Thursday, 17 June 2010

Ayah dan Perempuan Pilihan

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Seniman Kata Uniflor Ende

Cahaya matahari yang menyorot pagi di Hokeng bukan hanya melahirkan harap, tetapi juga rasa takjub. Pagi hari ketika angin musim bulan April menyusup tubuh, cahaya matahari begitu menggairahkan. Pagi yang baru itu menjadi suatu konsep yang baru bagi orang-orang Hokeng. Entahlah, konsep apa, tapi menurut penuturan Ayah, orang-orang Hokeng itu sudah maju no, begitu kata ayah membanggakan Hokeng. Aku sendiri heran kok bisa-bisanya ayah omong konsep. Tapi ayah memang selalu demikian, ia cukup banyak membaca buku-buku bacaan dan Pos Kupang menjadi santapannya setiap siang usai santap kemudian terlelap. Jadi saya pikir ayah memang lumayan oke perbendaharaan kata-katanya kalau ngomong. Biar kamu sekolah no, tapi sabar dulu kalau soal pemahaman, begitu ayah kadang membanggakan dirinya. Kami anak-anaknya yang berlibur menyongsong Hari Raya Paskah cuma tertawa lepas dan ikut memuji ayah dalam hati kami. Pagi yang cerah saat santai dengan gelas-gelas kopi Hokeng yang kental dan asap rokok Surya yang mengawang di teras belakang, ayah membuka percakapan. Bagaimana putra-putra kesayanganku ada yang sudah punya perempuan buat dibanggakan pada ayah? Kakak yang nomor tiga bilang, bos saya punya perawat, saat ini lagi kuliah di Yogya, adik bungsuku bilang beta pung anak Bajawa bos, kuliah Bimbingan Konseling di Kupang. Dan saya sendiri bilang saya juga sudah punya bos, orang Maumere, kuliah Managemen Informatika di Bali. Yakin bahwa itu tetap menjadi milik kamu atau hanya untuk menjalani saja ketika bosan dan cari baru lagi. Yang paling bungsu bilang untuk saat ini masih aman bos. Oh jadi kalau masih aman dijalani kalau tidak aman lagi diputusin, begitu? Ah bukan begitu bos. Hei no jangan main-main dengan anak orang. Kalau mau cari perempuan harus seperti ayah dan abangmu yang nomor satu dan dua itu. Lihatkan ibu kamu, kakak ipar kamu dari abang-abangmu. Cari perempuan itu harus begitu no. Jangan hanya tampilan fisiknya yang oke terus isi kepala dan hatinya kosong melompom, kamu mau konsep apa nanti untuk kemajuan dan kebahagiaan keluarga kamu. Wouw dari tadi kayaknya konsep melulu ya bos sergapku. Iya konsep itu penting no. Orang-orang Hokeng sekarang itu sudah pintar-pintar meskipun tidak sekolah tapi karena anak-anak mereka sekolah jadi mereka juga ikut pintar. Seperti ayah tidak sekolah tapi punya tekad yang kuat untuk menyekolahkan kamu. Kami tersenyum-senyum mendengar omongan ayah. Saya orang yang termasuk paling malas membantah omongan ayah. Mengapa? Karena kalau bertentangan maka kata kuncinya satu saja, konsep macam apa itu. Bodoh sekali. Kata bodoh sekali telah membuat saya malas berdebat dengan ayah, tapi diam-diam saya mengagumi ayah. Seorang tukang batu dan petani yang gemar membaca di setiap waktu luangnya. Sekarang ayah tidak lagi bekerja. Ia mengisi hari-hari hidup diusia tuanya dengan membaca. Hebatnya ayah, matanya masih sangat jeli membaca tanpa kaca mata. Orang-orang di sekitar rumah bilang, ayah kamu kalau dulu sekolah pasti kepala sekolah ya? Adik yang bungsu langsung sambar bukan kepala sekolah tetapi kepala dinas. Dan orang-orang di sekitar rumah mengangguk-angguk