Mendalami
Wajah Allah dalam Ekaristinya Mario F
Lawi
Oleh
Hengky Ola Sura
Pembaca
& Peminat Sastra
Pagi yang cacat
Mengulurkan
anamnesis
Kami
berdiri di jalanan
Menyaksikan
diriMu dikorbankan
Di
bawah salib
TubuhMu
yang jasad
Kami
koyak kelak
Dengan
rasa lapar paling purba
(Mario
F. Lawi, Ekaristi,hal 77)
Prolog
Pada dasarnya karya sastra
dihasilkan bukan untuk golongan tertentu namun bagi semua orang dari semua
tingkatan. Sastra ditulis untuk dibaca oleh siapa saja dan dari mana saja latar
belakang pendidikannya. T.S. Eliot, seorang penyair-kritikus sastra Inggris
abad XX menyatakan bahwa keagungan sastra hanya dapat ditangkap secara utuh
apabila mengandung unsur-unsur meta (diluar)
sastra (Hardjana, 1985:83). Seorang pembaca dan kritikus sastra haruslah
memiliki negative capability, yakni
kemampuan mengingkari diri, pandangan-pandangan keagamaan yang dianutnya boleh
jadi disingkirkan untuk sementara agar dapat dengan pengertian yang wajar (objective symapthy) menemukan kembali
apa yang sebenarnya diungkapkan dan dimaksudkan pengarang.
Ekaristi merupakan antologi
puisi Mario F. Lawi yang ditulis selama periode 2007- 2013.
Antologi terbitan PlotPoint Publishing tahun 2014 ini memuat 89 puisi
yang pernah terbit di Kompas dan Koran Tempo. Antologi ini pun masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa
2014. Antologi ini juga lebih merupakan pencerminan diri secara khas seorang
Mario yang pernah lekat dengan tradisi hidup seminari dengan bacaan-bacaan
rohani semisal Kitab Suci yang menjadi cikal bakal warna khas keseluruhan
puisi-puisinya. Ekaristi bisa jadi adalah bentuk nyata dari kontemplasi yang
membawa Mario, sang penyair untuk menempah imaginasinya menjadi lebih luhur
dalam teks puisi. Membaca keseluruhan puisi-puisi dalam buku ini kita seperti
dihadapkan pada dunia kontekstual seorang Mario menemukan kaidah-kaidah untuk
diri sendiri dan bagi orang lain dalam pergumulan mendalami Kitab Suci. Dari
titik bidik inilah Mario bisa jadi menemukan sosok Allah, sang Causaprima itu dalam pengosongan diri,
dalam kesunyian, suasana tragik, dalam sikap hidup asketis dan juga
perjumpaan-perjumpaan hidup. Wajah Allah jelas tergurat dalam kisah-kisah
perjumpaan, perjalanan serentak petualangan spiritual.
Mencari wajah Allah dalam Ekaristi mengandaikan usaha dan perjuangan
manusia dewasa ini untuk menemukan Allah dalam keheningan, penderitaan dan
aneka persoalan hidup yang dihadapi. Pertanyaannya adalah mungkinkah kita
menemukan wajah Allah dalam realitas terbalik? Ekaristi merupakan sebuah cermin
bagaimana kita berkaca dalam perjuangan, tantangan dan serentak ikthiar pencarian.
Antologi ini memuat 89 puisi. Membaca puisi-puisi Mario dalam antologi
ini banyak terdapat metafora yang menuntut pembaca untuk punya kedalaman
pemahaman dari maksud sang penyair untuk menguak tabir bahasa biblis ke dalam
bahasa puisi. Ekaristi, dalam gereja Katolik adalah sakramen utama dari antara
enam sakramen lain. Wafat dan kebangkitan Kristus, dalam ekaristi dirayakan
dengan meriah. Ekaristi dengan demikian adalah sumber dan puncak seluruh hidup
orang Kristen. Dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Presbyterium Ordinis, dituliskan bahwa
sakramen-sakramen lain, seperti sakramen baptis, krisma sampai sakramen imamat,
berhubungan erat dengan ekaristi dan terarah kepadanya. Sebagai sakramen,
ekaristi adalah tanda dan sarana persatuan dengan Allah dan persatuan antar
sesama umat manusia. Ekaristi juga memuat khasanah biblis yang ada dalam
kearifan-kearifan lokal. Mario dalam puisi-puisinya mengangkat realitas
kearifan lokal sebagai bentuk dari pesan keselamatan bahwa menghayati iman harus
dengan mata terbuka. Puisi-puisi Mario dalam buku ini sebenarnya adalah juga
bagian intergral dari semacam ziarah rohaninya. Datang jauh dari masa kecilnya,
atau bahkan lebih jauh lagi, dari kisah-kisah dalam Kitab Suci yang dianut
ibunya dan ritual-ritual tradisi yang dipercaya kakeknya. Pertemuan dua sungai
masa lalu itulah yang Mario dongengkan kembali kepada dalam deret kata apik. Ia
selalu penuh perhitungan dan taktis, unik dan indah. Memasuki kisah-kisahnya
akan membawa kita bertemu dengan hal-hal yang minta dipeluk sekaligus ditolak.
Kisah tentang Musa dalam puisi adalah epos dari perjalanan-perjalanan
pembebasan menjadi padu dalam puisi, ‘tempias
angin gurun yang gersang/ adalah hujan bagi tongkatmu/setelah diberikanNya
nubuat/tentang kesedihan dan air mata.’(Musa, dalam Ekaristi hal 73).
Betapa wajah Allah itu diendus dari kontradiksi angin gersang yang menjadi
hujan berkat tongkat Musa. Liris, ritmis dan kedalaman maknanya adalah
kecemerlangan horison Mario membahasakannya.
2 Mendalami
Wajah Allah dalam Ekaristi
aMenemukan
Allah dalam Ritus Keagamaan
Ekaristi merupakan salah satu
mahakarya Mario, menampilkan pandangan-pandangan khas mengenai Yang Ilahi.
Pandangan tentang Yang Ilahi itu tersirat jelas dalam gambaran mengenai salah
satu ritus keagamaan (baca, Ekaristi) yang menghantar pembaca untuk masuk dalam
pergumulan-pergumulan selanjutnya yang lebih merupakan ekspresi religiositas
yang erat kaitannya dengan keagamaan.
Hal
ini nampak jelas pada puisi Ekaristi;
Pagi yang cacat
Mengulurkan anamnesis
Kami berdiri di jalanan
Menyaksikan diriMu yang dikorbankan
Di bawah salib,
tubuhMu yang jasad,
kami koyak kelak
dengan rasa lapar yang paling purba
Mario memulai puisinya dengan
suasana dari sebuah pagi yang sayu. Ekaristi bisa saja menjadi bagian dari
kontemplasi Mario untuk membayangkan/mengenangkan (anamnesis) ekaristi yang sayu dari sebuah pagi. Sayu bisa saja
menjadi deskripsi kewajiban formal dari manusia sebagai peziarah yang berdoa.
Ekarsiti yang dirayakan setiap pagi oleh imam adalah ritus wajib. Toh Mario
dalam puisi ini seolah mengajak pembaca untuk lebih dalam memaknai bahwa
sebagai sebuah ritus, ekaristi memang abadi sebagai tanda dan sarana tetapi
lebih dari itu sebagai sebuah ritus ekaristi menjadi jalan pemurnian yang
menjadikan orang-orang Kristen Katolik untuk senantiasa merindukan ekaristi
sebagai darah daging yang mengoyak kebatilan menuju hidup beriman pada Allah
yang adalah kasih. Karena kasihNya itu ia hadir dalam ekaristi. Simak deret
kata ;
kami
koyak kelak/ dengan rasa lapar paling purba
Daya pukau Mario dalam deret
kata di atas mengetengahkan kepada pembaca bahwa sebagai sebuah tanda
keselamatan ekaristi memang menjadi ‘sesuatu’ yang layak untuk dihidupi.
Terlepas dari sisi kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis,
dalam peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya ekaristi tetap merupakan conditio sine qua non bagi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Puisi ini sebenarnya juga adalah sebuah sinis dari perilaku hidup beragama.
Orang beragama banyak yang religius, namun kenyataannya tidak selalu begitu.
Dengan demikian ekaristi adalah ritus keagamaan yang mengantar umat manusia
pada pertemuan dengan Allah. Merayakan ekaristi harus menjadi kerinduan yang
terus-menerus, ia tidak hanya sekedar sebuah ritus yang dihadiri untuk menyatakan
kekudusan tetapi pesan keselamatan di dalam ekaristi itu harus diwartakan
dengan kasih, (Alkitab, bdk 1 Yohanes
4:8-16).
b Menemukan
Allah dalam Ritus Adat-Istiadat
Ekaristi sangat dipengaruhi oleh
kearifan-kearifan dan mistisisme NTT, khususnya pada daerah Sabu. Bisa jadi
faktor ibu sang penyair yang berasal dari Pulau Sabu, NTT mewarnai juga dunia
ide Mario untuk coba menelaah lebih ke dalam bahasa puisi. Allah yang hadir
dalam keheningan hanya dapat ditemukan jika seseorang mempunyai batin yang
tenang dan kerelaan untuk mengosongkan diri serta mempunyai kepekaan untuk
mendengarkan apa yang dikatakan kedalaman hati nuraninya. Tentang menemukan
Allah dalam keheningan, puisi Gela (Ekaristi
hal.40) bisa jadi rujukan betapa kearifan lokal semacam olesan hasil memamah
sirih pinang dan daging kelapa pada dahi
menjadi inisiasi yang mengantar sang penerima olesan memperoleh rahmat
istimewah.
Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan
kakek dengan rasa haru yang harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan
pinang dari mulutnya.
“tanda ini, Cucuku, adalah awal keabadian.”
Salibku merah seperti mimisan ibu. Harum seperti kencing pertama bayi waktuku.
Kusembunyikan isak dalam lemari, karena sejenak gagak akan diganti burung
kenari, sebelum tubuhku menjelma sansak bagi peluru-peluru dinihari.
Kata tetua pada deret
kata di atas adalah ungkapan iman. Iman yang dihayati dalam hidup dan memenuhi
seluruh hidup, dirayakan dalam ritus khusus serupa ritual keagamaan. Olesan
segar kunyahan sirih piang dan daging kelapa muda yang dimakan sang kakek pada
dahi sang cucu adalah penghayatan kehangatan hubungan baik dengan Tuhan dan
sesama. Tanda dari olesan merah sirih pinang yang dimamah dengan kapur adalah
juga makna perayaaan iman untuk menimba kekuatan alam. Pada bait ketiga dari
puisi Gela, Mario menulis dengan
bahasa leluhurnya (baca bahasa daerah Sabu);
Wo Deo Muri, ne ta herae ta hero’de
de ri nyiu wou mangngi,
Mita rui kedi ihi kuri, mita haga
dara, mita ju mederaa, kelodo pa taga rihi dula (terjemahannya; Ya Allah sumber kehidupan, anak ini
dioles-usapi dengan kunyahan kelapa yang harum agar kuat dan segar tubuh serta
mentalnya, supaya bertambah besar dan tinggi, supaya mendapat status yang
tinggi/terhormat dalam keluarga dan marga, (Gela
dalam Ekaristi hal 41). Puisi ini adalah bentuk dari menampilkan kepercayaan
tradisi yang sejuk. Wajah Tuhan ditemukan dalam
tanda salib pada kening sang cucu oleh sang kakek.
cMenemukan
Allah dalan Kisah Perjumpaan
Berbahagialah kalian yang telah
mendengar suara ibu mengikrarkan Fiat sambil menaksir maksud angin yang menderap-derapkan
sepatu mereka dari Selatan (Usapi Sonbai dalam
Ekaristi, hal 22).
