Oleh Hengky Ola Sura
Dari teras samping rumahku yang sudah mulai uzur ada bulan purnama di langit. Sebatang gudang garam menemaniku menonton atraksi cantik perarakan bulan di langit. Bulan tak tidur. Demikian kata saudaraku yang baru saja pulang menyulu dari pantai selatan, kampung bernama Pante Oa. Seharusnya kata pante itu disebut pantai tapi karena deretan vokal atau yang biasa disebut diftong maka orang kampung menyebutnya langsung pante, kata ai-nya hilang atau luluh. Sebetulnya bukan saja orang kampung tapi justru kata-kata bahasa Indonesia itu rusak juga dari kata-kata slangean-nya orang-orang di kota. Yang katanya lebih mentereng. Kata mereka lagi mereka lebih dahulu mengetahui hal terbaru ketimbang orang di kampung. Huh dasar orang kota. Bulan tak tidur, demikian kata saudaraku. Dari tas karungnya ikan dan cumi-cumi ia tumpahkan pada baskom. Hanya sedikit, demikian katanya pada ibu. Malam ini bulan terang. Aku cuma mendengar saja dalam hati aku sebenarnya ingin menyela, kamu sih lupa bertanya pada ayah. Ayah seorang pelaut. Lahir dari kakek yang sejak kecil mengajaknya mencintai laut. Amuk gelombang laut Sawu tak pernah ayah takut. Tapi sejak jatuh hati pada ibu, ayah pergi dari laut, membangun impian hidupnya dari hasil-hasil kebun di Hokeng.
Hokenglah yang membawa ayah pergi dari laut. Ayah suka sekali mendongeng buat aku dan saudara terkecilku tentang masa kanak-kanaknya. Katanya, ayah paling jago menembak ikan sambil menyelam. Aku dan saudara terkecilku terkagum-kagum. Bangga pada ayah yang berkisah tentang amuk pantai selatan yang menggelegar setiap kali menghantam pasir pantai di tanah kelahirannya. Semua saudaraku pandai berenang. Mungkin karena mereka lahir di kampung halaman ayah. Masa kecil mereka adalah laut. Lautlah yang melingkupi mereka dalam menikmati masa kanak-kanak. Hingga kini saat mereka jauh dari laut sekalipun ketika berada di dekat laut, laut seolah menjaga mereka. Berbeda dengan aku dan saudara bungsu. Kami lahir di pegunungan. Laut kadang membuat kami iri. Kami cuma bisa mengagumi laut. Ayahlah yang melarang aku dan saudaraku untuk tidak selalu menjalin relasi paling intim dengan gadis-gadis pesisir. Ayah takut usia perkawinan kami dengan mereka tak berumur panjang. Ayah takut kami mati di laut. Ah aku heran saja. Tapi aku heran kenapa ayah tak melarang saudara nomor tigaku saat ia berangkat ke laut tadi. Saudara dan ibuku sibuk membersihkan sisik ikan dengan senter ayah.
Listrik di Hokeng malam ini padam, sudah bosan mengeluh, begitu tutur tanta tetangga sebelah rumah sejak sore tadi listrik padam. Hokeng itu semuanya sudah oke sayangnya listrik tak pernah nyala dengan tertib. Buru-buru saudaraku meletakan kembali senter ayah yang dipakai saat menyulu dan membersihkan ikan tadi ke kursi di dekat tempat tidur ayah. Ayah sudah tertidur pulas. Dari dapur aroma ikan goreng dan kua asam menusuk lubang hidung. Mengundang selera makan. Tetangga-tetanggaku mungkin saja terbangun dari mimpi. Angin dingin malam mengantarkan aroma ikan segar itu ke pori-pori dinding rumah mereka, kemudian menyusup menyerbu lubang hidung mereka. Hidung manusia memang merupakan indra penciuman yang kadang membangkitkan gairah untuk menjadi rakus. Tapi hidung yang paling rakus adalah hidung yang mencium bau uang dan mendapatkannya dengan tidak wajar. Syukur bahwa hidungku tidak demikian dan terus berdoa semoga hidungku tidak silau dengan bau uang. Aku berharap semoga hidung para tetanggaku malam ini tidak sampai rakus lalu bangun menyerbu rumahku untuk turut makan ikan segar yang hanya cukup untuk ayah, ibu,aku dan saudaraku.
Atraksi bulan purnama di langit makin menarik untuk ditonton. Bulan bergerak ke arah timur, dilingkupi pelangi dengan dominan warna kuning keemasan. Awan putih bersih berlajur-lajur apik berarak di depan bulan. Mereka ke timur, menjadi pengiring bulan, menjemput matahari yang esok datang. Ibarat ritus pertunanganan, awan dan pelangi adalah delegasi yang membawa bulan menemui keluarga matahari, meminta restu kepada Sang Tuhan agar esok matahari bersinar ke bumi. Bulan adalah satelit bumi. Matahari harus menjadi penopang bagi bumi.
Asap rokokku mengepul, membumbung tinggi, hasil tarikan dalam-dalam dari rongga mulut dan otot-otot pipiku. Jangan terlalu setia pada rokok. Ah ibu, jika disuruh rokoknya diperkurang mungkin tapi disuruh berhenti nanti saja setelah mati. Jika saja di dunia orang mati, merokoknya bebas, jelas merokok tetap harus dilanjutkan. Peringatan bahaya merokok oleh dokter dan pemerintah bagiku bagai penjajahan terselubung. Larangan dokter saat ku keluhkan dadaku yang sakit adalah berhenti merokok. Kecemasan dokter mungkin saja terlalu berlebihan. Mau jadi apa petani tembakau jika rokok tidak diproduksi lagi. Ngeri bercampur miris membayangkan masyarakat Rura, kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai yang seharian bekerja sebagai petani tembakau. Sebulan lebih pelesir dan ada bersama mereka, kami sungguh menikmati pagi saat menjemur irisan tembakau pada para-para mirip penjemuran ikan suku pengembara laut di Ndete, kecamatan Magepanda, kabupaten Sikka. Ketika mengering tembakau tersebut dijual ke Ruteng, Reo dan juga ijon yang langsung datang ke kampung Rura. Sebagiannya lagi disimpan buat persediaan merokok. Tinggal dilinting dengan daun koli, dihiris serapih mungkin, diikat membentuk sebatang rokok, asap pun mengepul dari rokok paling alami ini. Pertama kali mencobanya batuk-batuk, lama-kelamaan makin nikmat. Apalagi ditambah segelas kopi pahit. Satu kata saja untuk melukiskan kenikmatannya, perfecto. Kopi dan rokok adalah seperti perpaduan persenyawaan pengganti ion tubuh yang hilang. Seperti salah satu iklan kopi, orang Indonesia berjiwa pemberani. Saya jadi punya mimpi buat iklan kopi pahit. Tak perlu gula dan campuran lainnya. Minum kopi pahit. Khasiat kopi pahit mampu mencuci isi perut dan membuat tubuh lebih fit. Tidak percaya ya coba saja. Percobaan pertama dijamin perut mules-mules dan bunyinya menggemuruh bagaikan gunung api yang meletus kecil-kecil mirip gunung kembar dengan satu anak bernama gunung Lewotobi di Hokeng.
Ayo makan, seru saudaraku dari meja makan. Kami makan. Benar-benar lesat. Nanti kalau istriku mengandung, aku sendiri yang terjun ke laut, menyulu dan mencari ikan terbaik, cumi-cumi dan udang. Kandungan protein yang bagus cocok buat bayi dalam kandungan istriku, kata saudaraku ketika kami asyik makan. Dari ruang tamu jam dinding berdetak, terdengar suara, waktu sekarang menunjukan tepat pukul 24.00. tak peduli, kami terus makan. Anakmu pasti cerdas. Oh jelas, sela saudaraku. Kalau istrimu yang mengandung, apa yang kamu berikan? Ah ku beri saja kopi pahit. Masa kopi pahit. Iya, supaya anak dalam kandungan istriku tahu bahwa di dunia luar kandungannya, hidup itu getir. Hidup itu pahit. Untuk memaniskannya orang harus terlebih dahulu berusaha. Berusaha semampu mungkin. Saat-saat berusaha adalah saat-saat pahit. Tak takut terjadi apa-apa? Tidak, tak peduli, hehehe, kataku sambil tertawa kecil. Minum kopi pahit itu sudah ada sebelum Hipokrates, bapak dokter yang membidani lahirnya kebidanan itu melahirkan ilmu yang namanya kedokteran, kebidanan, keperawatan dan sejenisnya. Acara makan selesai. Obrolan berlanjut di teras rumah lagi. Bulan purnama di langit terus berarak dengan pengiringnya ke arah timur. Ayah dan ibu sudah lelap. Entah apa yang mereka bawa dalam mimpi tidur mereka. Esok kamu pergi lagi. Berpetualang, terus kapan kembali ke Hokeng? Aku pasti kembali jika kopi pahit dalam darahku mulai perlahan mengental dan mengering, aku pasti pulang meminumnya tentu dengan air minum Hokeng yang paling manjur dan berkhasiat dari mata air Boru Kedang itu. Ah sembarang saja, tinggal bawa kopi saja to. Saya nikah tanggal dua puluh bulan depan, kamu hadir? Diusahakan. Ya, seperti bulan purnama dilangit dengan pengiringnya menemui matahari demi cahaya untuk bumi, kita semua kakak beradik harus hadir. Bulan memang kadang muncul sebagian, kadang muncul seluruhnya. Pernikahan bukan soal target tetapi soal kesetiaan, bulan kadang-kadang memang tak setia tapi saat tak setia bulan meberikan kesempatan untukmu agar turun ke laut, menyulu dan memancing demi buah hatimu. Jangan lupa bertanya pada ayah sebelum melaut. Kami tertawa. Malam di Hokeng tinggal sepotong. Asap rokok terakhir mengepul membumbung tinggi menuju langit turut mengiring bulan menjemput matahari.
Hengky Ola Sura, pernah aktif di Komunitas Baca dan Sastra Lamalera, Komunitas Sandal Jepit. Saat ini bekerja sebagai Koordinator Divisi Informasi dan Dokumentasi LSM PBH NUSRA.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment