafat, berupa bentuk
dasar, dapatlah dicatat bahwa budaya manusia padat dengan ide-ide yang
dikembangkan, diwariskan, dicerap, ditimang-timang dalam hati atau benak. Hasil
akumulasi lewat pewarisan (pendidikan), saling mempengaruhi, proses saling
membenihi antarbudaya umat manusia dan antar manusia sepanjang sejarah. Sajak
memang dikembangkan dari sesuatu ide, dalam pengertian filsafat secara
demikian, dikembangkan oleh si penyair atau penyuka puisi dengan bahasanya
sendiri, dituangkannya dalam bahasanya sendiri.
Kita publik NTT patut berbangga dan
memberi apresiasi atas terbitnya kumpulan puisi Mengalirlah Sunyi, Penerbit Nusa Indah 2013, karya Wilda Wisang,
seorang staf pengajar dari Universitas Flores dan juga seorang biarawati dari
serikat CIJ. Sebagai pembaca puisi yang menyukai puisi dan menikmati puisi,
saya mendalami puisi-puisi dalam buku ini lebih sebagai pergumulan Wilda dengan
Tuhannya. Menjadi pertanyaan apakah Wilda mempunyai Tuhannya sendiri? Tulisan
ini tidak bermaksud membahas tentang paham ketuhanan. Tulisan ini lebih sebagai
penafsiran atas refleksi yang terjalin dari kata hati, kata pikiran menjadi
kata tertulis tentang adanya Sang Tuhan mewarnai seluruh proses pergumulan
hidup seorang Wilda. Lewat seluruh pergumulan hidupnya memaknai sunyi sebagai
bagian integral dari diri dan hidupnya yang mengalir. Mengalirlah Sunyi sungguh-sungguh sebuah pilihan kata yang tragik dramatis dari kacamata pembaca
biasa tetapi ketika merefleksinya lebih dalam kata mengalirlah sunyi itu
sungguh sebuah kebangkitan dari kegelisahan yang meregang. Dalam hal ini saya
sependapat dengan Leo Kleden yang
memberikan pengantar untuk buku ini. Kesunyian punya dua sisi. Yang pertama ialah suasana kosong, dimana
orang merasa sendirian, terpisah dari orang-orang tercinta dan dari lingkungan
yang diakrabinya. Inilah yang disebut kesepian (bahasa Inggris: Loneliness). Aspek kedua ialah sunyi yang penuh, semacam keheningan kudus, ketika
orang merasakan keutuhan dirinya dalam kesatuan dengan semesta (kosmos), dengan
orang-orang tercinta, dan dengan Yang Maha Ada. Itulah makna yang tersirat
dalam ungkapan , O Beata Solitudo.
Kata Latin solitudo kemudian diambil
alih oleh kata bahasa Inggris menjadi solitude.
Kedua sisi kesunyian itu adalah dua dimensi dari pengalaman rohani yang satu
dan sama ketika orang menggumuli sunyi, (Mengalirlah
Sunyi, hal 6). Puisi yang tepat untuk menggambarkan pergumulan dari dua
aspek sunyi di atas termaktub dalam puisi berjudul Lirih Sembayangku.
aku telah kembali
dari perjalanan meniti malam
rongga-rongga kesunyian
menakar tawakalku
yang lelap di sayap sepi
ku naikan pasrah bergita janji
karena hasratku telah ditawan gelap
bersua juakah lirih sembayangku
diredup cahaya berujung keluh
dengan rindumu nan perkasa
aku di sini menggenggam niat
menunggu gema suaramu
bawa aku ke sunyimu abadi
Puisi di atas menyodorkan kepada pembaca
bagaimana sebuah teks berbicara dan bagaimana seorang pembaca membaca. Media utama penyair untuk melukiskan gagasannya
adalah bahasa. Agar memikat pembacanya, penyair harus memiliki kemampuan dalam
mengolah bahasa. Pengolahan bahasa dalam karya puisi bersifat pribadi. Artinya,
setiap penyair mempunyai kekhasan dalam mengolah bahasa, gaya bahasa itu yang
menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk
menimbulkan rekasi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca.
Menurut Gorys Keraf (1991), bahwa gaya bahasa (style) dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis. Pendapat lain mengatakan bahwa gaya bahasa adalah susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Pradopo,
1987: 93).
Teks puisi di atas akhirnya perlu dipahami lewat proses interpretasi
yang bersumber pada ”reception of a text.
Induk teori interpretasi adalah hermeneutik. Namun hermeneutik mengandung
berbagai variasi. Konsep dasar metodologisnya menyatakan bahwa teks memiliki
dua tataran, yakni tataran permukaan dan isi. Pada tataran permukaan kita
berurusan dengan tata bahasa dan semantik dalam teks tersebut, sedangkan pada
tataran isi berurusan dengan interpretasi teks.
