(Apresiasi atas kolom Imaginasi Pos Kupang pada HUT-nya)
Oleh Hengky Ola Sura
Peminat sastra, pendiri dan ketua Sanggar Sastra Sint. Conrad
KHALIL Gibran, penyair terkenal dari Libanon pernah menulis demikian : "ada orang yang mengatakan kepadaku, jika engkau melihat ada budak tertidur, jangan digugah, barangkali ia sedang bermimpi akan kebebasan". "Kujawab: "jika engkau melihat budak tertidur, gugahlah dan ajak berbicara tentang kebebasan." Dengan tulisan ini sebenarnya Khalil Gibran mau mengatakan bahwa pikiran seseorang tidak ada maknanya bila pikiran itu tidak diterjemahkan dalam kata-kata atau kalimat yang dapat menenun sebuah karya sastra. Puisi sebagai sebuah karya sastra tentunya adalah tenunan dari kata-kata seorang peminat sastra/penyuka puisi (penyair) untuk membahasakan jalan pikiran atau pengalaman batinnya akan realitas yang terjadi dalam dirinya, sesamanya atau lingkungannya.
Seorang budak yang tertidur seperti kata Khalil Gibran di atas haruslah diusik agar ia mampu membahasakan mimpinya yang belum usai menjadi sebuah kenyataan akan kebebasan yang harus diraihnya. Kemapanan mimpinya haruslah dibongkar agar ia jangan sampai terlena dan ketika ia sadar ia tetap seorang budak belian.
Seorang budak menurut cetusan Khalil Gibran tersebut, hemat saya, bisa saja ditujukan kepada para pemegang tampuk kekuasaan dari kelas rendah sampai kelas tinggi yang lelap dalam gemerlap dan menterengnya hidup dari uang rakyat lalu lupa dan terus bermimpi. Maka mimpi mereka haruslah diusik dalam berondongan kata-kata sang penyair yang membuat kemapanan (baca: sikap apatis dalam memperkaya diri) mereka terbongkar. Padi titik ini puisi sebagai sebuah karya sastra telah tampil sebagai media kontemplasi dan introspeksi diri. Pos Kupang sebagai sebuah koran kebanggaan NTT setiap hari Minggu tampil dengan kolom imaginasinya yang menarik. Sebuah kolom yang memuat puisi-puisi dan cerpen putra-putri NTT. Kolom ini dilihat sepintas seperti tak bermakna karena memuat karya-karya orang iseng penuh dengan bumbu kata yang indah, penuh idealisme dan terlihat merusak bahasa Indonesia karena susunan kata-kata yang kadang nyeleneh. Orang lantas menjadi alergis terhadap segala sesuatu yangberbau puisi. Namun toh patut diingat bahwa kolom ini secara tidak langsung telah mendidik orang-orang NTT untuk berkreasi menjadi orang yang dapat menyatakan kemampuan ekspresif. Kemampuan ekspresif dapat dipahami sebagai suatu kemampuan seni yang mengekspresikan kehidupan manusia atau alam yang bersumber dari rasa, naluri dan hati. Kehidupan atau pengalaman estetik tertentu, menjadikan penyair menggores aksara dan menenunnya dalam kata.
Kata menjadi sebuah satu cakupan dari karya sastra. Kolom ini merupakan medium pembelajaran bagi putra-putri NTT untuk menyatakan kemampuan ekspresif. Kemampuan untuk memberondongkan kata-kata menjadi sebuah karya sastra (baca: puisi) yang melahirkan kontemplasi dan introspeksi bagi penyair itu sendiri dan juga para pembacanya.
Eksplisitasi dari potensi ekspresif setiap orang dapat dilihat dalam karya sastranya (baca : puisi-puisi). Oleh karena itu dalam menulis puisi patutlah diingat bahwa, "Puisi" dan puisi tidak sama. Puisi yang penulis maksudkan dalam jenis pertama tanda kutip tersebut biasanya melenggang begitu saja, penuh bumbu kata yang indah. Bertumpuk rasa dan kerinduan. Contoh puisi jenis ini dapat kita lihat dalam cetusn hati para anak remaja yang lagi jatuh cinta atau lagi kasmaran. Berangkat dari pemahaman yang minus akan puisi dan konsepnya mereka memuntahkannya dalam coretan puisi yang penuh sanjungan tanpa jiwa. Akibatnya, puisi-puisi mereka tidak lebih dari sekadar tumpukan kata puitis dan lagi-lagi tanpa jiwa. Persoalan akan menjadi lain bila kita berhubungan dengan puisi jenis kedua. Yang penulis maksudkan yang tanpa tanda kutip. Puisi jenis ini biasanya tampil apa adanya. Berkata apa adanya. Tidak sarat rasa, dan tidak berambisi pada kata-kata indah mempesona. Dia kelihatan biasa-biasa saja, bahkan sekilas cenderung lugu.
