(Sumbang saran dalam usaha Bangun Kampung, Bangun NTT)
Oleh Hengky Ola Sura
Oleh Hengky Ola Sura
Kota vs Kampung
Tiap kota punya beribu-ribu etalase. Tiap kota punya beribu-ribu bilbor, dengan atau tanpa cahaya lampu. Beribu-ribu ilusi. Orang akan terkecoh. Mereka akan membuat ruangnya sendiri, dalam sebuah lalu lintas yang setengah terpedaya. Demikian nukilan yang saya kutip dari catatan pinggirnya Goenawan Mohamad dalam Tempo edisi 28 Juli 2002. Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir tersebut lebih mengetengahkan afirmasi lanjut pada cerita pendek Nikolai Gogol dengan latar Jalan Nevsky Prospect, di kota St. Petersburg. Dengan tokohnya Pikharev, seorang pelukis muda yang datang dari kampung dan kepincut seorang pelacur. Berkenaan dengan judul tulisan di atas penulis menarik benang merah daripada geliat kota dari sisi tilik menahan serentak meredam lajunya urbanisasi orang-orang/warga NTT dari desa ke kota. Kota memang selalu menggeliat dengan segala daya tarik dan perubahan, tawaran hidup dan penghidupan yang lebih baik. Kota memang selalu begitu. Geliat pembangunan kota seolah meninggalkan keterbelakangan kampung. Kampung selalu tetap kampung dengan segala kekampungan. Ini pra anggapan dan serentak anggapan kebanyakan orang. Akibat dari silau oleh geliat pembangunan dan daya tarik kota, kita lalu melupakan potensi yang ada di kampung. Kota tak selamanya tangguh dengan peradaban dengan segala keterberian. Ketika kota belum atau bahkan sama sekali tidak memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan perubahan kehidupan yang lebih baik kemanakah kita kembali mencoba berusaha?
Urbanisasi, Globalisasi dan masa depan ekonomi NTT
Arus urbanisasi dan globalisasi memang terus dan senantiasa bergerak tanpa bisa dihentikan. Untuk itu urbanisasi dan globalisasi hanya bisa diantisipasi. Pada tataran inilah peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif, peran DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif, lembaga keagamaan, serta peran lembaga swadaya masyarakat/ NGO atau pun semua yang berkecimpung dalam usaha pembangunan masyarakat untuk urun rembuk mendobrak kemapanan semu dari gaya berpikir warga untuk melihat segala potensi yang ada di desa. Pertanyaanya mengapa demikian? Jawabannya adalah karena globalisasi dan urbanisasi telah dan sedang menyeret orang-orang kampung untuk terus datang ke kota. Globalisasi dan urbanisasi memang punya kedahsyatannya tersendiri karena selalu berbau spekulasi dan polemik. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, globalisasi hemat saya terjadi secara terpusat di sentra-sentra urban. Dan urbanisasi sendiri cenderung memperkuat kesenjangan budaya dan ekonomi di antara wilayah tradisional-rural dan wilayah urban. Dinamika urbanisasi di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang berkelanjutan yang sama dengan bagian lain di dunia. Pada saat ini, rata-rata pertumbuhan penduduk urban sekitar 2-2,5 kali lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk rata-rata nasional. Hal yang sama dialami oleh negara-negara berkembang lainnya. Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sekitar 1,5% per tahun, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia berkisar antara 3,0-3,5 per tahun (Jo Santoso, 2006 Menyiasati Kota Tanpa Warga, Kepustakaan Populer Gramedia dan Centropolis, hal 46). Dengan demikian NTT sebagai bagian dari NKRI, warga NTT pun terseret arus urbanisasi dan globalisasi tersebut. Artinya untuk menampung pertumbuhan penduduk urban yang begitu cepat, Indonesia dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang membutuhkan sekitar 1 juta hektar tambahan luas lahan permukiman di perkotaan. Ini belum termasuk kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan-kawasan perkotaan non-pemukiman seperti kawasan industri dan pariwisata. Salah satu contoh arus urbanisasi warga NTT berdasarkan laporan dari lokakarya yang diselenggarakan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian serta Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia dalam kerja sama dengan Keuskupan Tanjung Selor tahun 2008, dilaporkan bahwa kebanyakan tenaga kerja yang masuk secara ilegal ke Malaysia melalui Nunukan berasal dari NTT. Diantaranya dari keuskupan Laratuka 27.000 orang, dari keuskupan Maumere 15.000 orang, dari keuskupan Agung Ende 10.000 orang. Ini belum termasuk dari keuskupan-keuskupan atau kabupaten-kabupaten lainnya dan jumlah penduduk yang tak sempat terdaftar. Mengaca dari arus urbanisasi dan globalisasi tersebut, maka sangat mempengaruhi masa depan perekonomian NTT. Sebagai propinsi yang pernah menyandang predikat kasus korupsi terbesar di Indonesia dan penduduk yang selalu saja terseret arus urbanisasi, NTT sepertinya tetap berkutat dengan masalah-masalah ketimpangan ekonomi. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan merupakan sebagian dari persoalan-persoalan tersebut. Masa depan ekonomi NTT hanya dapat ditakar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya apabila ada upaya mengurangi lajunya arus urbanisasi, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan-ketimpangan lainnya seperti masalah pendidikan dan kesehatan. Program Anggur Merah dari gubernur saya kira dapat menjadi penopang untuk meningkatkan kesejateraaan dan meredam lajunya arus urbanisasi warga. Semua kita tentunya berharap bahwa semua yang terlibat dan mengurus program Anggur Merah sungguh-sungguh mau bekerja demi peningkatan masa depan ekonomi NTT. Masa depan ekonomi NTT menjadi lebih baik ketika semua yang bekerja dan terlibat benar-benar menunjukkan aksinya, warga memberikan reaksi dan serentak semuanya memberikan responsif. Ini yang paling penting.
