Monday, 4 April 2016

Wanita Bermata Samudera

Cerpen Eman Nara Sura








Rahasia itu telah mengendap sekian lama di remang bola matanya. Di bola mata itu, aku berusaha menyusuri jalan-jalan terjal yang dilalui ibu tanpa bapak dan aku, anaknya. Tapi bola mata yang remang itu seolah lautan yang selalu bisa menampung segala rindu. Aku tak pernah menyalahkan ibu atas sunyi yang telah tercipta sekian tahun. Juga untuk sepasang bola mata remang yang berat dengan rahasia itu.

Deretan bangku yang kupilih sebagai tempat duduku pada misa1 malam Natal ini tepat di belakang Ibu. Aku sengaja memilih tempat itu untuk merasakan dan menyelaraskan gelombang rindu kami. Aku anaknya, dia ibuku, yang telah terpisah oleh sebab yang akhirnya kupercaya sebagai rahasia ibu. Untuk pertama kali sejak saat yang mengubah jalan perasaanku itu, aku begitu dekat dengan ibu. Dari belakang, ibu tampak seperti wanita desa pada umumnya. Kain sarung yang dikenakannya bermotif bunga. Kebaya hijau tembaganya jauh dari kesan baru namun masih bersih dan terawat dengan baik. Ibu jarang menoleh ke samping kiri dan kanan. Bahkan sepanjang misa, ibu tak pernah menoleh ke belakang. Ia seolah sebuah sunyi yang dingin, yang sepanjang tahun diselimuti salju.

Ketika misa sampai pada bagian doa damai2, ibu dengan tenang menyambut dan memberi salam ke sesama umat di samping kiri dan kananya.

Ketika menoleh ke belakang untuk memberi salam, aku sudah siap untuk menyusuri samudera kecil di remang bola matanya dan menyelam ke dasar samudera itu. Tangannya kujabat penuh kekuatan. Namun, tangannya hanya memegang pelan di tanganku. Secepat kilat aku berusaha menangkap rahasia yang bertahun-tahun lamanya ia simpan di dasar jiwanya. Namun remang bola mata itu tetap dingin. Genggaman tanganku dan cahaya yang berusaha kusapu di samudera kecil di bola matanya tak menimbulkan riak sedikitpun. Malah cahaya dari mataku seolah terserap ke dalam remang bola matanya. Menjadi dingin dan lenyap di dasarnya.

“Apakah ia tidak lagi mengenal aku?” Itu tak mungkin. Tak mungkin seorang ibu melupakan buah rahimnya. Dengan menahan rindu yang bergetar di dalam dada, hanya bisa berdamai dengan rinduku, rindu ibu dan sunyi yang belum juga pecah di antara kami.


***


Ibu pergi dari rumah ketika aku masih kelas 2 SD. Siang itu, ketika pulang sekolah ibu tak ada lagi di rumah. Hanya bapak dengan wajah yang layu dan dingin. Aku masih sangat kecil untuk membaca wajah itu waktu itu. Namun sampai malam ketika ibu tak juga menampakan dirinya, dan aku semakin gelisah, ayah mengerahkan seluruh energinya siap untuk menjawab tanya dan gelisahku. Malam telah menyusuri jalan dan seluruh desa kami. Tak ada lampu listrik. Hanya sinar redup pelita-pelita kecil yang mengisi rumah-rumah seluruh desa. Dan sebentar lagi, setelah makan malam, sinar redup itu akan padam lalu desa akan tenggelam dalam sunyinya yang mistik. Dari seberang pulau kami, orang akan melihat raksasa yang tidur dalam kesunyian yang aneh.

Makan malam tersedia di atas meja. Hanya nasi merah di dalam saringan putih dan semangkuk sayur daun kelor yang direbus begitu saja dengan garam dan beberapa iris bawang putih. Setelah mengambilkannya untukku, bapak mengambil bagiannya.

“Ibu di mana?” aku bertanya dengan suara lirih menahan tangis.

“Makan dulu.” Suara bapak tegas memerintah.

“Aku tak mau makan!” Kali ini air mataku tak terbendung lagi. Mengalir deras di pipiku. Bapak kelihatan salah tingkah namun berusaha kuat untuk menyimpan kesedihannya untukku. Tangannya yang kasar itu menyeka air mata dari pipiku.

“Tidak baik air mata jatuh ke dalam makanan. Makanan ini dicari dengan susah payah jadi kau harus menghargainya,” ayah berkata sambil menyeka lagi air mataku.

“Aku tak mau makan kalau bapak tidak katakan di mana ibu,” sambungku menyerang bapak.

Bapak akhirnya mengalah. Sambil memegang tanganku, ia berkata, “Mulai hari ini, hanya kita berdua. Ibumu telah pergi dari rumah ini.”

“Kenapa? Bapak mengusir ibu, ya?” sambungku sambil menatap ke dalam matanya. Bapak merangkulku, menyandarkan kepalaku ke dadanya, berusaha menghindari tatapanku. “Bapak tidak usir ibumu. Ibu yang mungkin tak bisa lagi hidup bersama bapak,” suara bapak menyapu rambutku.

