Setia dalam Badai
(Yakobus Jano; Ketua Kopdit Pintu Air)
Oleh Hengky Ola Sura
Kontributor
Adalah pemali kalau menyebut Pintu Air tanpa sosok Yakobus Jano. Sosok dibalik berkembang pesatnya Pintu Air yang kini jadi koperasi primer nasional ini ternyata anak petani buta huruf yang mengawali segala hal ihwal pendidikannya dengan susah payah. Ibarat kata Kitab Suci, yang menabur dengan bercucuran air mata akan menuai dengan sukacita, layak disematkan pada pria rapi jali ini.
Lahir di Rotat, Nita 15 September 1953 dari pasangan Petrus Moa dan Yuliana Sareng. Anak ketiga dari lima bersaudara ini pada awalnya bercita-cita jadi pastor. Rencana masuk ke Seminari Lela, kandas untuk pelbagai alasan yang harus diterima dengan lapang. Lahir dari ayah yang petani tulen sesekali jadi pedagang tembakau, pedagang sayur kangkung dan juga pedagang jagung dan sang bunda yang tidak waras alias gila membuat semua yang ada dan terjadi pada keluarga mereka adalah keluarga tak dianggap dan diperhitungkan sama sekali bagi kebanyakan orang di kampungnya.
Kami seperti sampah. Begitu kata Yakob Jano. Pria bernama lengkap Germanus Yakobus Kabu ini pun harus merelakan namanya yang seharusnya disandang terus dalam hidup itu berganti ketika untuk urusan melanjutkan ke Seminari saja dalam buku besar permandian tak ada nama itu. Yang ada hanyalah Yakobus Jano. Nama inilah yang kini disandangnya sampai hari ini. Shakespeare, sastrawan kenamaan Inggris itu benar ketika bilang nomen est omen, nama adalah tanda. Dan sebuah keteledoran dari penulisan nama dari Germanus Yakobus Kabu itu menjadi ‘berkat’ untuk jalan hidup selanjutnya saat berganti jadi Yakobus Jano.
Masuk SD pada usia sembilan tahun, Yakob mengakui bahwa ia sudah cukup mengerti untuk segala yang terjadi dengan latar belakang kehidupan keluarganya. Saya menangis sejadi-jadinya ketika di kelas satu SD saya harus tinggal kelas untuk alasan yang juga saya kira tidak jelas. Masa anak yang otaknya pas-pasan saja dan saya lebih pintar saja naik kelas kok saya tinggal kelas. Saya merasa benar-benar didiskriminasi. Saya ulang kelas hanya satu kali saat kelas satu itu. Setelah itu saya lolos terus sampai kelas enam.
Gagal ke Seminari Lela, Yakob lalu melanjutkan ke SMPK Frater Maumere. Di SMP, tidak lagi seperti saat SD di kampung halamannya. Tidak ada lagi pembedaan. Mungkin karena kawan-kawan saya tidak tahu latar belakang keluarga saya. Demikian cerita Jano. Kelas I sampai kelas II saya tinggal di asrama.
Di SMPK Frater saya pernah dapat nilai minus untuk Matematika tapi saya dapat bangkit kembali. Saya lalu cukup diperhitungkan karena nilai-nilai saya memuaskan dan saya masuk dalam tim bola volly sekolah. Saat naik kelas III, sang bapak tak sanggup lagi harus membiayai asrama. Jano terpaksa harus tinggalkan asrama. Saat-saat paling membuat terenyuh adalah saat dimana sang ayah mengantarkan bekal dan uang untuk kebutuhan sekolah dan asrama. Bapak saya itu datang tanpa mengenakan celana panjang tapi sarung. Dia datang dengan menunggang kuda. Saat bapak datang, biasanya saya lari sekencang-kencangnya menemui bapak di depan gerbang. Setelah ambil uang dan bekal tanpa banyak omong dengan bapak, saya langsung kembali ke asrama atau sekolah. Bapak juga tidak tanya banyak, dia langsung berbalik.dan memacu kudanya pulang. Saat mengenang kisah ini Jano tertunduk. Air matanya jatuh tak terbendung. Seperti ada lubang yang menganga, jarak antara rasa rindu dan malu dengan kondisi ayah saat-saat masih SMP itu seperti membekas dalam sukma. Seperti ingin bercerita lebih banyak tetapi usia sekolah apalagi sebagai siswa SMP ada semacam rasa takut dengan situasi orang tua yang hanya petani dan juga pedagang serabutan itu. Saat kelas III SMP, Jano harus tinggalkan asrama. Kondisi keuangan orang tua sangat tak memungkinkan untuk bertahan. Tinggalkan asrama dan menuju rumah keluarga di Kampung Kabor. Saya tinggal di rumah keluarga kami namanya bapak Bona Liko. Tak sampai sebulan dirinya pindah ke rumah Stefanus Bogar hingga menyelesaikan pendidikan di SMAK Sint. Gabriel Maumere. Seorang Stef Bogar bagi Yakobus Jano adalah sosok kitab suci yang hidup. Dirinya merasa beruntung tinggal dengan sosok seorang Stef yang menanamkan dalam dirinya semangat dan daya juang untuk terus dan terus berjuang. Pemilik swalayan Boga Dharma inilah yang mengharuskannya untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi ke tanah Jawa tapi Kupang. Kalau ke Jawa nanti kamu tidak selesai seperti kebanyakan anak-anak mahasiswa, begitu kata Jano mengisahkan tentang saran dari Stef Bogar. Berbekal saran dari Stef Bogar, Jano pun mengambil kuliahnya pada jurusan Tata Negara di Undana pada tahun 1976. Selama kuliah, Jano pernah meninggalkan kuliahnya dan mencoba peruntungan nasib dengan bekerja di Kalimantan pada tahun 1977. Perubahan kurikulum waktu itu membuat jadwal kuliah kami lowong banyak. Tahun 1978 Jano lalu balik ke Flores, kemudian pada tahun 1979 kembali ke Kupang untuk menyelesaikan kuliahnya yang terhenti. Saat kembali kuliah, saya kena sakit. Usus buntu akut menyerang saya dan saran dari pihak medis harus segera dioperasi. Dalam keadaan yang sangat susah dengan urusan keuangan, bapak harus datang ke Kupang. Kala itu dengan uang pinjaman dari Bapak Stef Bogar, bapak sampai juga di Kupang mengunjungi saya dan mengurusi semua yang berkaitan dengan operasi usus. Cobaan sakit yang mengenaskan itu akhirnya bisa dilalui. Setelah pulih dari sakit, Jano kembali ke kampus. Menyelesaikan kuliahnya pada Maret 1981, Jano kembali ke Maumere. Berbekal ijasah sarjana muda yang disandangnya mulailah ia melamar ke beberapa instansi di kota Maumere. Sambil menunggu panggilan kerja dari instansi yang dilamarnya, Jano memilih bekerja di kios Boga Dharma milik Stef Bogar. Saat-saat bekerja di kios ini juga adalah saat-saat kelam. Menurut Jano, banyak dari kawan-kawan sekampungnya yang juga bekerja pada kios milik Stef Bogar yang mengolok-oloknya. Ada yang bilang, percuma saja e pergi sekolah tinggi tapi hasilnya pulang juga jaga kios seperti kami. Demikian Jano menirukan omongan beberapa teman yang ikut menjaga kios waktu itu. Saya rasa panas dan maunya berkelahi saja tetapi hati kecil saya selalu mengatakan sabar. Sementara itu tidak ada tanda-tanda panggilan dari instansi yang dilamarnya. Itu seperti menambah penderitaan pada kalbu. Rasa disisihkan seperti begitu kuat Jano rasakan tetapi apa mau dikata hidup harus terus dilanjutkan sembari terus berharap semoga ada perubahan dalam hidup. Maret 1982, perjumpaan dengan Yoseph Watan Leba, mengubah haluan hidup Jano dari pekerja penjaga kios menuju seorang karyawan bank. Tuhan itu maha adil, demikian kisah Jano. Saya bertemu dengan Pak Yoseph. Dia itu orang Boru, Wulanggitang, Flores Timur. Dari dialah saya memperoleh informasi bahwa bank BRI membuka lowongan kerja. Kamu ijasah sarjana kan? Itu ada lowongan di BRI, coba buat lamaran. Begitu kata-kata Yoseph. Saya lalu menulis lamaran dan mengantarkan ke kantor cabang. Seminggu kemudian datang surat panggilan agar saya segera menghadap. Ketika memberitahukan hal ini pada bapak Stef Bogar, beliau agak ragu apakah saya bisa bekerja atau tidak. Keraguan Stef memang cukup beralasan karena Jano adalah seorana sarjana muda Tata Negara. Bisa tidak seorang yang menggodol ijasah tata negara bekerja di BRI. Dilema memang. Saya lalu berangkat ke Rotat memberitahukan perihal surat panggilan dari BRI pada bapak saya di kampung. Saya juga bercerita soal keberatan dari bapak Stef Bogar kalau saya bekerja di BRI. Bapak tidak menjawab apa-apa. Ekspresinya seperti datar saja. Jano lalu kembali ke Maumere. Seperti biasa menjaga kios. Sehari kemudian bapak datang dengan kuda ke Maumere. Tiba di depan kios, kini swalayan Boga Dharma, dia panggil saya dan beritahukan sebaiknya saya segera menghadap dan mau bekerja di bank. Kamu kerja saja di bank. Demikian Jano menirukan omongan bapaknya. Pertemuan yang hanya beberapa menit lalu bapak langsung pamit dan kembali ke Rotat dengan kudanya. Setelah menghadap dan diwawancarai oleh pihak bank, saya langsung menjalankan magang di Kewapante pada 12 April 1982. Selama magang saya selalu berdoa dalam hati dan ingat Tuhan saja. Semoga Dia menjaga dan membantu saya. Sebulan magang, saya lalu dipindahkan ke Bola pada Mei 1982. Di Bola saya diangkat jadi kepala. Rasanya blank sekali sebulan magang lalu langsung jadi kepala BRI Unit Bola itu. Jano membuktikan dirinya untuk siap kerja walaupun modalnya cuma seminggu magang. Saya kerja sungguh-sungguh. Kesungguhan bekerja ini membuahkan prestasi. Jano kemudian dikirim ke Kupang untuk mengikuti kursus kepala BRI. Balik dari Kupang, Jano lalu didapuk jadi kepala BRI Nita pada Mei 1984. Tahun 1996 karirnya terus melejit, Jano lalu jadi penilik. Saat karirnya tengah melejit itulah Jano merasa seperti ada yang hilang dan harus segera dikerjakan. Pikirnya, saya enak-enak kerja di bank tapi bagaimana dengan banyaknya orang kecil dari kampung saya dan juga dari mana-mana yang tidak bisa mengakses pinjaman dari bank saat itu. Pikiran macam itu sebenarnya muncul sudah pada tahun sebelum-sebelumnya. Tepatnya tahun 1995 bersama sekitar 50-an orang, kami mendirikan usaha bersama simpan pinjam yang kami namakan Pintu Air. Ingin mendedikasikan seluruh jiwa raga dan pikiran untuk Pintu Air tapi saat itu masih aktif sebagai pegawai bank sehingga kerjanya hanya part time untuk bantu-bantu. Sejak pensiun pada 2010, Yakobus Jano pun mencurahkan seluruh gagasan, tenaga dan niat baiknya untuk kemajuan Pintu Air. Team work yang hebat akhirnya mengantarkan Pintu Air jadi koperasi yang berkelas saat ini untuk ukuran Indonesia. Saya menjabat jadi ketua kopdit ini sejak tahun 1998 tapi belum bisa buat banyak karena masih karyawan bank, demikian penuturan Jano. Menurutnya kemajuan Pintu Air yang sampai dengan statusnya naik jadi primer nasional adalah usaha dan kerja keras semua tim dan anggota Pintu Air. Saat ini segala tentang Pintu Air memang sedang di atas angin artinya capaiannya memang luar biasa tetapi masih ada dan akan terus ada tugas dan tanggung jawab untuk meramu keberadaan Pintu Air menjadi koperasi yang benar-benar hadir untuk melayani anggotanya. Harapan saya adalah kopdit ini jangan dilihat bahwa dia maju karena faktor figur atau ketokohan saya atau ketokohan general manager, sekretaris dan juga ketua-ketua cabang dan sebagainya tetapi karena sistem yang dibangun. Menurut Jano sistem itu adalah akuntansi keuangan menjadi ‘panglima’. Figur atau ketokohan boleh berganti tetapi sistem harus tetap dijalankan agar mimpi hidup seribu tahun lagi itu terus terwujud untuk generasi yang akan datang. Jadi dua-duanya tetap penting. Itulah Yakobus Jano. Dengan segala keyakinan dan keteguhannya, ia mampu melewati cobaan yang berat untuk ditanggungkannya. Ia bahkan mampu menjadikan luka kepedihan masa lalu dan latar belakang keluarga yang dianggap sampah sebagai elan kreatif yang menjadi sumber tiada habis bagi siapa saja. Ya spirit Pintu Air yang harus senantiasa mengalirkan kehidupan itu juga dianutnya. Ia setia dalam badai, dengan segala anugerah nuraninya. Atau mengutip istilah Latin: Amor fati, Jano ikut mengajarkan kita menerima nasib dengan semacam rasa cinta. Setelah itu berjuang. Begitu.
No comments:
Post a Comment