bagaimana hatiku terbuka bila tidak pernah dipecah (Khalil Gibran)
Keindahan bahasa macam mana, atau perasaan romantis macam apa bisa diharapkan dari larik berisi kata-kata seperti ini agar bisa disebut puisi? Tetapi bila dilihat bukan syarat formal puisinya, melainkan maknanya, apalagi bila pembaca memiliki asumsi bahwa pada dasarnya bahasa manusia bukan semata-mata alat komunikasi kehidupan sehari-hari, penuturan Khalil Gibran di atas bukan lagi sekadar kata-kata, melainkan lebih dari itu: "kata-kata sekaligus jiwanya". Maka makna kata "hati" pada baris pertama puisi Gibran itu tidak lagi harus dipahami seratus persen harafiah sebagai salah satu organ fisiologis yang ada dalam tubuh manusia, sebab di sana Gibran telah berbicara tentang sesuatu "hati" lain yang berasal dari dunia rekaan, dunia imajinasi. Begitu juga "hati’, tidak lagi sekadar rentetan bunyi fisik (konsonan, vokal) yang menjadi unsur pembangun kata(fonem) dalam bahasa, tetapi telah menjadi sebuah konsep atau makna penanda suatu kenyataan tertentu dalam realitas sesuai maksud penyair. Arti kata "hati" dan kata-kata lain dalam puisi Gibran itu telah meluas maknanya melebihi makna biasa seperti dipahami dalam bahasa sehari-hari. Kata-kata itu telah menjadi sebuah puisi.
Kolom imaginasi pada Pos Kupang patut mendapat apresiasi. Apresiasi untuk Pos Kupang yang telah memberi ruang untuk purta-putri NTT agar menumpahkan kemampuan ekspresifnya dalam goresan kata. Apresiasi untuk putra-putri NTT yang mencoba memahami puisi dari konsep yang masih minus. Penuh dengan deretan kata indah tanpa jiwa, menuju kepada pemahaman akan nilai didaktik sebuah puisi yang mengajak penyair maupun para pembaca puisi untuk berkontlemplasi dan berintrospeksi diri. Puisi sebagai media kontemplasi dan introspeksi diri yang ditulis seorang penyair dengan sendirinya akan menaikan pamor penyair itu sendiri sebagai seorang sastrawan hati nurani. Sastrawan hati nurani memperjuangkan yang benar dan yang adil, mengangkat harkat - martabat manusia, menopang perdamaian, persaudaraan, perikemanusiaan dan peradatan. Maka benar apa yang dikatakan Mangun-wijaya, penyair itu bagaikan empu keris. Dengan kata-katanya yang cenderung lugu namun tajam seorang penyair telah tampil sebagai seorang demonstran pena.
Lantas, apakah niat para pembaca atau penikmat puisi untuk memahami puisi harus didukung terlebih dahulu oleh keahlian yang memadai di bidang ilmu susastra? Tentunya pertanyaan ini dijawab tidak! "Begitu manusia belajar menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi untuk kehidupan sehari-hari, ia juga mulai belajar mempermainkan bahasa untuk tujuan-tujuan lain".
Ingat saja seorang ibu yang menyanyikan lagu nina bobo bagi bayinya yang hendak tidur, meski ia tahu bahwa apa yang ia senandungkan sama sekali tidak dipahami oleh si bayi. Begitu juga seorang nenek tidak akan bosan mendongeng bagi cucu-cucunya menjelang tidur, meski si nenek tidak pernah tahu bahwa perbuatannya itu telah, secara tidak insaf, melatih anak-anak itu berkomunikasi dalam dunia imajinasi dan ikut menciptakan dunia rekaan. Anak-anak yang lugu akhirnya lelap dalam dongeng neneknya ataupun nina bobo ibunya pun dalam diam berkontemplasi dan berintrospeksi diri. Kita terus menjadi sadar bahwa manusia tidak saja homo sapiens, homo faber atau homo orans, tetapi juga homo "fabulans" makhluk bercerita, insane bersastra, pembaca puisi sekaligus penyair. Viva Pos Kupang. Ad multos annos.*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment