Thursday, 17 June 2010

Kebebasan Berekspresi

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende

Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater menurut Asrul Sani pada tahun 50-an adalah salah satu bentuk demokrasi yang lain. Penulis menjadi sangat terkesan akan kegiatan yang telah dilaksanakan selama lima hari berturut-turut dari tanggal 18 Januari-22 Januari 2010, dimana para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor bekerja sama dengan Penerbit Nusa Indah Ende menggelar acara pentas drama dan teater. Acara ini terselenggara berkat motivasi yang kuat dari P. Lorens Olanama, SVD selaku dosen mata kuliah Menulis Drama Pentas. Tujuan utama mata kuliah menurut Olanama yang juga adalah seorang penulis naskah drama dengan dramanya yang terkenal Mayat-Mayat Berjalan yakni mahasiswa dapat menghasilkan sebuah drama atau pun teater. Dan terbukti bahwa mahasiswa mampu menghasilkan karya terbaiknya. Selama lima malam berturut masing-masing kelas dari kelas A-E semester lima FKIP/PBSI Uniflor unjuk kebolehan di atas panggung di showroom Penerbit Nusa Indah. Mahasiswa tampil memukau dan penonton pun membludak penuh antusias menyaksikan pentas drama dan teater. Berkenaan dengan kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih jauh seputar teater sebagai satu bentuk demokrasi yang lain itu. Penulis meyakini bahwa teater adalah sebuah bentuk kebebasan berekspresi yang sarat dengan muatan kritik yang reflektif yang layak untuk didengarkan. Sebagai sebuah seni pertunjukan teater adalah juga kritik sosial yang berangkat dari realitas. Kritik dalam teater memang menyakitkan tetapi lebih menyakitkan bila kritik itu tidak didengarkan. Bagaimanakah jalinan antara demokrasi dan teater itu? Terlebih dahulu dijelaskan apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah suatu forum dimana orang bisa melontarkan isi hatinya dan bisa pula membantah pendapat orang. Untuk mengambil keputusan atau macam-macam cara. Ada yang menempuh cara mufakat bulat. Ada pula yang lewat voting. Wajib menang adalah yang suaranya terbanyak. Dengan cara persuasi ia berusaha membujuk orang untuk berdiri dipihaknya. Sifat terbuka merupakan syarat pokok dari semua yang sifatnya demokrasi. Jika sesuatu ditutup-tutupi, seribu kali dia meneyebut demokrasi, sesungguhnya ia sama sekali bukan.
Dan apakah teater itu? Teater juga suatu forum dimana orang bisa menyatakan suara hatinya. Pada saat yang bersamaan, dia pun bisa membantah apa yang dikatakan pihak lain. Semuanya pun berlangsung terbuka dan tidak ada yang disembunyikan. Itu sebabnya pada tahun 1950-an Asrul Sani pernah menyebut bahwa “teater merupakan alat demokrasi yang lain”. Melalui kekuatan kata-kata yang ekspresif para penulis, dramawan muda Uniflor telah dengan sangat telak membawa teori seputar penulisan drama atau pun teater ke atas panggung. Meskipun masih dalam tata panggung yang minimalis toh patut diakui bahwa sebuah kreatifitas itu telah tumbuh dan sedang mekarnya melecutkan semangat muda anak-anak NTT untuk menunjukan bahwa mereka bisa dan kebebasan berekspresi yang mereka tuangkan melalui tulisan kemudian diterjemahkan ke atas panggung merupakan sebuah digdaya yang teramat bermakna bagi para penonton (baca, penikmat karya seni) yang sungguh menyadari bahwa bentuk demokrasi yang lain itu sungguh-sungguh sebuah pelajaran teramat berharga untuk menata ulang sekaligus menafsir ulang kebenaran yang mungkin sudah terlalu mapan dan kaku untuk terus dijalani. Bahwa kata yang diteriakan di atas panggung adalah sungguh sebuah karya seni yang tidak berangkat dari realitas semu melainkan dari realita yang sesungguhnya. Bahwa kata yang menjadi ungkapan tercurah dalam dialog di atas panggung dapat menimbulkan efek transformatif. Kalau dalam demokrasi kata bisa saja dimanipulasi maka dalam teater kata menemukan bentuknya sebagai sebuah label bentuk yang diacu yang didalamnya para penonton akan mengetahui bahwa kebenaran kata yang dikemukakan itu bisa benar dan bisa saja bohong. Semuanya langsung terbaca oleh para penonton. Sebagai contoh dalam pertunjukan teater, seorang mahasiswa yang menjadi raja dapat memaki-maki dosennya yang menjadi prajurit. Dan Indonesia adalah sebuah panggung sandiwara, (Jakob Sumardjono, Kompas 23 Januari 2010). Penonton akan langsung menagkap bahwa mahasiswa itu hanya jago di atas panggung pentas ketika menjadi raja dan akan mati kutu tak berdaya saat tidak berada di atas panggung atau berada pada lingkup kampus. Dan semuanya pasti tahu bahwa seorang mahasiswa tidak mungkin melebihi dosennya walaupun kadang-kadang mahasiswa lebih unggul dari sang dosen. Bangsa ini menyatakan dirinya sebagai bangsa yang ramah, santun, berbudi luhur, kenyataannya paradoks, kita bisa lebih barbar dari bangsa manapun. Kenyataan inilah yang telah menjadi acuan bagi para mahasiswa untuk coba menembus sekat kemapanan itu untuk coba bersuara lewat pentas drama dan teater. Daripada harus cape-cape turun jalan untuk berdemonstrasi, walaupun sebenarnya demonstrasi itu baik dalam tataran demokrasi tetapi karena sering tidak didengarkan maka melalui panggung pentas kekuatan dialog itu menjadi semacam élan vital untuk mencoba bersuara. Inilah sebuah bentuk kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi memang menyenangkan tetapi sekaligus membawa racunnya sendiri. Mengapa? Jawabanya karena para penguasa kadang takut dengan ekspresi kebebasan itu sehingga banyak penguasa yang menindasnya. Dalam teater, kebebasan berekspresi menunjukkan ada kesalahan, ada kemungkinan untuk memikirkan kebenaran yang kadang tersembunyi dan seorang tokoh dari teater itu menyeruakan kebenaran yang sesungguhnya. Kebebasan berekspresi yang telah ditunjukkan oleh para mahasiswa dengan teater dan dramanya sebenarnya adalah bentuk kebebasan yang dalam hidup harian kita sangat ditakuti oleh penguasa atau pun juga hidup kekeluargaan kita. Penulis meyakini bahwa apa yang dikemukakan oleh Asrul Sani bahwa teater adalah sebuah bentuk demokrasi yang lain akan membuat kita semua patut memberi apresiasi kepada para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor yang telah dengan sangat antusias mewartakan kebebasan ekspresinya dalam tulisan kemudian dibawakan di atas panggun pentas. Inilah sebuah ikthiar nyata memasyarkatkan sastra. Apa yang telah ditulis dan dipertontonkan di atas panggung sebenarnya adalah refleksi dari keadaan masyarakat yang memimpikan keadaan yang lebih baik. Teater juga adalah kebutuhan kita. Didalamnya kita melihat diri kita sendiri. Tanpa rasa takut dan diburu. Teater bukanlah luks buat kita melainkan adalah gambaran kehidupan kita ibarat makanan dan minuman sehari-hari.

1 comment:

  1. 1xbet | 1xbet | Bet with a Bonus - RMC | Riders Casino
    1XBet allows you to bet on 1xbet 먹튀 any favourite horse races or any หาเงินออนไลน์ other sporting https://septcasino.com/review/merit-casino/ event. ✓ Get nba매니아 up to £300 bsjeon + 200 Free Spins No Deposit

    ReplyDelete

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...