Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya
(Refleksi atas Kumpulan Puisi Samudera Cinta Ikan Paus-nya Bara Pattyradja)
Oleh Hengky Ola Sura
Peminat Sastra
Sastra
dan akar tradisi sesungguhnya adalah dua entitas yang tali-temali. Membaca
sastra khususnya sastra serius dengan keintensan pengarang yang tidak sekedar
menulis tentang persona tetapi lebih dari itu tentang kebudayaan sebuah
kelompok atau etnis sosial, pembaca sesungguhnya diajak untuk menyelami akar
tradisi yang seharusnya tetap terpatri dalam nubari, dihayati dan diamalkan. Sastra
(baca, puisi) tidak sebatas deret kata bermakna tetapi lebih dari itu
pengungkapan kembali realitas yang pernah ada dan menunjukan keberadaban kelompok atau etnis
sosial tetapi telah hilang atau bahkan telah ditinggalkan. Tentang hal ini
nampak jelas dalam beberapa puisi Bara Pattyradja dalam kumpulan puisi
terbarunya Samudera Cinta Ikan Paus
(2013).
Bara
Pattyradja saya kira adalah salah satu penyair Indonesia yang bobot
puisi-puisinya melampaui penyair lainnya. Lahir dari sebuah desa pesisir,
Lamahala, Flores Timur, NTT membuat semua penikmat, pembaca sastra khususnya
dari NTT untuk turut berbangga dengan penyair yang satu ini. Bara mungkin
mewakili pendapat sementara saya untuk turut mengatakan bahwa NTT itu
sesungguhnya rahim para penyair. Buku berisi 38 puisi ini titik pangkal temanya
adalah cinta. Membaca puisi-puisi Bara adalah bagian dari usaha untuk menggali
hal-hal tersembunyi di balik kenyataan sehari-hari. Puisi adalah usaha
menemukan rahasia demi rahasia di balik pengalaman sehari-hari. Puisi mencoba
menembus batas-batas penglihatan umum. Sebab, penyair melalui puisinya percaya
bahwa di balik semua kenyataan selalu ada hal-hal yang tak terbayangkan, tak
terduga, tak terpikirkan. Inilah yang disebut dengan imajinasi.
Puisi
Adonara, Sebuah Prolog, adalah
gambaran kembali ke fitrah bahwa tanah Adonara itu bukan identik dengan perang
tanding dan kekerasan tetapi tanah peradaban orang-orang yang giat bekerja,
Bukan
tangan kebal kelewang
Yang
menyentuh hatiku
Tapi
relung mata ina
Yang
tabah mengayuh pelu
Di
los-los pasar
Tanpa
kelu ia terus berjalan
Menyangga
hidup yang kuyup
Sambil
mengingat wajah ama, wajahmu
Yang
pecah
Di
pucuk-pucuk bandar
Keberanian
itu
Seperti
wanita
Di
ranum dadanya
Setiap
laki-laki
Mengibas
sayap-sayap takdir
Bagi yang pernah ke Larantuka atau
Waiwerang pemandangan yang dilukis Bara dalam puisi di atas sesungguhnya kisah
yang terus terjadi dalam geliat orang-orang di Kota Larantuka atau pun
Waiwerang. Sosok perempuan yang dibahasakan dengan ina bukan hanya anggun tapi
juga perempuan pekerja yang ikut menopang ekonomi membantu ama atau lelaki yang menjadi buru di pelabuhan. Kepaduan yang
paling apik dan menjadikan pembaca mengaharu biru adalah deret kata, //keberanian itu/ seperti wanita/ di ranum
dadanya/ setiap laki-laki/ mengibas sayap-sayap takdir//. Diksi Bara dalam
deret kata ini saya kira telah menghipnotis pembaca untuk menyadari bahwa puisi
sebagai sebuah karya seni adalah pengungkapan bersinarnya ide secara indrawi.
Dan Bara menangkap realitas keseharian yang dianggap biasa itu menjadi sebuah
refleksi yang sarat nilai-nilai hidup. Dalam puisi Samudera Cinta Ikan Paus, yang dijadikan judul untuk kumpulan puisi
ini Bara menulis,
Cintaku
kepadamu, perempuanku
Adalah
samudera
Cinta
ikan paus
Dari
benua-benua jauh
Dari
kutub yang dingin
Seorang
diri
Kulalui
siksa laut dalam
Kini
aku terjerat sepenuhnya
Dibiru
tasikmu
Yang
tiada beriak
Songsong
aku
Dengan
peledan-mu
Dan
jangan sisakan
Sedikit
pun keraguan
Biarkan
hatiku menggelepar
Di
runcing tempulingmu
Biarkan
sunyi siripku merapuh
Ke
batas pasir
Ketika
sinar bulan mulai samar di perbukitan
Ketika
angin mendesau sepi, dekap aku
Bagai
martir di ujung tiang
Puisi ini sendiri dapat ditafsir sebagai
sebuah luahan ungkapan cinta yang gigil oleh perjuangan tetapi serentak juga
secara eksplisit mengangkat tradisi untuk menjadi lebih dikenal. Bara tentu
tidak menjadikan tradisi penangkapan ikan paus sebagai sebuah propaganda tetapi
keluhuran dari tradisi itu sendiri sebagai bagian dari kebudayaan orang-orang
Lamalera. Dalam pengantar buku ini Bara sendiri menulis bahwa ikan paus bukan
hanya sekedar spesies purba yang tangguh di laut dalam, tapi juga sosok spiritual
dalam epos nabi Yunus. Di rahim seekor ikan paus itulah nabi Yunus mengambil
jedah untuk memandang kehidupan tidak melalui kacamata darat, tapi kacamata
maritim. Kebermaknaan samudera membuat orang insaf, mengalami pencerahan atas
spirit mencintai. Puisi ini adalah semacam gambaran keintiman penyair dengan
realitasnya membahasakan cinta dalam suasana seperti sedang tertikam tempuling
yang runcing.
Dua
puisi yang hemat saya sangat menarik adalah Gunung
Batu yang Bersila dan Surat dari
Lamahala. Saya kira Bara memiliki pengalaman perjumpaan yang memikat dan
menginspirir sehingga lahirlah dua puisi yang secara khusus dipersembahkan buat
Paul Budi Kleden dan Yoseph Lagadoni Herin. Dalam puisi Gunung Batu yang Bersila, Bara mendeskripsikan dengan bahasa yang
harus ditafsir lebih menukik apa maksud terdalamnya bagi pembaca. Salah satu
penggalan dari puisi itu antara lain;
Di
kaki langit Larantuka
Engkaulah
gunung batu
Yang
bersila
Hening
bagai kaku pohonan
paul,
paul
kau
masih saja sesunyi air sebisu tanah
saat
mata nasib yang jalang
memberiku
isyarat penuh gemuruh
Puisi
di atas dapat diinterpretasi sebagai laku spiritual yang tampak dari tokoh yang
ditulis penyair. Membaca keseluruhan puisi Gunung
Batu yang Bersila, pembaca diajak masuk dalam refleksi penyair
mempertanyakan sesuatu yang hilang dari tanah tempat hidup. Hal ini bisa dibaca
dalam bait lain dari puisi tersebut,
Apa
yang salah?
Hingga
orang-orang kampung butuh kejahatan
Untuk
menjagal diri sendiri
Tak
kutanam dendam di kawah darahku
Meski
mata pisau goreskan luka
Silsislah
dagingku
Diksi penggambaran tokoh sebagai gunung
batu yang bersila memberi uraian impresif tetapi juga serentak pertanyaan bahwa
ada sesuatu (baca, keadaban) yang hilang
dari orang-orang di tanah kelahiran sosok gunung batu yang bersilah itu.
Kebermaknaan gunung batu yang bersila memberi arti bagi penyair untuk taksim
dan mengarahkan orang lewat kontemplasi diri. Tentang ini saya kira luahan yang
telak ada pada deret kata, //tak kutanam
dendam di kawah darahku/ meski mata pisau goreskan luka/ silsislah dagingku. Puisi
dalam bahasa yang seperti ini saya pikir jadi pembelajaran untuk mengoreksi
diri dalam refleksi-refleksi fundamental. Sedangkan puisi Surat dari Lamahala adalah letupan harapan serentak rasa suka duka
berbagi. Bait pertama dari puisi tersebut antara lain,
Dari
lamahala
Hidup
tak cukup hanya dengan satu badai
Laut
makin ganas
Makin
mengombak rindu dendam di hati
Beribu
mata bajak menguntitku
Nanar
seperti tiang layar perahu
Apakah puisi ini adalah bagian lain dari
keluh dan sesal? Bisa saja demikian. Bara sesungguhnya memilih mempersembahkan
puisi ini untuk Yoseph Lagadoni Herin, yang hemat saya adalah salah satu
penikmat sastra tetapi juga pemerhati sastra. Sebagai orang nomor satu di
kabupaten Flores Timur, saya kira puisi ini adalah lecutan perhatian penyair
untuk pemimpinnya. Bara melukiskan secara dramatis suasana yang terjadi dengan
metafora yang apik. Puisi ini sesungguhnya sebuah kritik yang berkualitas untuk
menunjukan perhatian seorang pemimpin bagi rakyat di tanah peperangan/konflik.
Bara Pattyradja sesungguhnya adalah
penyair yang memilih pulang kampung, tanah kelahiran untuk mempertajam
imajinasinya sekaligus menulis tidak hanya untuk personanya tetapi mengangkat,
mengingatkan, dan dengan mata visualnya yang tajam mengajak kita semua
(pembaca) bahwa keadaban budaya itu sesuatu yang mematangkan dan menjadikan
kita bijaksana. Lebih dari itu membuat kita menjadi lebih beradab.
No comments:
Post a Comment