Kembali ke Kampung, Bangun Kampung
Geliat kota dengan segala keterberiannya memang selalu menafikan bahwa kota adalah segalanya. Sayangnya kota belum memberikan yang terbaik. Nukilan catatan pinggir yang saya kutip dari Tempo di awal tulisan di atas adalah sebuah wanti-wanti sederhana agar kota jangan sampai membuat kita terseret dan mati karena silau oleh kemilaunya yang sebenarnya samar. Kita kembali ke kampung. Jalan satu-satunya adalah cerdas melihat dan memanfaatkan potensi yang ada di kampung dengan terus menjadikan kota sebagai lokus bergeraknya pangsa pasar segala potensi kampung. Kondisi wilayah pedesaan (baca kampung) di NTT didominasi oleh komunitas yang dapat saya sebut sebagai komunitas pertanian dan perkebunan. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena sebagian besar warga menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian dan perkebunan yang seadanya. Komunitas pertanian dan perkebunan tersebut merupakan miniatur dari keadaan kehidupan di negara-negara dunia ketiga. Wilayah pedesaan di dunia ketiga biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian sempit, desa adalah suatu masyarakat para petani yang mencukupi hidupnya sendiri (Ahmad Erani Yustika, 2002, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, Grasindo, hal 110). Dengan gambaran tersebut, adalah benar jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Akibat dari kemiskinan inilah yang menyebabkan terjadinya urbanisasi. Urbanisasi yang telah terjadi harus diredam dan ditahan. Langkah konkret yang harus dibangun dalam usaha kembali ke kampung dan bangun kampung adalah lebih pada peran pemerintah dan semua stakeholder pembangunan untuk berinisiatif menggerakan roda perekonomian melalui prakarsa strategis, pembangunan infrastruktur yang merata untuk semua kampung-kampung di NTT. Subsidi yang merangsang warga untuk berwirausaha dengan terus melakukan pendampingan dan berbagai upaya peningkatan keterampilan warga kampung. Saya kira pemerintah NTT perlu membuat pemetaan kampung-kampung di NTT dan melihat potensi apa yang ada di kampung untuk digalakkan. Untuk model pembangunan kampung seperti ini, pemerintah hendaknya menjadi entrepreneurial resources. Di samping itu, pemerintah hendaknya menggalang kerja sama dengan usaha-usaha mikro menengah warga kampung yang sudah ada atau pun membentuk bagi kampung yang belum punya usaha mikro menegah untuk membuat rencana pembangunan yang harus do-able, atau dapat dilaksanakan dalam kurun waktu yang tersedia. Maksudnya harus punya target waktu dalam pendampingan usaha mikro menengah dan pembentukan usaha mikro menengah bagi kampung yang belum memilikinya. Perlu juga dukungan politis, strategis dan teknis yang diatur dan difasilitasi secara baik dan terencana. Prinsip dasar ini perlu diperhatikan agar jangan sampai ada satir yang mengatakan gagasan besar hasilnya nol. Jadi yang terpenting dalam usaha membangun kampung adalah pemerintah dan semua stakeholdernya perlu menentuka prioritas dengan memetakan potensi kampung. Pada titik ini tentunya kita membutuhkan perencanaan. Bangun kampung tidak hanya soal bangun fisik kampung tapi juga jiwanya. Membangun kampung memerlukan juga manajemen yang efektif. Tidak harus langsung mencapai hasil 100% tetapi seperti hukum Pareto 80:20, lakukanlah 20 untuk mencapai 80, dan jangan sebaliknya, melakukan 80, namun hasilnya hanya 20 (bdk Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroo D. 2006, Manajemen Pembangunan Indonesia, Sebuah Pengantar dan Panduan, Elex Media Komputindo, hal 232). Kembali ke kampung berarti meredam gejolak urbanisasi untuk tidak terus-menerus datang ke kota dan berharap pada pencapaian penghidupan yang layak di kota. Tetapi juga menjadikan kota sebagai lokus pangsa pasar yang tepat segala potensi yang telah dicapai di kampung. Semuanya tentu butuh perhatian dan tangan bersama untuk membangun kampung. Pesona kota di mana pun memang akan terus menarik perhatian, tetapi kampung harus terus menggeliatnya. Memberikan yang terbaik bagi semua anak-anak NTT. Kota menggeliat, kampung pun demikian.
No comments:
Post a Comment