
Oleh Hengky Ola Sura
Euforia politik tahun 2009 memang menarik. Banyak pengamat politik baik dalam maupun luar negeri mengarahkan perhatian penuh pada pergerakan suhu politik Indonesia yang kian memanas. Rakyat merasa bingung sementara angin reformasi politik yang mendidik terus bergulir hanya demi tegaknya demokrasi. Tidak ada kata lain lagi selain menyerukan” demokrasi “. Demi demokrasi di negeri ini, maka ruang gerak partai semakin luas. Langkah para elit politik guna mendirikan partai semakin banyak. Partai-partai baru bermunculan. Kita anggap sebagai partai yang berani menyaingi partai-partai tua yang juga tidak kalah pentingnya. Di tahun 2009 ini, ada 38 partai politik yang bersaing memperebutkan kursi di lembaga legislatif. Sebuah lembaga empuk yang nyaring meneriakkan demokrasi. Rakyat bisa kewalahan menentukan pilihan. Nama, poster dan slogan berat maupun ringan para caleg baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat nasional memenuhi jalan raya bahkan gang-gang kota dan desa. Ada-ada saja cara yang dipakai untuk berusaha menarik perhatian publik. Permainan warna, bentuk dan desain foto para caleg kita patut dicermati. Gaya dan cara pengambilan gambarpun menjadi ukuran sebuah tingkat ketertarikan tersendiri untuk dipertontonkan kepada publik. Pemilihan kata dan kalimat yang digunakan dalam setiap poster atau balihopun beragam. Kata-kata ini dianggap sebagai pemanis hati dan pikiran rakyat. Belum lagi strategi yang digunakan untuk memperoleh simpati rakyat. Penampilan, gaya bicara, arus silahturami, dan selalu turba agaknya tidak terbendung lagi. Semuanya serba makan biaya. Tidak gratis. Kalau gratis itu bukan namanya politik. Ini namanya biaya politik. Para caleg kita bisa saja menyediakan biaya yang cukup besar untuk proses ini. Para caleg kita mau belajar untuk menerobosi panggung perhelatan politik yang akan segera tiba. Tinggal beberapa hari lagi, seluruh rakyat di negeri ini, akan memberikan hak suaranya. Lalu siapa yang akan paling beruntung atau diutungkan. Kita lihat saja hasilnya. Tetapi yang pasti, rakyat akan memilih sosok yang paling familiar dan bisa dipercaya. Singkat kata, sosok caleg yang akan duduk di kursi DPR/DPRD bukan sosok yang hanya sekedar menjual tampang lewat baliho atau poster saja tetapi sosok yang mau bekerja untuk rakyat dan bukan untuk diri sendiri. Menjadi caleg bukan supaya bisa bekerja melainkan supaya bisa menjadi pelayan bagi semua orang. Pelayan yang rendah hati dan tak pernah berhenti berpikir tentang rakyatnya.
Sudah saatnya para caleg kita mesti melihat diri sendiri. Bisa melihat potensi-potensi diri. Potensi diri bukan saja terletak pada pangkat atau gelar yang disandang, melainkan potensi yang berakar pada kedalaman diri sendiri. Anda adalah seorang pelayan,(hamba) dan rakyat adalah tuan. Secara material anda adalah sosok yang mampu. Sosok yang tidak kalah bersaing dengan orang lain. Poster dan baliho yang terpancang dengan slogan pemanisnya adalah bentuk kekuatan diri anda. Anda merasa diri kuat, hebat, percaya diri, bangga, terkenal dan diagung-agungkan oleh rakyat karena anda bisa menjadi caleg. Dalam keadaan demikian penulis yakin bahwa para caleg masuk dalam sebuah penilaian diri yang berlebihan yang penulis sebut dengan megalomania politik. Psikolog Erik H. Erikson mengatakan bahwa, megalomania adalah penilaian diri yang berlebihan tentang kepentingan dan kemampuan diri sendiri, yang seringkali terjadi dalam penyakit psikis seperti mania dan paranoia, dimana penderia mengkhayalkan dirinya sebagai orang yang agung dan mulia, misalnya sebagai raja, pejabat eksekutif, pejabat legislatif dan sebagainya. Berhadapan dengan ini apakah para caleg sesungguhnya tengah dihinggapi sindrom megalomania politik itu? Apalagi hari menjelang pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Para caleg adalah orang yang tengah mengalami megalomania politik untuk sementara waktu. Artinya bahwa dibalik semangat unjuk diri lewat baliho-baliho dan safari politik yang memperbincangkan kelebihan