Puisi
ini sesungguhnya adalah persembahan Mario kepada Amanche Franck. Seorang imam
diosesan Keuskupan Agung Kupang. Sosok Amanche bisa jadi luahan lebih lanjut
Mario dalam puisinya pada perjumpaan mengalami fiat Santa Perawan Maria. Ungkapan fiat Maria sebagai seorang hamba Tuhan menjadi tanda kesetiaan Romo
Amanche memilih hidup selibat. Mario bisa jadi menemukan wajah Allah pada
imamnya, Romo Amanche yang menanggapi tawaran Allah tanpa syarat dengan batin
yang bebas penuh syukur. Imam adalah identitas dari hamba Allah. Pernyataan
penyerahan diri untuk menjadi pewarta adalah bentuk mewujudkan misi Allah di
dunia. Puisi ini menjadi komitmen misioner sekaligus harapan pada sang imam
agar menjadi imam Allah yang sungguh-sungguh menampakan wajah Allah di dunia.
Puisi ini menjadi bagian integral kisah perjumpaan dengan Allah. Romo Amanche
menjadi tokoh, seorang usapi sonbay, orang
terurap yang daripada keseluruhan hidupnya adalah kisah-kisah manusia mengalami
dan menemukan wajah Allah.
3Allah Menurut Mario F. Lawi
aAllah;
Eksistensi yang Perlu Dipertanyakan
Mario, dalam Ekaristi, melukiskan situasi keterpecahan manusia oleh penindasan,
penderitaan akibat penjajahan. Situasi seperti ini diwakili oleh apa yang
dialami masyarakat Perjanjian Lama dan Baru dalam kisahan Kitab Suci. Simak
deret kata pada puisi Pentakosta (Ekaristi, hal 6)
Meredam
batu karangmu yang terus menjulang mencari lubang kunci di atas sana. Engkau
tidak menyediakan wadah bagi kami
Puisi ini adalah bentuk protes dan
pertanyaan dimanakah Allah ketika penderitaan semisal kisah Habel yang
terbunuh, kisah Sodom dan Gomora yang
tragis itu. Dalam momen seperti ini, keberadaan Tuhan sebagai sumber segala
kebaikan dan keadilan dipertanyakan. Pertanyaan ini adalah serupa juga
pengungkapan akan sejumlah rasa putus asa dan ketakberdayaan tentang adanya
eksistensi Tuhan yang tak kelihatan namun Roh-Nya yang hadir itu menghidupi.
bAllah
Pengharapan Bagi yang Menderita
Puisi dengan judul Adventus (Ekaristi,
hal 29) bisa jadi pengharapan paling hakiki dari semua yang menderita. Mario
secara eksplisit menampilkan rasa percaya dari ketakberdayaan dengan
menampilkan judul Adventus. Adventus yang dalam bahasa Latin artinya kedatangan
adalah semacam harapan baru untuk bersyukur dan mengalami kasih dan kebaikan
Tuhan lewat siarah pergumulan hidup. Berikut petikan dari penggalan diksi puisi
Adventus;
Seperti
menyongsong kehidupan, pada selongsong penghabisan
Ia temukan wajah Tuhan, di kota
yang nyaris kosong akibat pertempuran
Ia hidupkan lagi wajah istri dan
anak-anaknya, dengan rasa syukur tak terkira. Pada nasibnya yang kian celaka.
Kalimat
pada baris terakhir seolah kontradiksi toh ia tetap sebuah pengharapan dari
hidup orang beriman, khususnya Kristen untuk memaknai penderitaan dengan tegar.
Kata-kata selongsong penghabisan dan ia
temukan wajah Tuhan adalah deskripsi
penuh harap dari orang-orang Kristen ketika masa adven tiba pada penanggalan
liturgi. Masa adven identik sebagai masa pengharapan untuk membenahi dan
mereflesikan seluruh perjalanan hidup.
c
Allah
Sang Pembebas Sejati
Mario dalam Ekaristi secara tersurat
juga mempersoalkan kebebasan dari rasa takut dan pandangan sinis sesama. Ia
tidak sekedar kebebasan fisik tetapi juga kebebasan batin. Sebagaimana dialami
oleh Maria Magdalena yang dilabeli pelacur, toh Allah hadir melalui Isa,
anak-Nya sebagai pembebas. Mario memang piawai merajut dalamnya kata untuk
membahasakan Allah yang hadir sebagai pembebas sejati itu;
Kuharapkan
kau masih mengingat ketika pertama batu-batu bersijatuh di hadapanmu, si
janggut putih yang bersikeras mengarahkan rajam tajam ke arah lambungku.
Kubuatkan sukatan dengan tanah liat dan sepotong kayu, tak lebih kelit dari
jarak hati dan payudaramu
.......................................................................
.......................................................................
Misalkan surga itu doa para imam
agung, maka lebih pantas kau menghadapku.
Sesungguhnya
kisah Maria Magdalena adalah kisah bagaimana Mario dengan mata tajam penyair
membahasakannya secara amat lembut nan dramatis kisah ketika perempuan ini
kedapatan berzinah. Kristus yang membebaskannya adalah simbol nyata bagaiaman
penyair sendiri mengimani kehadiran Allah sebagai pembebas sejati.
Relevansi Teologi Praktis dari
Ekaristi
Memaknai Penderitaan Hidup
Ekaristi,
mahakarya Mario ini adalah semacam ikthiar pencarian menuju pembebasan. Mario
menghadirkan kisah-kisah heroik seputar Musa,
Maria Magdalena, Zakheus lebih sebagai cara baru ikut mendalami isi Kitab
Suci. Cara Mario menghadirkan kisah-kisah tersebut adalah bentuk kedalaman
kontemplasi memandang Allah yang ikut terlibat dalam penderitaan manusia.
Sebagaiamana halnya Elie Wiesel, pengarang Yahudi terkenal yang ditahan dalam
pembunuhan Hitler yang melihat Allah tergantung pada tiang-tiang gantungan
begitu pula Mario dalam Ekaristi
memandang wajah Allah dalam kisahan-kisahan teks Kitab Suci ke dalam
bahasa puisi.
Inilah cara baru penyair memaknai penderitaan
hidup lewat refleksi-refleksi biblis. Ia menembus sekat-sekat kemapanan, ia
menjadikan yang transenden menjadi imanen. Bahwa Allah hadir di tengah-tengah
penderitaan agar ada spirit untuk pembaharuan. Penderitaan memang menyakitkan
tapi tetap harus diperjuangkan agar keluar, ia tidak melulu hadir dalam gores
kata yang lirih tapi juga seruan pembebasan. Pada tataran ini Mario mungkin
saja mengajak pembaca bagaimana seharusnya menghadapi penderitaan.
Mencari dan Mengusahakan Pembebasan
Salah satu tugas yang amat berat bagi setiap orang
beriman adalah turut merasakan penderitaan sesamanya. Mario lewat puisi-puisi
dalam ekaristi turut mengajak pembaca untuk tertantang mengamalkan inti amanat
Kita Suci. 89 puisi yang terhimpun dalam antologi ini adalah cara baru
mengendus wajah Allah yang solider.
Gema Teologi pembebasan yang lahir di bumi
Amerika Latin bisa jadi terasa juga dalam puisi-puisi Mario. Mario adalah
penyair yang mengajak pembaca untuk membongkar akar-akar ketertindasan dengan
bahasa penuh metafora. Agak sulit memang mendalaminya tetapi seruan Mario lewat
judul antologinya Ekaristi adalah semacam pesan keselamatan.
Epilog
Ekaristi
adalah juga semacam pencarian. Puisi-puisi yang terhimpun di dalamnya memang
memiliki kejeniusan dalam pengembangan metafora liris ritmisnya toh ia tetap
banyak menghadirkan keterasingan. Ia butuh pembacaan yang ketat. Dari puisi Kamu mulai dengan sebuah keadaan sampai Telaga Bisu menawarkan banyak hal
positif serentak pencerahan untuk memandang wajah Allah. Kita perlu melibatkan
diri dalam Ekaristi-nya Mario.

No comments:
Post a Comment