(Apresiasi untuk Komunitas Puisi Jelata PBSI Uniflor)

Oleh Hengky Ola Sura
Alumni PBSI Uniflor
Bergiat di Komunitas KAHE
Setelah Komunitas Dusun Flobamora di Kupang sukses melahirkan beberapa penyair kebanggaan Indonesia semisal Mario F Lawi, Ishack Sonlay, Amanche Frank dan beberapa lainnya, kini di Flores tepatnya di Ende muncul dua komunitas sastra yakni Komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE) dan Komunitas Puisi Jelata. Jauh sebelum tiga komunitas di atas ada sudah ada Komunitas Rumah Poetica yang ikut membesarkan Bara Pattyradja menjadi penyair. Ada juga Komunitas Baca dan Sastra Lamalera Ende yang sayangnya mati suri karena anggota komunitas itu selesai masa kuliahnya dan pergi mencari nasibnya masing-masing. Ada lagi Kelompok Arung Sastra Ledalero yang juga pada akhirnya gemanya tak nampak lagi tapi masih muncul dengan Kelompok Teater Alethianya dan Komunitas Sandal Jepit dari Wisma Arnoldus Nitapleat. Tentunya masih ada kelompok-kelompok peminatan sastra lainnya yang belum saja dilacak hidup dan keberadaannya.
Tulisan ini lahir sebagai satu bentuk apreasiasi terhadap Komunitas Puisi Jelata (selanjutnya disingkat KPJ) yang datang dari kampus Universitas Flores. Sebagai seorang mantan mahasiswa yang pernah menempuh kuliah pada Program Studi Bahasa dan Sastra Universitas Flores, saya paling kurang punya catatan yang cukup mendalam tentang perkembangan pesat Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores.
Sekilas tentang Komunitas Puisi Jelata
Jauh sebelum KPJ berdiri, angkatan kami pernah menggagas berdirinya Kelompok Seniman Kata yang ikut melahirkan buletin yang juga kami beri nama Seniman Kata. Kelompok kami ini hanya bertahan sampai dengan semester lima setelah saya sendiri mengalami semacam masa ‘susah payah’ memotivasi kawan-kawan sekelas untuk giat membaca, diskusi dan menulis untuk Seniman Kata. Kami bubar dan akhirnya berlabuh pada Komunitas Baca dan Sastra Lamalera. Sayangnya fokus kami pada saat itu hanya pada soal membaca karya-karya sastra dan membedahnya ramai-ramai dan pernah sekali mementaskan teater dengan judul East of Eden di bawah pohon sukun lapangan Perse. Kami semua akhirnya bubar setelah wisuda.
Kembali pada KPJ hemat saya tidak lepas juga sentuhan tangan dingin beberapa dosen yang sengaja saya sebutkan nama-nama mereka semisal, Imelda Olivia Wisang, Alexander Bala Gawen dan Maria Marietta Bali Larasati. Tiga nama ini menurut saya memiliki kecakapan yang sangat dalam tentang apa artinya bersastra. Roh memang tak pernah mati setelah angkatan kami gagal meneruskan berdirinya komunitas sastra, para dosen bersama beberapa mahasiswa PBSI mendirikan KPJ. Nama Jelata (Jejak Langkah Kita) yang dipilih hemat saya mengandung semangat beralih dari kemapanan kampus dengan satu cara yang beda yakni dengan bersastra. Yang menarik adalah bahwa dalam setiap mata kuliah semisal kajian dan apreasiasi fiksi, tiga dosen yang saya sebutkan namanya di atas selalu membuat semacam proses kuliah yang beda yakni dengan kegiatan bersama lembaga pendidikan tingkat SMP dan SMA yang menjadi mitra untuk proses pembedahan karya-karya sastra. Suasananya pun dikemas apik. Mulai dari hal teknis sampai yang substansif. Kegiatan-kegiatan perkuliahan model ini pun saya kira menjadi cikal bakal berdirinya Komunitas Puisi Jelata.
Kata jelata sendiri mengemban makna yang paling kurang artinya, sampingan, rendahan dan yang tak dianggap. Kata ini kemudian menjadi akronim yang sangat menginspirir yakni jejak langkah kita. Nama yang dipilih ini menjadi harapan bagi publik NTT agar KPJ ikut melahirkan banyak orang hebat yang datangnya dari bidang sastra.
Mengapa Komunitas Puisi?
Pertanyaan yang kemudian hadir setelah membaca melalui Harian Flores Pos bahwa telah berdiri KPJ adalah, mengapa bukan namanya Komunitas Sastra Jelata saja, tetapi harus Komunitas Puisi Jelata. Apakah tidak ada keinginan untuk mendalami lebih jauh juga genre sastra yang dicoba oleh para mahasiswa PBSI seperti drama/teater, cerpen atau novel sehingga namanya Komunitas Sastra saja. Lepas dari ikut mendalami genre yang lainnya saya berkesimpulan puisi mungkin jalan pertama yang ingin didalami lebih menukik. Komunitas Puisi hemat saya adalah bagian dari cara baru dengan langkah satu-satu menuju kepenuhan bergiat di dalam sastra.
Pertanyaan itu pun kemudian melahirkan jawaban yang bernas bahwa, puisi umumnya menyediakan “kaplingan” lahan amat sempit bagi tempat membiak, bertunas dan menjalarnya kata-kata. Dengan ruang yang relatif mini itu puisi seolah lugas memberitahu kita: ada puasa dalam setiap puisi. Ada naluri kelisanan yang perlu dikekang. Kalau penyair adalah “petani kata” – meminjam ungkapan Sitok Srengenge – ia tentu mesti tekun berlatih agar mahir memilih bibit kata yang punya bobot, lalu belajar mengolah kata-kata yang kurus agar bertunas dan menjalar. Dalam puisi Sudah Saatnya, Joko Pinurbo, salah satu penyair kontemporer Indonesia, dengan jenaka menulis, ... Sudah saatnya kata-kata / yang mandul kita hamili; / yang pesolek ngapain dicolek, / toh lama-lama kehabisan molek. / Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi / supaya sepi bertunas kembali, / supaya tumbuh dan berbuah lagi.
Sastra, terutama puisi, memang selalu berurusan dengan kata-kata. Dengan trik “ultra-personifikasi” Jokpin mengangkat kata-kata ke taraf manusiawi sebagai sosok yang bisa dirangsang birahinya. Seorang penyair dalam kaca mata Jokpin adalah orang yang berani “mencumbui” dengan khusyuk dan masyuk kata-kata yang mandul. Kosa kata ibarat seonggok tulang yang mesti diberi daging dan darah serta ditiupkan nafas hidup. Sambil menikmati puisi kita sering merasa dihibur oleh pemberontakan-pemberontakan ganjil dalam berbahasa yang dipraktikkan para penyair, namun kita juga harus tahu persis bahwa puisi tidak pernah kehilangan disiplin. Puisi menuntut disiplin si penyair agar dapat berbahasa secara ketat.
Dari rahim NTT belum terlalu banyak lahir penyair-penyair besar, namun kita berharap KPJ ikut membidani lahirnya penyair-penyair yang turut mengharumkan nama NTT. KPJ memang belum sepenuhnya menunjukan taringnya, dia masih muda. Belum apa-apa tapi dari beberapa kegiatan semisal diskusi dan bedah puisi serta ikut menumbuhkan semangat anak-anak SMA se-daratan Flores dan Lembata melalui penerbitan antologi cerpen dan kedepannya puisi, saya yakin KPJ punya andil amat luar biasa untuk itu.
Yang terpenting adalah semangat para dosen yang berani dan sedikit keluar dari rutinitas pribadinya untuk terus membimbing dan membina mahasiswanya untuk terus membiak dalam melahirkan karya. Merangsang mereka untuk giat membaca, diskusi dan menulis. Menulis pada akhirnya bukan soal bakat tapi soal membangun kebiasaan. Apa lagi menulis puisi. Sekali lagi kita boleh tercenung dengan puisi Sudah Saatnya dari Jokpin di atas “Sudah saatnya kata-kata / yang mandul kita hamili; / yang pesolek ngapain dicolek, / toh lama-lama kehabisan molek. / Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi / supaya sepi bertunas kembali, / supaya tumbuh dan berbuah lagi".
Kepada KPJ dan juga semua komunitas sastra lainnya, selamat merayakan kata-kata dalam tulisan. Kita adalah petani kata dan kebun kata itu menanti kita.
No comments:
Post a Comment