Saturday, 2 April 2016

Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya




Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya
(Refleksi atas Kumpulan Puisi Samudera Cinta Ikan Paus-nya Bara Pattyradja)
Oleh Hengky Ola Sura
Peminat Sastra

Sastra dan akar tradisi sesungguhnya adalah dua entitas yang tali-temali. Membaca sastra khususnya sastra serius dengan keintensan pengarang yang tidak sekedar menulis tentang persona tetapi lebih dari itu tentang kebudayaan sebuah kelompok atau etnis sosial, pembaca sesungguhnya diajak untuk menyelami akar tradisi yang seharusnya tetap terpatri dalam nubari, dihayati dan diamalkan. Sastra (baca, puisi) tidak sebatas deret kata bermakna tetapi lebih dari itu pengungkapan kembali realitas yang pernah ada dan  menunjukan keberadaban kelompok atau etnis sosial tetapi telah hilang atau bahkan telah ditinggalkan. Tentang hal ini nampak jelas dalam beberapa puisi Bara Pattyradja dalam kumpulan puisi terbarunya Samudera Cinta Ikan Paus (2013). 
Bara Pattyradja saya kira adalah salah satu penyair Indonesia yang bobot puisi-puisinya melampaui penyair lainnya. Lahir dari sebuah desa pesisir, Lamahala, Flores Timur, NTT membuat semua penikmat, pembaca sastra khususnya dari NTT untuk turut berbangga dengan penyair yang satu ini. Bara mungkin mewakili pendapat sementara saya untuk turut mengatakan bahwa NTT itu sesungguhnya rahim para penyair. Buku berisi 38 puisi ini titik pangkal temanya adalah cinta. Membaca puisi-puisi Bara adalah bagian dari usaha untuk menggali hal-hal tersembunyi di balik kenyataan sehari-hari. Puisi adalah usaha menemukan rahasia demi rahasia di balik pengalaman sehari-hari. Puisi mencoba menembus batas-batas penglihatan umum. Sebab, penyair melalui puisinya percaya bahwa di balik semua kenyataan selalu ada hal-hal yang tak terbayangkan, tak terduga, tak terpikirkan. Inilah yang disebut dengan imajinasi.

 Puisi Adonara, Sebuah Prolog, adalah gambaran kembali ke fitrah bahwa tanah Adonara itu bukan identik dengan perang tanding dan kekerasan tetapi tanah peradaban orang-orang yang giat bekerja,

Bukan tangan kebal kelewang
Yang menyentuh hatiku
Tapi relung mata ina
Yang tabah mengayuh pelu
Di los-los pasar
Tanpa kelu ia terus berjalan
Menyangga hidup yang kuyup
Sambil mengingat wajah ama, wajahmu
Yang pecah
Di pucuk-pucuk bandar
Keberanian itu
Seperti wanita
Di ranum dadanya
Setiap laki-laki
Mengibas sayap-sayap takdir

Bagi yang pernah ke Larantuka atau Waiwerang pemandangan yang dilukis Bara dalam puisi di atas sesungguhnya kisah yang terus terjadi dalam geliat orang-orang di Kota Larantuka atau pun Waiwerang. Sosok perempuan yang dibahasakan dengan ina  bukan hanya anggun tapi juga perempuan pekerja yang ikut menopang ekonomi membantu ama atau lelaki yang menjadi buru di pelabuhan. Kepaduan yang paling apik dan menjadikan pembaca mengaharu biru adalah deret kata, //keberanian itu/ seperti wanita/ di ranum dadanya/ setiap laki-laki/ mengibas sayap-sayap takdir//. Diksi Bara dalam deret kata ini saya kira telah menghipnotis pembaca untuk menyadari bahwa puisi sebagai sebuah karya seni adalah pengungkapan bersinarnya ide secara indrawi. Dan Bara menangkap realitas keseharian yang dianggap biasa itu menjadi sebuah refleksi yang sarat nilai-nilai hidup. Dalam puisi Samudera Cinta Ikan Paus, yang dijadikan judul untuk kumpulan puisi ini Bara menulis,

Cintaku kepadamu, perempuanku
Adalah samudera
Cinta ikan paus

Dari benua-benua jauh
Dari kutub yang dingin
Seorang diri
Kulalui siksa laut dalam

Kini aku terjerat sepenuhnya
Dibiru tasikmu
Yang tiada beriak

Songsong aku
Dengan peledan-mu
Dan jangan sisakan
Sedikit pun keraguan

Biarkan hatiku menggelepar
Di runcing tempulingmu
Biarkan sunyi siripku merapuh
Ke batas pasir

Ketika sinar bulan mulai samar di perbukitan
Ketika angin mendesau sepi, dekap aku
Bagai martir di ujung tiang

Puisi ini sendiri dapat ditafsir sebagai sebuah luahan ungkapan cinta yang gigil oleh perjuangan tetapi serentak juga secara eksplisit mengangkat tradisi untuk menjadi lebih dikenal. Bara tentu tidak menjadikan tradisi penangkapan ikan paus sebagai sebuah propaganda tetapi keluhuran dari tradisi itu sendiri sebagai bagian dari kebudayaan orang-orang Lamalera. Dalam pengantar buku ini Bara sendiri menulis bahwa ikan paus bukan hanya sekedar spesies purba yang tangguh di laut dalam, tapi juga sosok spiritual dalam epos nabi Yunus. Di rahim seekor ikan paus itulah nabi Yunus mengambil jedah untuk memandang kehidupan tidak melalui kacamata darat, tapi kacamata maritim. Kebermaknaan samudera membuat orang insaf, mengalami pencerahan atas spirit mencintai. Puisi ini adalah semacam gambaran keintiman penyair dengan realitasnya membahasakan cinta dalam suasana seperti sedang tertikam tempuling yang runcing. 
Dua puisi yang hemat saya sangat menarik adalah Gunung Batu yang Bersila dan Surat dari Lamahala. Saya kira Bara memiliki pengalaman perjumpaan yang memikat dan menginspirir sehingga lahirlah dua puisi yang secara khusus dipersembahkan buat Paul Budi Kleden dan Yoseph Lagadoni Herin. Dalam puisi Gunung Batu yang Bersila, Bara mendeskripsikan dengan bahasa yang harus ditafsir lebih menukik apa maksud terdalamnya bagi pembaca. Salah satu penggalan dari puisi itu antara lain;
Di kaki langit Larantuka
Engkaulah gunung batu
Yang bersila
Hening bagai kaku pohonan
paul, paul
kau masih saja sesunyi air sebisu tanah
saat mata nasib yang jalang
memberiku isyarat penuh gemuruh

 Puisi di atas dapat diinterpretasi sebagai laku spiritual yang tampak dari tokoh yang ditulis penyair. Membaca keseluruhan puisi Gunung Batu yang Bersila, pembaca diajak masuk dalam refleksi penyair mempertanyakan sesuatu yang hilang dari tanah tempat hidup. Hal ini bisa dibaca dalam bait lain dari puisi tersebut,

Apa yang salah?
Hingga orang-orang kampung butuh kejahatan
Untuk menjagal diri sendiri
Tak kutanam dendam di kawah darahku
Meski mata pisau goreskan luka
Silsislah dagingku

Diksi penggambaran tokoh sebagai gunung batu yang bersila memberi uraian impresif tetapi juga serentak pertanyaan bahwa ada sesuatu (baca, keadaban) yang hilang  dari orang-orang di tanah kelahiran sosok gunung batu yang bersilah itu. Kebermaknaan gunung batu yang bersila memberi arti bagi penyair untuk taksim dan mengarahkan orang lewat kontemplasi diri. Tentang ini saya kira luahan yang telak ada pada deret kata, //tak kutanam dendam di kawah darahku/ meski mata pisau goreskan luka/ silsislah dagingku. Puisi dalam bahasa yang seperti ini saya pikir jadi pembelajaran untuk mengoreksi diri dalam refleksi-refleksi fundamental. Sedangkan puisi Surat dari Lamahala adalah letupan harapan serentak rasa suka duka berbagi. Bait pertama dari puisi tersebut antara lain,
Dari lamahala
Hidup tak cukup hanya dengan satu badai
Laut makin ganas
Makin mengombak rindu dendam di hati
Beribu mata bajak menguntitku
Nanar seperti tiang layar perahu

Apakah puisi ini adalah bagian lain dari keluh dan sesal? Bisa saja demikian. Bara sesungguhnya memilih mempersembahkan puisi ini untuk Yoseph Lagadoni Herin, yang hemat saya adalah salah satu penikmat sastra tetapi juga pemerhati sastra. Sebagai orang nomor satu di kabupaten Flores Timur, saya kira puisi ini adalah lecutan perhatian penyair untuk pemimpinnya. Bara melukiskan secara dramatis suasana yang terjadi dengan metafora yang apik. Puisi ini sesungguhnya sebuah kritik yang berkualitas untuk menunjukan perhatian seorang pemimpin bagi rakyat di tanah peperangan/konflik.
Bara Pattyradja sesungguhnya adalah penyair yang memilih pulang kampung, tanah kelahiran untuk mempertajam imajinasinya sekaligus menulis tidak hanya untuk personanya tetapi mengangkat, mengingatkan, dan dengan mata visualnya yang tajam mengajak kita semua (pembaca) bahwa keadaban budaya itu sesuatu yang mematangkan dan menjadikan kita bijaksana. Lebih dari itu membuat kita menjadi lebih beradab.


No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...