
Oleh Hengky Ola Sura
Bergiat pada Komunitas Baca dan Sastra Lamalera
Seni yang tumbuh dan berkembang dalam ke-Indonesiaan yang pluralis patut diterima sebagai bagian revelasi dari dunia pengalaman. Ia mengacu kepada representasi visual yang mewujudkan diri dalam sruktur yang terbatas. Maksud dari struktur yang terbatas adalah bahwa seni dan budaya itu masih berkutat atau berkembang tapi masih dalam konteks lokal tertentu atau belum mendapat ruangnya dalam ke-Indonesiaan kita. Melalui struktur yang terbatas inilah bagaimana seni dan budaya itu perlu mendapat ruangnya dalam tataran ke-Indonesiaan sebagai sesuatu yang berharga bagi keberagaman budaya. Keberagaman budaya pertama dan terutama patut dilihat sebagai bagian integral yang memiliki dimensi sosial. Artinya kebudayaan mempengaruhi masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut. Selanjutnya masyarakat secara jeli menghidupi kebudayaan itu dalam tataran hidupnya. Tataran hidup masyarakat inilah yang dalam prakteknya mempengaruhi selera dan cita rasa. Selera dan cita rasa tidak berarti merujuk pada tenggelam dalam budaya kebarat-baratan atau serba instant tetapi bagaimana selera dan cita rasa itu difokuskan untuk peningkatan dan perhatian secara serius untuk melihat kebudayaan kita yang pluralis sebagai masukan teramat berharga untuk tetap mempertahankannya. Soal selera dan cita rasa adalah sesutau yang sangat subyektif, artinya setiap orang punya selera dan cita rasa yang berbeda-beda. Selera adalah hal yang tidak bisa diperdebatkan, tetapi ketika memasuki ranah kebudayaan, terlebih berkenaan dengan kebudayaan dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis maka kita perlu melihat secara keseluruhan bahwa selera dan cita rasa itu perlu diasah untuk melihat nilai estetika yang termaktub dalam kebudayaan itu. Yang perlu dibangun adalah pemahaman yang kritis bahwa dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis kebudayaan itu memiliki nilai-nilai luhur yang membuat kita menjadi lebih beradab. Mengapa demikian? Karena dengan demikian ke-Indonesiaan kita akan tetap eksis dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pemahaman kritis mengenai cara pandang kosmopolitan ke-Indonesiaan kita adalah bahwa bagaimanakah upaya mengelola kebhinekaan kita. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan penduduk yang polah pikirnya juga berbeda tentu mempengaruhi aspek yang mencolok yakni kebudayaan. Dengan demikian perlu adanya kemampuan untuk mengelola kebhinekaan itu. Mengelola kebhinekaan adalah hal yang urgen dan signifikan karena ke-Indonesiaan kita yang plural menuntut stabilitas. Kita ketahui bahwa dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis selalu rawan konflik. Konflik etnis dan kebudayaan adalah hal yang cukup mencolok terjadi di tanah air ini.
Dengan demikian perlu tinjauan kritis untuk mengelola kebudayaan. Kebudayaan perlu dikelola karena yang menghidupi kebudayaan adalah kita sendiri yang mengaku sebagai orang Indonesia. Ke-Indonesiaan kita yang pluralis tentu semakin mantap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegaranya karena manusia-manusia Indonesia telah dan sedang belajar untuk menghargai kebudayaannya sebagai sesuatu yang menjadi idensitas kebangsaannya. Dunia kita sekarang dicirikan sebagai keterhubungan berskala global (global interconnectedness). Dalam keadaan yang demikian itu, Indonesia sebenarnya sedang berusaha merumuskan identitas dirinya. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat dimana masih terdapat iklim neo-feodalisme kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Seni dan kebudayaan yang satu mengklaim dirinya paling tepat untuk dijalankan dan dilihat sebagai yang paling baik.
Ke-indonesiaan kita sebagai bagian dari jagat global memiliki kebudayaan lokal sendiri yang tidak semestinya lenyap pada dominasi budaya tertentu di dalam ke-Indonesiaan kita yang pada gilirannya juga lenyap pada dominasi budaya global. Hal ini sebenarnya terjadi karena pemaksaan atau lebih tepatnya dominasi kebudayaan tertentu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang menuntut penyeragaman budaya.
Patut diingat bahwa berkenaan dengan unsur-unsur budaya yang secara khusus menitikberatkan perhatian pada nilai-nilai yang merupakan gambaran dari apa yang diiginkan, yang pantas, dan yang berharga serta mempengaruhi tingkah laku seseorang belum tentu sesuai dengan selera dan cita rasa kelompok kebudayaan lainnya. Nilai-nilai itu tidak selalu seragam di dalam suatu kebudayaan. Dalam suatu lingkungan budaya tertentu, tidak semua nilai budaya dihayati secara sama oleh setiap orang. Selain tendensi global, situasi negara dan bangsa kita pun mengharuskan kita untuk berbicara tentang kebudayaan. Berbicara tentang kebudayaan berarti bersentuhan langsung dengan seni, sebab dalam kebudayaan terkandung unsur seni. Sudah sejak sebelum kemerdekaan, pada tahun tiga puluhan, terjadi polemik yang hangat dan penuh makna, yakni polemik kebudayaan, dengan tokoh utamanya St. Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Persoalan yang muncul waktu itu dan yang masih mempunyai gema sampai saat ini ialah ke mana kebudayaan nasional kita mesti berorientasi. Hal ini terjadi sebagai akibat ingin menyeragamkan soal selera dan cita rasa mengenai seni dan kebudayaan. Tak dapat disangkal bahwa ke-Indonesiaan kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki kekhasan seni dan kebudayaan yang beraneka ragam. Keberagaman menunjukkan secara amat jelas bahwa seni dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat kita sesungguhnya adalah sebuah nilai tambah bagi keberlangsungan ke-Indonesiaan kita. Mengapa demikian, karena di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika keberagaman itu sebenarnya adalah sebuah kekayaan yang sungguh-sungguh menjadi kebanggaan kita. Kita mungkin tidak pernah menyangka bahwa generasi 1928 telah dengan sangat kreatifnya membangun sikap nasionalisme dan kebangsaan yang plural bernama Indonesia. Kekayaan seni dan kebudayaan kita adalah praksis nyata ke-Indonesiaan kita yang plural. Dari rentang waktu setengah abad lebih sejak merdeka secara politis , pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ke-Indonesiaan melulu politis belaka ternyata memecah dan meretakkan ke-Indonesiaan itu. Tafsiran politis di mana kekuasaan atau otoritas kuasa baik atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia; pemerintah pusat; ke-ika-an ternyata memperlakukan keragaman (kebhinekaan): daerah, lokalitas dan populis atau rakyat sebagai antagonisme yang subordinatif (yang harus patuh, bergantung dan diperintah, diseragamkan oleh pusat (Sutrisno, 2004). Dalam sosok seni dan kebudayaan menurut Umar Kayam seperti yang dikutip oleh Sutrisno dalam Hermeneutika Pascakolonial mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia harus berproses menanggapi panggilan-panggilan sejarahnya secara dialektis dari sosok budaya feodalistik, aristokratik menuju ke sosok budaya Indonesia yang maju, beradab, demokratis, terbuka, saling menghormati keragamaan. Inilah jalan transformasi budaya. Inilah cara pandang kosmopolitan yang harus dibangun dan diberdayakan. Dengan demikian seni dan pluralime budaya dalam ke-Indonesiaaan kita akan membuat semua merasa berumah. Merasa menjadi orang Indonesia. Kebhinekaan kita bukanlah sumber disintegrasi melainkan sebuah keterberian yang sesungguhnya merupakan kristalisasi dari isi hati para pendiri bangsa ini, yang telah secara jujur dan berani mengakui bahwa bangsa ini memang berbeda dalam banyak hal. Demikianlah bangsa ini telah dikandung dalam dan lahir dari rahim sebuah kebhinekaan yang kental. Patut diakui bahwa mengelola dan mengatur sebuah bangsa yang sangat plural dengan seni dan kebudayaan seperti Indonesia menjadi sebuah negara yang integral memang tidak semudah membalikan telapak tangan, tetapi juga tidak sesulit seperti yang dibayangkan. Untuk itu cara pandang kosmopolitan yang perlu juga dibangun agar semua merasa berumah adalah perlu rendah hati guna belajar mengintegrasikan diri secara lebih sehat dan dewasa. Persatuan yang diidamkan di sini bukanlah persatuan semu hasil teror dan indoktrinasi sebuah rezim, tetapi persatuan yang sungguh dikehendaki secara bebas oleh semua unsur yang plural yang ada dalam ke-Indonesiaan kita. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran untuk melihat semua perbedaan yang ada secara objektif, secara dewasa dan arif. Penting diingat, realitas ke-Indonesiaan kita yang plural ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab semua warga negara. Pemerintah yang arif akan melihat seni dan pluralisme budaya dan mengelolanya secara arif pula. Tidak gegabah tetapi juga tidak ekstra hati-hati dalam mengambil sikap. Inilah cara pandang kosmopolitan yang semestinya menjiwai seluruh perjalanan kehidupan ke-Indonesiaan yang plural. Cara pandang kosmopolitan seni dan pluralisme budaya di Indonesia serta apresiasi ruang di mana semua merasa berumah adalah usaha merajut kisah bersama sebagai bangsa. Usaha tersebut adalah ikthiar abadi. Perubahan paradigma budaya senantiasa terjadi seiring dengan perjalanan waktu. Karena itu setiap generasi harus merajut kisahnya sendiri yang mempersatukan generasi itu dan menjadi titik acuan untuk identifikasi diri setiap anggota masyarakatnya. Seni dan kebudayaan kita yang plural seharusnya mengajarkan kita untuk tidak tenggelam dalam dua sikap ekstrem yang sering terjadi dan harus dihindari. Pertama, pemerintah dan kita semua sebagai warga negara tidak perlu berusaha melebur semua perbedaan yang ada menjadi seragam sehingga akhirnya tidak ada perbedaan lagi. Hal ini sangat riskan, baik pemerintah sendiri maupun warga negara. Kedua pemerintah dituntut untuk tidak bisa bersikap acuh tak acuh terhadap semua perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada sebenarnya juga melahirkan kekayaan karena kita banyak.
No comments:
Post a Comment