setuju. Huh dasar ayah. Sekarang kamu bertiga jelaskan pada ayah tentang perempuan pilihan kamu pada ayah. Mungkin ayah punya konsep untuk mematangkan hubungan kamu dengan perempuan-perempuan kamu. Wuih ayah ni macam psikolog saja le, mau saingan dengan maitua saya kok, lagi-lagi si bungsu menanggapi ayah. Oh bukan mau saingan no tapi soal pengalaman. Ayah punya pengalaman. Yang bungsu menimpali lagi, saya juga sudah makan garam bos untuk urusan perempuan. Hehe anak bungsu makan garam? No masih makan garam, baru makan garam juga gara-gara e. Kalau no makan garam, ayah lebih no, karena no baru makan garam tapi ayah sudah minum air laut. Ayo yang lebih hebat mana? Makan garam atau minum air laut. Wouw dahsyat, kakak yang nomor tiga bilang macam hebat-hebat saja e bos ni. Bukan hebat no, tapi berdasarkan kenyataan. Ayah tidak mau kamu hanya senang-senang dengan perempuan. Perempuan pilihan kamu itu harus menjadi idola kamu sepanjang hidup. Memang ada hambatan dalam membangun keluarga, tapi itu patut dilihat sebagai semacam tikungan tajam untuk kembali menemukan jalan lurus. Saya cuma bisa merenungi kata-kata ayah. Punya kekuatan magis dibalik ayah mengungkapkannya. Perlahan, pelan-pelan dan penuh kewibawaan. Sosok ayah sejati. Dan kami terbuai mendengar petuah ayah sambil dengan santai menikmati kopi kental dan rokok surya yang asapnya mengepul membumbung di langit-langit teras rumah. No perempuan itu gampang tapi cinta itu tidak gampang. Kamu boleh hari ini mendapatkan perempuan terus esok mau dapat lagi juga bisa tapi soal mencinta itu bukan main-main. Tidak gampang. perempuan itu sosok kehidupan yang terlahir dari firdaus, kamu haus belajar mencintainya dengan cinta sekuat maut. Sekuat maut no, ingat itu. Bagaimana dengan perempuan kamu yang di Bali itu? Saya kaget kok ayah bertanya pada saya duluan. Kamu itu paling santai. Tipe pengkhayal, suka puisi, buku-buku harian kamu di lemari sana itu penuh puisi. Jadi jangan hanya jago buat puisi tapi bagaimana punya konsep untuk paling kurang jadi sastrawan Hokeng juga sudah mendingan buat mendidik anak-anak Hokeng. Ah jadi ayah menghina saya? Tanya saya dengan serunya. Bukan menghina no, tapi test mentalmu. Orang sastra itu perasa. Pantas, nadamu langsung meninggi. Tidak terima omongan ayah? Tanya ayah padaku. Bukan begitu bos, tapi saya juga punya idealisme untuk hidup saya dan masa depan saya. Jadi ketika ayah bilang hanya jago tulis puisi jelas saya tidak terima bos. Puisi itu tidak datang dari khayalan kosong dan tak sekedar hambur-hambur kata bos. Datang dari permenungan yang mendalam. Jadi hati-hati kalau omong. Minta maaf putraku, balas ayah, tapi jujur ayah suka baca puisi-puisimu pada buku harian itu. Mendalam sekali. Coba tanyakan pada ibumu, karena ibu selalu berurai air mata ketika membaca puisi-puisimu. Entahlah ibu cukup mengerti atau tidak. Ibu yang lagi asyik bermain dengan cucunya dari abang nomor duaku langsung meladeni, huh dasar sok pintar. Ayah tertawa dan sorot matanya meminta penjelasan lebih lanjut dariku. No, begena? Saya merasa sapaan ayah yang barusan benar-benar menyentuh, dari tadi ayah selalu dengan omongannya yang bahasa Indonesia lengkap dan tiba-tiba ketika ia menyapa, no begena, saya merasakan aura kehangatan yang terpancar dari omongan dan tatapan mata ayah. Saya menatap ayah lalu abang saya yang nomor tiga dan bungsu. Mereka memperhatikan dengan diam. Memberikan waktu pada saya untuk menceritakan pada mereka tentang perempuan saya. Belum memulai cerita, ibu langsung sambar dari ruang tamu, kamu sama ayah kamu urus perempuan terus e no. Yang paling penting itu sekolah no. Sekolah dulu. Masih sekolah sudah pikir perempuan nanti setelah nikah mau makan apa? Makan perempuan? Cerocos ibu dengan suara lembut. Ibu memang tak selalu mengeluarkan suara yang keras apalagi sampai marah-marah. Dan itu membuat kekagumanku pada ibu bertambah. Setelah itu ibu diam. Ibu memang tak mau mengusik ayah dan kami bertiga lagi setelah memotong pembicaraan ayah tadi. Cerita sudah no, kata ayah. Saya punya perempuan bos, hitam manis, hidung mancung, hatinya manis sekali, cantik, pintar masak dan kemampuan Inggrisnya telak bos, begitu kata-kata saya pada ayah, abang nomor tiga dan si bungsu. Saya kemudian melanjutkan, bagi saya dia perempuan terakhir tempat saya melabuhkan semua harapan cinta saya. Kami telah sangat mengenal dengan sebegitu mendalamnya. Cinta kami ibarat dua kekuatan alam, matahari dan ombak. Punya kesetiaan menerangi pendarnya cinta dan kesetiaan mendebur. Jadi kami punya komitmen untuk saling setia. Seperti kesetiaan ombak datang mengecup bibir pantai dan cahaya matahari yang datang setiap pagi. Kami menyadari bahwa pasti ada kegelapan tapi serentak kami percaya bahwa kegelapan akan melahirkan matahari. Matahari yang datang setiap pagi untuk membuat gulungan ombak menjadi kemilau dan cahayanya yang menjuntai ke pantai mengajak ombak untuk selalu datang mengecup cahaya itu. Demikian bos, kata saya pada ayah dan kedua saudara saya. Wouw puitis sekali e no, kata si bungsu. Oh jelas bro. Ayah tersenyum dan bilang hebat juga gambaranmu tentang perempuan pilihan dan cintamu. Lanjutkan no, tapi ingat sekolah dulu ya. Bagaimana dengan kamu berdua? Tanya ayah pada kakak nomor tiga dan si bungsu. Yang nomor tiga bilang kami menjalani seperti air yang mengalir bos. Si bungsu menimpali kalau saya karena perempuan saya kuliahnya bimbingan konseling jadi kami menjalani dengan menggunakan prinsip healing comunication consely. Apa lagi itu no, tanya ayah. Begini arti singkatnya bos, kalau ada masalah atau problem kami menyelesaikannya dengan saling mengkomunikasikan segala permasalahan yang terjadi diantara kami. Hebat putra-putraku, ayah langsung menyambar penjelasan si bungsu. Ayah bangga pada kalian tetapi ingat muka ayah dan ibu harus tetap dijaga. Mengerti maksud ayah? Kami mengerti tapi diam. Dan ayah melanjutkan, kamu harus punya pekerjaan, baru boleh membawa perempuan-perempuan pilihan kamu ke hadapan ayah dan ibu. Satu lagi menikahlah dengan mulia. Jangan karena kecelakaan. Jadi ingat putra-putraku, tahan diri. Kami tertawa mendengar kata-kata ayah dan serempak bilang, itu konsepnya ya bos? Ini konsep dan harus dijalankan, tegas ayah mengakhiri perbincangan saat matahari pagi menyorot Hokeng yang melahirkan rasa takjub dan juga harap.

No: sapaan kesayangan untuk anak laki-laki
Begena: Bagaimana

(April 2010, didedikasikan kepada Anak-anak Hokeng yang jenuh menunggu pujaan hati)

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...