“Memangnya kenapa?” Aku berusaha menyudutkan bapak, berharap ada jawaban lain yang lebih masuk di kepalaku. Bapak semakin kuat mendekapku.

“Pada saatnya nanti kau harus menemukan jawaban itu, bapak tak akan menyampaikan kepadamu,” katanya sambil mengelus-elus pundakku. Air mataku semakin deras. Aku merasakan baju bapak basah. Namun aku tak sanggup menahan laju air mata itu. Lampu pelita di atas meja makan semakin redup. Bapak berusaha membujukku untuk makan. Namun apalah aku ini, aku tak akan mati meskipun tak makan malam ini. Kepergian ibu adalah pedang yang mengiris-iris jantung hatiku. Aku tak akan makan malam ini. Aku hanya ingin menangis. Menangis sampai kesedihan ini luruh dalam tidur dan gelapnya malam. Menangis sampai mimpi datang merenggutku. Lalu aku akan bangun dan menjadi manusia baru. Aku akan melawan segala bentuk kesedihan dengan dingin.

Sejak saat itu, hanya aku dan bapak. Setelah kelas 4, aku dikirimkan bapak sekolah di kota, tinggal di rumah seorang kenalannya. Ibu memang masih tinggal di kampung yang sama dengan bapak, tapi di rumah orang tuanya. Sejak itu, ibu menjadi manusia sunyi. Ia hanya bersosialisasi seadanya dengan tetangga dan orang-orang di kampung kami. Ketika kembali ke kampung beberapa kali saat liburan, aku berusaha menemuinya namun tak pernah berhasil. Ia selalu bisa menghindar. Aku memang tak pernah bertanya perihal kepergiannya dari rumah kepada siapapun, aku lebih suka membiarkan itu sebagai rahasianya. Aku lebih suka membayangkan ibu memelukku dan aku menangis dalam dekapannya. Namun, sampai saat yang paling menguras perasaan rindu tadi, aku belum diberi kesempatan untuk memeluknya. Ia masih sedemikian dingin.


***


Misa belum selesai, namun aku memilih pulang lebih dahulu. Aku meninggalkan bangku ketika panitia perayaan Natal sedang membacakan pengumuman. Pohon natal dan lampu-lampunya natal yang kerlap-kerlip seperti tangan-tangan malaikat yang terayun melambai mengirimkan ucapan selamat jalan. Ibu masih di bangkunya. Tenang dan hampir tak bergerak. Aku tak tahu bila samudera di tengah bola mata yang remang itu begitu tenang. Setelah musim-musim berlalu, ia masih sanggup mengendalikan rasanya. Aku sering mengharapakan rindunya akan menjadi badai yang menggelorakan samudera di matanya, lalu sekedar memelukku. Namun Ibu telah menjadi serupa penyihir dengan jimat yang mampu meredam rindunya untuk memeluk buah rahimnya.

Aku hanya bisa memaklumi ibu. Memahami beratnya rahasia yang ia simpan di dalam hatinya. Dan aku selalu membayangkan bagaimana ia menangis dalam doa dan rindunya padaku.

Aku merasakan getar rindu yang dalam. Dalam rindu yang perih itu, aku berjalan pulang sendirian. Jalanan masih belum juga beraspal setelah puluhan tahun. Hujan yang sering turun akhir-akhir ini membuat air tergenang di beberapa badan jalan. Bapak masih di gereja, mungkin menghabiskan doa-doanya yang tersimpan di dada.

Aku melangkah dengan dada kosong. Sosok ibu yang tadi begitu dekat denganku kini larut dalam perihnya rindu.


***


Jam 11.00 malam. Aku dan bapak duduk di meja makan. Piring dan mangkuk berisi daging yang kumasak sore tadi tersedia di atas meja. Suasana begitu hening. Hanya alunan lagu-lagu Natal yang terdengar dari dalam kamarku.

Setelah menyantap makanan seadanya itu, ayah berujar, “Rahasia terbesar dalam hidup kita adalah rindu.” Aku diam saja, menatap matanya, mencoba memaknai kata-kata tersebut. Denting piano lagu Malam Kudus seperti berlompatan di seluruh ruangan. Sambil mengalihkan pandangan ke dinding tempat sebuah lukisan seorang wanita bermata samudera, bapak berujar lagi, “Kuharap kau bisa menjaga rindumu, karena rindu berarti berjaga bersama Tuhan.” Kata-kata itu membawaku menuju samudera di remang bola mata ibu. Sampai kapan aku harus berjaga bersamaNya sedang di sana-sini orang merayakan kedatanganNya.



1 Misa: Upacara ibadat (perayaan ekaristi) dalam gereja Katolik, yang di dalamnya roti dan anggur dikurbankan sebagai lambing tubuh dan darah Kristus

2 Doa Damai: salah satu bagian dari perayaan ekaristi






No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...