Oleh Hengky Ola Sura
Kru KSK (Kelompok Seniman Kata)
Sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis cerita pendek pada tahun 50-an tentang dokter hewan. Dokter ini mengeluh karena rezekinya seret sesudah Indonesia merdeka. Di zaman kolonial, hidupnya berkecukupan. Tiap sore, ada saja tuan atau nyonya yang datang berkunjung sambil menggendong binatang piaraan yang kurang sehat. Ada yang menggendong kucing, atau kelinci, tapi mayoritas menggendong anjing. Sedikit saja binatang ini terbatuk-batuk pasti dibawa ke dokter. Maka sang dokter pun mendapatkan uang yang lumayan banyak dan dari uang tersebut dibelikannya liontin untuk sang istri tercinta. Bahkan bukan saja liontin yang dibelikan buat sang istri tetapi dokter itu pun membeli jepitan dasi dari emas yang bertahtakan zamrud. Sesudah proklamasi keadaan banyak berubah. Tak ada tuan atau nyonya yang datang menggendong binatang yang sakit. Ini bukan disebabkan karena binatang-binatang senatiasa sehat walafiat tapi karena tidak banyak lagi orang yang punya binatang piaraan. Mengapa? Selidik punya selidik, sebabnya sederhana saja; di zaman kemerdekaan orang merasa tidak perlu lagi memelihara binatang, selain biayanya mahal, juga karena pelihara manusia ternyata lebih murah. Perubahan inilah yang membuat pendapatan para dokter hewan menjadi merosot. Itu kisah tahun 50-an, seorang dokter hewan yang mengeluh soal pendapatan dan rejeki hidup. Anehnya dalam keluhan sang dokter tahun 50-an itu terbersit harapan yang dapat ditangkap yakni lebih baik tetap hidup dalam kubangan penjajahan. Mengaca dari kisah dokter hewan yang diangkat Pram dalam cerpennya sesungguhnya kisah-kisah seputar keluhan sang dokter hewan tersebut berlanjut sampai dengan saat ini bahkan sampai dengan kemerdekaan negeri ini memasuki usia 64 tahun.
Tulisan ini hanyalah sebuah ulasan reflektif dari diskursus seputar pembebasan, pemerdekaan dan pemberdayaan manusia-manusia Indonesia untuk boleh bangga sebagai orang Indonesia dan bukannya malu sebagai anak bangsa.
Anak bangsa yang bangga sebagai bagian dari demokrasinya Indonesia yang prototipenya dimaklumkan Plato filsuf Yunani dua ribu tahun silam itu ternyata masih terperangkap dalam kosep-konsep semu. Pemerintahan yang pada dasarnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat berubah rupa dan berganti menjadi plutokrasi, pemerintahan oleh orang kaya dan yang berkuasa. Dan pemerintahan oleh orang kaya dan yang berkuasa tidak hanya berkisar seputar kekuasaan politis dalam lembaga pemerintahan tetapi telah mewabah ke dalam lembaga-lembaga keagamaan, LSM, tengkulak yang hidup dan langsung bersentuhan dengan rakyat kecil serta para pedagang mulai dari pedagang besar sampai pedagang kecil yang seenaknya menguasai harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Timbulah komunitas-komunitas marjinal yang hidup dalam imajinasi-imajinasi mereka tentang ke-Indonesiaan yang dalam maklumat Sumpah Pemuda harus tetap dijaga. Berkenaan dengan negara sebagai pengatur kepatutan hidup yang layak dan kemakmuran Karl-Heinz Peschke menekankan tentang pentingnya dua fungsi negara, pertama, sebagai benteng pertahanan akhir harapan warganya, yakni mengemban fungsi penataan, fungsi ini berkaitan dengan penegakan dan perlindungan terhadap tatanan hukum (rule of law) yang menjadi kondisi mutlak bagi terlaksananya setiap kegiatan khas negara. Fungsi yang kedua, fungsi kesejahteraan. Negara berkewajiban dalam penciptaan kesejateraan semua warga negara di bidang ekonomi, kesehatan, ekologi dan budaya (Karl-Heinz Pesche, Ledalero, 2003). Fakta menunjukkan sebagian besar masalah yang terjadi dalam tatanan hidup dan kehidupan Ke-Indonesiaan kita adalah bahwa kedua fungsi seperti yang dikemukakan oleh Karl-Heinz Pesche tersebut amat sangat tidak diperhatikan. Nasib penduduk dari masyarakat Indonesia yang bercorak agraris sedang bergeser menjadi masyarakat industri. Dan sayangnya dalam masyarakat yang sedang bergeser itu bukan masyarakat yang menjadi pelaku perubahan tetapi kaum kapitalis dari negara-negara industri. Kekayaan alam, minyak misalnya, dikeruk untuk menopang negara-negara industri tanpa memperhitungkan kesejateraan masyarakat kita. Masyarakat kita hampir sebagian usahanya berjalan di tempat. Mereka tetap menjadi tukang ojek yang tabah dan iklas, yang menjadi petani tanpa memiliki lahan alias buruh tani. Atau menjadi pelayan tokoh di berbagai mall dan buruh di pabrik-pabrik.
Para pengelola negara yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak pun tampil menjadi ‘pasukan bermuka besi. Dengan muka besi ini, mereka melindungi kepentingannya sendiri dan tak menghiraukan rakyatnya (bdk BASIS edisi Mei-Juni 2009). Akibat dari semuanya adalah kita menjadi orang-orang merdeka yang kemerdekaan kita sebagai warga negara masih dipertanyakan. Kita menjadi orang asing yang asing di negeri kita sendiri. Kita menjadi sebegitu takut ketika berhadapan dengan pengelola negeri kita yang bermuka besi. Kita menjadi warga negara yang dibebani kewajiban mesti begini mesti begitu. Demokrasi kita yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pun cuma slogan. Kita akhirnya tidak bisa saling menyalahkan, kita cuma bisa saling mempersoalkan bahwa kita adalah orang-orang merdeka yang masih harus terus berjuang bersama untuk kemerdekaan kita. Ke-Indonesiaan kita menuntut kita untuk tidak hanya menjadi spektaktor/penonton tetapi harus menjadi aktor. Mengingat-ingat penderitaan dan kesewenangan dalam Ke-Indonesiaan kita memang menyakitkan. Mulai dari saman penjajahan sampai ke rezim Orde Lama, dari Orde Lama ke Orde Baru. Dari Orde Baru ke Era Reformasi dan dari Era Reformasi sampai dengan saat ini kita merayakan ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-64 masih banyak yang harus dibenahi dalam tatanan kehidupan kita. Kita memang layak mengeluh dengan ke-Indonesiaan kita yang ‘compang-camping’ tetapi sebagai orang-orang merdeka kita tak layak untuk terus larut dalam keluhan-keluhan kita. Kita semua yang kaya, yang miskin, yang punya jabatan dan yang tak punya jabatan adalah tetap anak-anak Indonesia yang harus berjuang mencapai kemakmuran dalam kebersamaan kita sebagai anak bangsa. ‘Qu’est-ce qu’une nation terjemahannya apakah bangsa itu? Demikian tulis filsuf Perancis Ernest Renan. Bangsa adalah hasil historis yang ditimbulkan oleh deretan kejadian yang menuju ke satu arah. Renant menyimpulkan bangsa merupakan keinginan untuk hidup bersama-sama. Bangsa merupakan hasil masa silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Mari sebagai orang-orang merdeka kita membangun solidaritas yang besar, karena dengan solidaritas yang besar terbentuklah dalam diri kita kesadaran untuk berkorban dan yang tetap bersedia memberikan pengorbanan lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment