Thursday, 17 June 2010

Sang Penyair itu

(Mengenang Si Burung Merak)
Oleh Hengky Ola Sura


Aku orang asing di dunia ini
Aku orang asing.
Di pengasinganku ada segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan.
Namun itu membuatku berpikir tentang kampung halaman impian yang tak ku kenal
(Khalil Gibran tentang Penyair dalam The Storm)

The Hours film yang diangkat dari novelnya sastrawan dan feminis Inggris Virginia Woolf berjudul Mrs Dalloway salah satu adegannya berkisah tentang seekor burung yang mati dan di kuburkan oleh gadis cilik bernama Vanessa dan Virginia Woolf (diperankan oleh Nicole Kidman). Pada saat Vanesa menggali sebuah lubang kecil dan memasukan burung tersebut kemudian menutupinya dengan tanah lalu meletakkan kembang mawar kuning di atasnya, bertanyalah Vanesa kepada Virginia Woolf “kemana kita pergi sesudah kita mati? Virginia menjawab, kita kembali ke Sang Hidup. Gadis kecil itu pun bertanya kembali ,dimanakah Sang Hidup itu? Viginia pun menjawab, aku tidak tahu, gadis kecil itupun menimpalinya aku juga tidak tahu. Sesungguhnya percakapan antara Vanessa dan Virginia Woolf adalah juga pertanyaan-pertanyaan kita tentang kematian. Seperti kata Khalil Gibran dalam esainya tentang penyair di atas, penyair adalah orang asing di dunia ini. Di pengasinganku ada segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan. Namun itu membuatku berpikir tentang kampung halaman impian yang tak ku kenal. Kita pasti pulang pada Sang Hidup tapi dimanakah Sang Hidup. Rumah Sang Hidup adalah kampung halaman impian kita. Sang Hidup adalah Sang Seniman yang bersabda, yang berkata . Sang Hidup memberikan kita Rendra dan kita pantas mengenangnya. Si Burung Merak itu pulang (juga nanti kita) dipanggil pulang pada Sang Seniman Kata yang memberikannya kata dan dengan kata ia berbahasa. Bahasa bukanlah merupakan suatu dunianya sendiri. Bahkan ia bukanlah dunia. Namun dikarenakan kita berada di dunia, dikarenakan kita dipengaruhi oleh situasi, dan dikarenakan kita mengorientasikan diri kita secara komprehensif dalam situasi tersebut, maka kita memiliki sesuatu untuk dikatakan, kita memiliki pengalaman untuk dibawa ke dalam bahasa. (Paul Ricoeur, IRCiSOD, 2003). Puisi adalah bahasa. Ia berfungsi sebagai sarana manusia mengekspresikan diri dan mengungkapkan pemikiran maupun perasaannya kepada manusia lain. Puisi bukan bahasa biasa. Kita tidak hanya membaca, memahami apa yang tertulis melainkan melampauinya. Mencari makna dan rasa yang ada diseberangnnya. Rendra mewakili kita sebagai bagian dari jutaan orang-orang Indonesia membahasakan realitas dari puisi-puisinya. Rendra pernah ada di dunia, di bumi Indonesia, kita layak bersyukur Tuhan memeberikan kita Rendra. Rendra pergi dan mewarisi kita puisi. Rendra adalah puisi dan puisi adalah Rendra. Hidupnya adalah untuk puisi. Rendra adalah seorang penulis puisi dan pembaca puisi yang handal. Setelah tak lagi tampil dalam teater pemeentasan drama-dramanya Rendra selalu anggun dengan puisi-puisinya. Ia seorang penyair hati nurani yang mendobrak dan memerdekakan manusia dengan puisi-puisinya. Rendra memang harus tetap hidup dalam ingatan kita. Ia membuat kita menyadari akan arti penting dari hidup dan kehidupan akan kebebasan, keindahan dan kebenaran. Seorang yang lantang meneriakan ketimpangan lewat puisi-puisinya. Lewat guratan kata-kata dan retorikanya yang menarik ia tampil memprotes pihak status quo (baca resim Orde Baru) dan sekaligus mengartikulasikan getaran suara rakyat. Menurut A. Teeuw sajak-sajak Rendra merupakan jawaban pada lengkingan kesakitan, teriak minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan. ( A. Teeuw, 1993)
Rendra meengajukan protes dalam “Aku tulis pamflet ini”

Aku tulis pamflet ini
Karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk
Dan ungkapan diri ditekan
Menjadi peng-iyaan,
................................
................................
Apabila kritik hanya boleh saluran resmi
Maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Rendra mungkin selalu tak bisa tidur dengan kebijakan politik saat menulis puisi diatas. Ia menyadari akan arti penting dirinya sebagai penyair. Penyair juga seorang ksatria atau seorang prajurit kesenian menurut bahasanya Arswendo Atmowiloto. Prajurit kesenian yang melahirkan jurus-jurus bagaimana menguasai panggung, bagaimana menciptakan puisi yang mengagumkan juga menggelisahkan. Puisi juga dapat berperan sebagai pembebas. Ia memiliki kekuatan sosial yang menembus sekat kemapanan. Aku tulis pamflet ini merupakan ungkapan bening dari hati seorang penyair yang menyanyat dan membedah kebobrokan lahiriah. Rendra adalah penyair sejati, utusan langit yang mewartakan pentingnya hakikat hidup dan kebebasan. Ia pulang pada Sang Hidup untuk mempertanggungjawabkan tugas kepenyairannya. Tempat Sang Hidup adalah muara impian. Kampung halaman yang tak dikenal, tanah air abadi dan ke sanalah kita semua pulang. Tuhan memanggil kita pulang. Goenawan Mohammad dalam catatan pinggirnya menulis kembali puisi Rendra dan secara bernas mendeskripsikannya


Lalu terdengarlah suara

di balik semak itu

sedang bulan merah mabuk

dan angin dari selatan.

Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak terhingga. Suara Sang Hidup telah memanggilnya pulang. Ia meninggalkan kita puisi. Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya yaitu yang fantastis, yang ganjil, yang misterius ditiadakan. Ini yang terjadi ketika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa berguna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena keadaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri. Rendra telah mati dan kita pantas mengenangnya, membicarakannya serentak mendoakannya
Wahai kau burung merak terbanglah tinggi
Sayapmu tak akan patah lagi
Tak akan terkulai lagi
suara yang memanggilmu dari muara impian adalah sejati
keabadian
Sang Hidup
Oh…Sang hidup peluk mesra burung merak kami
Ia pernah asing di negeri kami
Mungkin karena kami iri dengan keindahannya.
Burung merak terbanglah tinggi
Sayapmu tak akan patah lagi
(Hengky Ola Sura , Rumah Ret-ret Hokeng, Agustus 2009)

1 comment:

  1. Aduh tata terkesima lew baca ni.
    Mantap tata teruslah berkarya, bangga jadi anak hokeng

    ReplyDelete

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...