Pada bait pertama baris pertama dan kedua dari puisi Lirih Sembayangku, Wilda sebenarnya
melukiskan secara ekspresif bahwa puisi tersebut sebenarnya adalah sebuah doa
pagi, doa membuka hari.
aku telah kembali
dari perjalanan meniti malam
Pada
baris ketiga, keempat dan kelima
rongga-rongga kesunyian
menakar tawakalku
yang lelap di sayap sepi
Wilda membahasakan secara implsit bahwa selama dalam tidurnya ia dinaungi kesepian yang boleh dikatakan sebagai bagian dari ukuran sembah baktinya sebagai seorang religius. Wilda secara amat mendalam membahasakannya, /rongga-rongga kesunyian/ menakar tawakalku/ yang lelap di sayap sepi/. Diksi seperti ini boleh dikatakan sebagai bagian dari rasa teralienasi terhadap malam. Malam identik dengan gelap dan kegelapan itu menghantarnya pada sebuah rasa sunyi, rasa sepi. Rasa sunyi, rasa sepi itu kemudian dibahasakan sebagai tawanan kegelapan, dan doa pagi itu berubah menjadi sebuah ungkapan kesedihan, pada bait kedua baris satu, dua, tiga dan empat,
ku naikan pasrah bergita janji
karena hasratku telah ditawan gelap
bersua juakah lirih sembayangku
diredup cahaya berujung keluh
Judul Lirih
Sembayangku menjadi tepat karena sang penulis puisi ini mengungkapkan
kepada sang Tuhannya bahwa niatnya tertawan gelap. Doa paginya menjadi sebuah
kesusahan, seperti tanpa sinar, diksi /bersua
juakah lirih sembayangku/, /diredup cahaya berujung keluh/, saya kira
membahasakan suasana kesusahan itu.
Selanjutnya pada bait ketiga baris satu,
dua dan tiga
aku di sini menggenggam niat
menunggu gema suaramu
bawa aku ke sunyimu abadi
Wilda secara amat bersahaja melukiskan sebuah ketulusan untuk berada pada sebuah kesunyian yang abadi. Bait ketiga sebenarnya dapat dipadankan dengan puisinya Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, yang juga sempat disentil Leo Kleden dalam pengantarnya,
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Diksi /bahwa aku ke sunyimu abadi/ adalah sebuah luahan kontemplatif untuk merasakan kedamaian paling hakiki dari sebuah kesunyian.
Pada puisi Kaulah Kemerlap, Wilda mendeskripsikan kemerlap sebagai Tuhan.
Menurut saya, puisi ini berangkat dari pengalaman perjumpaan yang intens dengan
Tuhannya yang memiliki cahaya. Kata kemerlap mendapat pemenuhannya karena
kemerlap adalah semacam katarsis yang menghantarkannya pada kelembutan kasih
Tuhannya yang berseri-seri dalam selusin janji.
terpekur aku dibias wajah rembulan
lembut sinarnya melukis kehendak
berseri-seri dalam selusin janji
telah pula ku baca rindumu
pada sebaris titah suci
segera kubenam sujud di
serambi harapan
bersama selapik rindu
dikerlip terangmu
hantarlah impianku ke batas hasrat
kaulah kemerlap digulita rinduku membisu
Puisi Kaulah
Kemerlap sesungguhnya menggunakan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.
Wilda sebagai penulis puisi merefleksikan Tuhannya sebagai bagian integral yang
memberikan kemerlap. Kemerlap itulah yang ditunjukan dalam struktur kalimat
yang mencapai klimaksnya. Gaya bahasa itu diturunkan dari kalimat yang bersifat
periodik. Ia mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin
meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya.
/terpekur aku dibias wajah rembulan/, /lembut sinarnya melukis kehendak/
/berseri-seri dalam selusin janji/
/telah pula ku baca rindumu/
/pada sebaris titah suci/
/segera kubenam sujud
di serambi harapan/
/bersama selapik rindu
dikerlip terangmu/
/hantarlah impianku ke batas hasrat/
/kaulah kemerlap digulita rinduku membisu/
Akhirnya keseluruhan puisi yang berjumlah 30 dalam buku yang diberi judul Mengalirlah Sunyi ini, saya kira merupakan catatan pengembara dari seorang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ada saat-saat dimana ia mengalami konsolasi dan ada saat-saat dimana ia mengalami desolasi. Semuanya mengalir dalam sunyi. Seperti sunyi yang kadang-kadang luka, sunyi juga kadang-kadang lampus. Ke-tiga puluh puisi tersebut antara lain, Kusunting Rembulan, Jejak, Apakah Kau Sanggup, Lidah-Lidah Fajar, Mari Kita Merunduk, Langit di Batas Langit, Menanam Cinta, Di BerandaMu, Lirih Sembayangku, Kaulah Kemerlap, Kenangan Yang Tertinggal, Senja Sebuah Natal, Bintang Terbit di Puncak Malam, Mengulang Janji, Mengalirlah Sunyi, Butir Doa yang Patah, Sepanjang Jalan Pulang, Tuhan, Aku Rindu, Tangan-Tangan Terentang, Ah Tuhan, Ketika Kau Tersenyum, Kembalilah, Madah, Tentang Jumpa Kita, Mencari Daulat, Langkah Kita, Tahukah Engkau, Hanya Kita, Adalah Kita dan Wajah Siapakah adalah deretan kata yang hidup, yang menyatakan bahwa sunyi yang mengalir adalah juga bagian anugerah terindah dari Tuhannya.

No comments:
Post a Comment