dan prestasi yang dimiliki dan apa yang dibuat tentunya para caleg memiliki ketakutan tersendiri. Pertanyaan menantang” apakah anda bisa menjadi caleg yang baik bagi diri anda? Agak sulit bila menjawabnya. Sebab diri sendiri sulit untuk ditaklukkan. Musuh atau lawan yang paling ditakuti adalah diri sendiri. Saat ini anda mungkin saja sudah mulai was-was, takut dan cemas jangan sampai anda gugur dalam perhelatan politik yang akan datang. Jika anda gagal, bukan berarti anda tidak termasuk megalomania politik. Anda semestinya sudah memposisikan diri anda sebagai orang yang kalah untuk menang sebab politik adalah seni dari suatu kemungkinan (the art of impossible). Politik adalah suatu permainan seni yang bisa berubah dari waktu ke waktu. Dalam politik yang sehat dan rasional, kawan bisa jadi lawan. Politik adalah seni yang mengatur bagaimana orang mesti berkompetisi dalam sebuah wacana politik. Seni sebuah politik yang mungkin, tidak saja terletak pada bagaimana memanfaatkan potensi-potensi politik yang ada tetapi harus berusaha untuk bisa menciptakan peluang-peluang politik yang baru. Yang belum ada menjadi ada. Seni berpolitik yang mungkin merupakan suatu dorongan berprestasi yang berorientasi pada pemanfaatan potensi-potensi diri. Seorang yang memiliki motivasi yang baik untuk maju maka dorongan prestasinya akan lebih besar. Orang yang demikian akan mampu untuk menciptakan peluang-peluang yang baik bagi orang lain dan bagi diri sendiri.
Anda adalah megalomania politik yang bisa berdiri diatas kaki anda sendiri. Seorang megalomania politik yang mandiri, melakoni prestasi politik yang bisa membanggakan banyak orang. Seorang megalomania politik adalah juga seorang yang seni dalam memperebutkan kekuasaan politik. Kekuasaan politik yang diperebutkan adalah milik rakyat, bukan punyanya kamu. Bila kita sudah berbicara tentang kepunyaan rakyat, maka seorang megalomania politik mesti tahu menempatkan diri sebagai miliknya rakyat bukan memiliki rakyat. Yang dipertaruhkan oleh seorang megalomania politik adalah tanggung jawab dan kepercayaan dan bukan kekuasaan. Seorang megalomania politik mesti memiliki kapasitas sebagai perpanjangan tangan rakyat, bukan panjang tangan atas rakyat. Politik demi atau untuk kebaikan bersama bukan demi kebaikan perseorangan atau kelompok tertentu.
Rakyat bebas untuk menentukan pilihan tanpa paksaan. Anda telah menjual megalomania diri anda kepada rakyat. Suara hati nurani rakyat memang mahal melebihi megalomania diri anda. Rakyat kita tidak semestinya membiarkan diri anda melarat atau derita. Rakyat tahu bahwa anda adalah caleg. Rakyat mengenal caleg. Rakyat membaca slogan dan melihat wajah caleg, laki-laki dan perempuan. Pertanyaan’ apakah rakyat mau memilih anda? Belum tentu! Dan apakah rakyat tidak mau memilih anda? Belum tentu! Anda terkurung dalam keterpurukan psikologis untuk menerima atau menolak kenyataan yang terjadi atas diri anda setelah pemilihan nanti. Bagi yang terpilih sudah pasti akan bersyukur dan membanggakan diri. Dan bagi yang belum terpilih kali ini mungkin juga kecewa bahkan stress (tidak depresi). Bertarunglah secara wajar dan sehat dari aspek politik. Secara politik orang akan saling menyakiti melalui silang pendapat, saling menjegal antara lawan politik dan lain sebagainya. (tidak menuduh, siapa?) Itu sebuah politik yang mungkin. Megalomania politik adalah sesuatu yang masih mungkin secara politis sebab dorongan prestasi seseorang bisa saja meningkat karena moment politik yang sedang dilakoninya. Setelah itu, bisa saja melemah karena suhu politik mulai menurun. Orang akan cendrung mengimpikan sesuatu yang baik termasuk bisa terpilih menjadi anggota legislatif di kabupaten/kota atau di pusat. Jika impian itu tidak terwujudkan maka kemungkinan yang terjadi adalah orang mulai melakukan trik-trik politik pada tahap berikutnya. Tahun 2009 dia gagal, tetapi lima tahun yang akan datang dia bisa terpilih. Semoga saja megalomania politik tidak terus-menerus menghantui para caleg kita.
No comments:
Post a Comment