Oleh Hengky Ola Sura
Kru Seniman Kata Uniflor
Tidak ada lagi yang tersisa untuk kukenang dari sebuah pantai yang setia menunggu debur ombak, selain tentang seorang perempuan dengan tangisnya yang berderai sepanjang hari di awal pertemuan kami pada sebuah pantai. Terakhir kali dia mengirimkan pesan singkat untukku bahwa ia akan menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Aku jadi tahu bahwa menikah bukan untuk impiannya melainkan demi nama baik dan status keluarganya yang berdarah biru. Lama aku termenung menelaah isi terdalam dari pesan singkatnya. Ia sama sekali tak membahasakan tentang sedih atau rasa terlukanya menuruti keinginan ibunya. Benar juga menikah di saman ini bagi orang tua adalah melihat bibit, bebet dan bobot. Dan untuk ketiga pokok penting itu aku sama sekali tak masuk nominasi. Bosankah ia menjalani hubungan cinta denganku yang hanya cuma perhatian seadanya dan bait-bait puisi setiap hari-hari yang lalu? Cinta pada gilirannya adalah soal hidup, dan hidup bukanlah puisi melainkan realita. Dan ah aku kalah. Aku ingin menangis sejadi-jadinya tapi untuk apa juga menangisi sesuatu yang pada akhirnya tak dapat ku genggam untuk sebuah kesejatian paling hakiki dari diriku. Ku tak pedulikan lagi semua yang pernah terjalani. Ini bagian dari kekelaman perjalanan cinta. Ada yang bilang ketika kita mencinta maka kita harus siap untuk terluka. Dan itu menjadi semacam sebuah peneguhan untukku. Memang menyakitkan tapi aku percaya bahwa pasti ada bunga pujaan baru yang datang untuk disematkan pada perjalanan hari-hari yang akan datang. Semalam suntuk aku mengenangnya. Aku hanya bisa diam dengan lagu-lagu patah hati yang semakin melengkapi penderitaan dari sebuah duka perjalanan cinta. Semua kenangan tentangnya belum bisa ku hapuskan dengan cepat. Menjelang pagi aku cuma bisa terbengong depan meja belajarku dan sebuah puisi tentang kedukaannya ku tulis. Entahlah. Aku tak pernah tahu apakah keputusannya meninggalkanku adalah sebuah kedukaan. Aku tak peduli tetapi sedikit punya keyakinan bahwa ia juga pasti cuma bisa memejamkan mata tanpa pernah lelap tertidur. Sungguh tak tertidur. Dengan kopi kental yang mulai mengering di gelas dan asap rokok yang terus mengepul aku hanya bisa membahasakan sebuah ode untuknya. Inilah ode perempuan yang aku tulis untuknya;
ode untuk perempuan
untukmu
ingin ku rajutkan segenap malam
dari
tumpahnya harapan
yang ditelantarkan hujan
engkau bercerita padaku
tentang mimpimu yang sunyi
tentang impian berada di hutan
tentang impian berada di bukit
tentang impian berada di lautan
tapi itu hanya mimpimu yang sunyi
engkau bercerita padaku
tentang mimpimu yang gelisah
tentang impian melarikan diri
tentang impian bunuh diri
tentang impian mati yang tragis
tentang impianmu bebas dari kepasungan cinta
tapi itu hanya mimpimu yang sunyi
perempuan
oh perempuan
engkaukah yang merintangi cintamu
dengan ceracau bundamu untuk berbakti
lalu engkau terkapar dalam belenggu
perempuan
oh perempuan
Aku lalu tertidur berharap memimpikan kehadirannya dalam mimpiku pada malam yang hampir usai. Aku tak peduli, aku mau terus tidur sampai puas dan aku bangun. Aku berharap esok ketika aku bangun semua tentangnya telah dapat kulupakan.
Tepat pukul 9.30 pagi aku sadar dan rumah kontrakan terasa benar-benar sayu, sunyi. Hanya ada aku. Ray, Fandy, Oken, Luken dan Albert yang adalah kawan-kawan sekontrakan telah berangkat ke tempat kerja mereka masing-masing. Kami memang sahabat tak terpisahkan tapi soal perempuan, masing-masing kami tak mau terlalu mencampuri urusan seorang diantara kami. Aku bangun langsung menuju kamar mandi. Ada kesegaran yang menyusup setiap inci dari tubuhku saat ku sirami tubuhku. Usai mandi dan segelas mocca, sepotong roti menjadi sarapanku. Aku malas menjalani hariku. Ku putuskan tak masuk kerja. Reportase yang harus ku kerjakan untuk feature aku tangguhkan. Sehari-hari aku bekerja sebagai jurnalis freelance untuk berbagai koran dan mengajar sore pada sebuah sekolah menengah atas untuk bidang studi keterampilan menulis. Aku sebenarnya cuma mau mengisi hari-hari mudaku dengan mencoba segala jenis pekerjaan sampai aku menemukan yang cocok. Untuk saat ini aku menikmati pekerjaanku sebagai jurnalis freelance dan pengajar di sebuah sekolah menengah atas. Penghasilanku cukup untuk membiayai hari-hariku dan sedikit untuk deposito. Aku jengah, ternyata bayangannya masih terasa begitu dekat padaku. Aku benar-benar merindukannya tapi aku tak mau lagi untuk menghubunginya. Cinta memang tak berdaya didekapan warna-warni dan pilihan untuk hidup. Aku heran tapi harus mempercayai kenyataan bahwa masih ada orang tua yang harus ikut campur dalam menentukan pasangan hidup anaknya. Ataukan ia cuma berbohong karena telah menemukan lelaki lain yang lebih mampu memberikannya rasa sayang dan kenyamanan. Ah Lira kenapa kamu terasa begitu berarti saat tak lagi denganku. Aku jadi galau mereka-reka apa sebenarnya yang terjadi. Lira memang pernah mengungkapkan kekesalannya padaku tentang tuntutan orang tuanya agar mencari pendamping hidup yang sepadan dengan status sosial dan kedudukan keluarganya. Ia kadang-kadang mengeluh bosan berada dalam segala kemewahan rumahnya dan mau berada di hutan. Mau bunuh diri dan sebagainya. Aduh Lir, kamu punya segalanya, sedang aku cuma bisa memberikan kamu puisi. Itu saja. Kata-kata itu terucap saat Lira memintaku mengantarkannya ke rumah usai bekerja dari kantornya. Dan apa yang terjadi, ayahnya mengusirku secara halus. Hai anak muda, kamu punya nyali juga ya mau menikah dengan putriku? Terima kasih telah mengantar putriku, tapi semoga kamu cukup tahu diri. Aku tak bisa bilang apa-apa selain putar haluan dan hilang dengan kimco bututku. Aku ke pantai menikmati suasana pantai tempat aku bersama Lira biasa saling melepaskan segala kerinduan yang terbersit. Aku cuma bisa duduk diam memandang ombak pantai yang lembut mengecup bibir pantai. Aku jadi teringat Lira yang hanya bisa diam mendengar kata-kata ayahnya. Lira memang malas berdebat, apalagi dengan ayah dan ibunya. Dia pendengar yang baik dan seorang dengan kemampuan intelektual yang menjadi satu alasan mengapa aku benar-benar gila sama Lira. Rasanya aku bukan orang yang tepat Lir, demikian pesan singkat ku kirim untuknya. aku mengasihi Lira, tapi aku tak berdaya. Dia membalas pesan singkatku, maafkan aku Rein,tak dapat membelamu di depan ayah. Aku lalu membalasnya, tidak apa-apa Lir, kita mesti realistis. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa buat hidupmu. Lira langsung meneleponku dan dari handphoneku ku dengan Lira hanya bisa menangis. Tangisnya tumpah, ia menangis sejadi-jadinya dan hanya mampu bilang maafkan aku ya Rein.
###
Aku pergi dari kotanya. Tak ada yang dapat ku ucapkan lagi. Diam-diam aku pergi meninggalkan Lira. Aku tak mau ia tahu. Aku hanya ingin ia dapat dengan tenang dan pasti menerima lelaki pilihan ibunya. Aku kembali ke kotaku. Sahabat-sahabat yang sekontrakan denganku dengan semangat memotivasiku untuk tidak larut dalam kekalahan pesiarahan cinta. Aku menggantikan nomor handphoneku, semuanya sengaja aku lakukan agar Lira tak lagi menghubungiku. Tapi aku yang jadi dilema, jangan-jangan aku malah yang nanti menghubunginya. Ah, tak peduli. Aku kembali ke kotaku. Dua tahun berjalan dan aku mulai dapat menerima kehilangan Lira dalam bingkai kenangan perjalanan cintaku. Lira memang telah menjadi perempuan masa lalu yang mengajarkan aku untuk secara ikhlas merelakannya dicintai oleh lelaki pilihan ibunya. Saat bayangan Lira mulai hilang, kemarin malam Albert meneleponku memberitahukan tentang pernikahan Lira yang akan berlangsung bulan depan. Dan melalui Albert, Lira memintaku untuk mengahadiri resepsi pernikahannya. Aku tertawa dan bilang mudah-mudahan bro. Entah mengapa tiba-tiba segala kenangan tentang Lira pada masa yang lalu terasa begitu dekat denganku. Aku benar-benar merindukannya. Dengan sisa keberanian dan rasa rindu yang memblingsatnya aku menelepon Lira. Dari seberang terdengar suara lembutnya. Hallo, hallo selamat malam ini dengan siapa ya? Lir, ini aku. Rein, Rein kamu dimana sayang? Lira lalu menangis dan terus menangis. Rein sayang......Lira terus menangis dan diakhir tangisannya Lira memintaku untuk segera datang ke kotanya. Untuk terakhir kalinya aku mohon Rein, tolong ya temui aku di tempat biasa, pada pantai di kotaku dulu kita mengarungi kebersamaan.
Bulan di atas kota dan selembar potretnya masih ku simpan. Aku lelaki kini datang ke kota mantan kekasihku untuk memenuhi permintaan terakhirnya. Lama aku menikmati kesendirian di pantai menunggu datangnya Lira. Dan aku terpana ketika Lira datang menemuiku di kedai dekat pantai tempat dulu kami menjalin cerita cinta kami. Lir, kamu semakin cantik, tubuhnya yang semampai dengan kulit hitam manis. Ia kelihatan cerah. Kamu juga Rein, dari dulu aku selalu menyukaimu bahkan sampai saat ini. Ah apa-apaan lagi Lir, sebentar lagi kamu menikah dan aku harus kembali ke kotaku. Rein, jangan pernah berpikir bahwa aku bahagia. Aku bahagia saat ini karena aku menemui kamu lagi Rein. Memang selanjutnya kita tak lagi bersama, tapi aku mohon Rein dengarkan curhatku. Setelah semua kebahagiaan denganmu Rein, aku berat menerima kenyataan bahwa aku harus menjadi istri dari lelaki pilihan ibuku. Aku menjadi istrinya yang tak ku cintai setengah mati seperti aku mencintaimu Rein. Kita pernah punya mimpi yang sama tentang rumah impian dan anak-anak kesayangan kita. Tapi aku tak kuasa lari semua kenyataan ini Rein. Kebahagiaanku denganmu tak akan pernah bisa dibayar dengan bergelimangnya harta, rasa sayang untukmu tetap ada Rein, sampai aku mati sekalipun. Aku merasakan dadaku berdesir, ingin ku ringkus tubuh ayunya dalam pelukanku, tapi aku tak mampu. Aku kagum akan kebersehajaannya. Ia telah belajar banyak untuk menerima semuanya dengan realistis termasuk mengorbankan cinta sejatinya. Seperti dulu, aku kembali menanamkan makna kebersehajaan kepada Lira. Hidup ini seperti aliran air Lir. Apapun yang terjadi aku mau kamu menjalaninya dengan tegar. Kita tak pernah tahu aral apa yang bakal menghadang di depan kita. Yang pasti hidup akan terus mengalir, terus berlanjut, entah sampai kapan Lir. Dari matanya yang indah aku melihat ada yang meleleh dari kelopaknya. Lira menangis. Ku beranikan diri menyeka air matanya dan aku berdesis dalam diamku, Tuhan, wanita ini terlalu sempurna untukku. Malam semakin malam dan Lira mengajakku menyusuri pantai. Ku tolak tawarannya. Dengan rendah hati aku meminta ia segera pulang. Aku antar dia menaiki mobilnya. Sebelum naik ia memelukku erat-erat. Mengingatkanku bahwa ia akan selalu menghubungiku. Dengan gagu aku berkata, terima kasih Lir, masih menyisakanku kenangan. Dengan lancang aku mengecup keningnya. Lira berlalu, dan bulan di atas kota semakin benderangya, selembar fotonya ku lihat lagi. Aku membathin dan pergi juga dari pantai di kotanya. Ah perempuan masa lalu, ku doakan dengan tulus semoga hidupnya bahagia sampai akhir hayat. Aku memang tak perlu lagi datang ke pesta pernikahannya. Aku pulang dan segera aku menelepon perempuan impianku, kekasih baruku. Hallo Oping sayang, dan ia menjawab mesra, segera pulang sayang, aku rindu. Ah hidup di dunia fana kadang-kadang buatku ingin hidup lebih lama dan kadang-kadang ingin segera mati.
(Ende, Malam Minggu, 10 April 2010, didedikasikan untuk kawan-kawan kelas H dan I Jurusan Sastra Indonesia, persahabatan kita bagai kepompong)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment