Thursday, 17 June 2010

Sawu yang menggetarkan

Oleh Hengky Ola Sura
Kontributor


Rabu,29 Oktober 2008, waktu pada handphone nokia saya menunjukan tepat pukul 04.30 sore. Rombongan mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor tiba di desa Sawu, kecamatan Mauponggo. Letak desa Sawu kurang lebih setengah kilometer dari jalan utama menuju ibu kota kecamatan Mauponggo. Letaknya persis di sebelah timur dengan medan tempuh yang cukup berat karena kondisi jalan yang lumayan tragis karena banyaknya lubang – lubang pada badan jalan. Perjalanan yang melelahkan dan wajah – wajah mahasiswa terlihat kusut masai. Berhenti di ujung kampung kami lalu diarahkan agar berbaris rapih menuju tenda utama yang letaknya persis di tengah kampung Sawu. Tepat di depan tenda utama kami disapa dengan sapaan adat oleh tetua adat dengan didampingi oleh kepala desa serta tua – tua adat kampung. Beberapa kali saya terpaksa keluar dari barisan untuk mengambil gambar dengan kamera digital sehingga tidak mendengar maksud sapaan adat tersebut. Menurut nona Yanti mahasiswa semester tujuh yang berasal dari Sawu mengatakan maksud dari sapaan adat adalah rombongan mahasiswa diterima masuk ke dalam keluarga besar desa Sawu. Setelah berada dalam tenda utama dilanjutkan dengan pembagian mahasiswa ke rumah – rumah penginapan. Jumlah mahasiswa yang mencapai 600-san orang ternyata melelahkan dan hampir dua jam lebih pembacaan nama para mahasiswa dan rumah dari orang tua yang bakal di tempatinya selama tiga hari berada di Sawu. Mahasiswa akan menempati dua dusun yang berada di desa Sawu, yakni dusun Sawu dan dan dusun Ledho. Wilfridus Ndona kepala desa Sawu saat pembagian para mahasiswa ke rumah penginapan mengatakan, kita semua telah menjadi keluarga besar oleh karena itu anggaplah orang tua dimana rumahnya kalian tempati sebagai rumahmu sendiri. Masyarakat desa Sawu telah dengan sangat rindu menantikan kedatangan kalian. Begitu kata –kata bapak kepala desa yang disambut tepuk tangan para mahasiswa.Usai mendapatkan rumah penginapan serta orang tua yang ramah – tamah, para mahasiswa diarahkan oleh seksi acara untuk kembali ke tenda utama untuk santap malam bersama. Santap malam yang menyenangkan penuh dengan nuansa persaudaraan dan kekeluargaan. Kakak – kakak semester tujuh yang menjadi panitia inti untuk seksi konsumsi yang sehari sebelumnya telah berada di desa Sawu dalam pelaksanaan kegiatan ini benar – benar melaksanakan tugas dan peranan mereka dengan sungguh – sungguh. Setelah santap malam dilanjutkan dengan jai bersama dan pengumuman oleh seksi acara untuk kegiatan yang akan dilaksanakan esok hari. Tepat pukul 10.30 semua kembali ke rumah penginapan.

Kamis pagi, pukul 4.30, semua kembali berkumpul, masing – masing koordinator rumah telah mengnumpulkan mahasiswa yang merupakan anak buahnya untuk olah raga bersama berupa jalan santai mengelilingi desa Sawu. Kembali dari jalan santai dilanjutkan dengan urusan pribadi dan sarapan di rumah penginapan masing – masing. Terik matahari pagi yang terasa mulai menyengat tidak mematahkan semangat para mahasiswa calon – calon guru untuk terlibat dalam bakti sosial bersama masyrakat. Diantaranya kumpul batu kali, pembersihan gua Maria, pembersihan sekolah dasar SDI Ledho, pembersihan lokasi pemukiman penduduk seputar dusun Sawu dan Ledho dan yang lainnya terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di SDI Ledho. Yosef Yuvandi selaku ketua panitia dari semester tujuh dan Ferdinandus Dy selaku ketua HMPS (Himpunan Program Studi) dari semester lima benar – benar menjadi inspirator bagi semua kawan – kawannya dan adik- adik semester satu dan tiga untuk tetap bersemangat dalam bakti sosial bersama masyarakat desa Sawu. Semuanya ceria semuanya bergembira sampai waktu menunjukan tepat pukul 12.30, semuanya kembali ke rumah penginapan untuk santap siang dan istirahat siang.
Senja di Sawu adalah senja tenteram. Udara yang berhembus dari kaki bukit gunung Ebulobo benar – benar menimbulkan kesan damai. Para mahasiswa bersama orang tua asuhnya telah berkumpul di tenda utama pada pukul 06.00. Semua mahasiswa yang beragama Katolik khusuk dalam doa rosario bersama sedangkan teman- teman Muslim pun dengan anggun sujud dalam doa bersama di rumah bapak Gabriel Lipu. Setelah doa semuanya kembali ke rumah penginapan untuk santap malam.

Tepat pukul 08.00 malam dari corong toa suara Kaka Lily selaku koordinator seksi acara terdengar menukik tajam meminta segenap mahasiswa untuk kembali berkumpul di tenda utama. Pukuk 08.15 semuanya telah berkumpul dalam tenda utama. Acara pada malam ini adalah pembinaan mental internal dari kakak – kakak semester tujuh kepada adik – adik semester. Beberapa mahasiswa dari semester satu, tiga dan lima yang terlibat dalam panitia inti bersama kakak – kakak semester tujuh diminta untuk melepaskan tanda kepanitiaannya dan mengenakan tanda pengenal berupa nama dan kelas sebagai identitas seperti mahasiswa – mahasiwa lainnya yang tidak terlibat dalam susunan kepanitiaan. Tanda pengenal yang bergelantungan depan perut itu memudahkan semua yang melihat untuk membaca dan dengan mudah mengenal siapa nama mahasiswa dan dari semester berapa. Ini merupakan cara termudah untuk saling mengenal dan mampu menjalin komunikasi dan keakraban diantara para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor yang sangat banyak jumlahnya dalam lingkup kampus Uniflor. Saat pembinaan internal berjalan semua wajah – wajah kakak semester terlihat garang. Maklum pembinaan mental. Adik – adik semester satu, tiga dan lima terlihat pucat pasi dikerjain habis – habisan oleh kakak – kakak semester. Ada yang tahan banting dan bersoal jawab meski hak bicara dicabut ada yang menangis, keringat dingin dan lutut gemetaran diperintahkan untuk membuat pidato, membacakan puisi, melakonkan pedangang yang berdagang sampai kepada hal – hal yang membuat semuanya tertawa. Kurang lebih sepuluh menit pembinaan mental berjalan saya keluar dari tenda utama dengan ditemani oleh Pa Santos Henakin menuju rumah Bapak Gabriel Lipu.
Saya kembali melihat waktu pada hanphone nokia saya pukul 21.53,suasana di tenda utama masih gaduh. Saya bersama Pa Santos diterima dengan ramah oleh bapak Gabriel Lipu dan mama Bernadeta Deo dan puteri sulung mereka nona Yanti yang adalah juga seorang mahasiswa FKIP/ PBSI Uniflor semester tujuh.Duduk di atas rumah panggung elok yang antik dibangun tahun 1964 kami disuguhi air teh dan kopi serta sepiring kue kembang goyang dan rokok Surya 12. Sambil menikamti kue kembang goyang, air teh,kopi dan kepulan asap surya yang membumbung ke atap rumah kami mulai perbincangan kami. Perbincangan kami malam itu seputar nama desa yang diberi nama Sawu. Menurut bapak Gabriel, asal muasal penduduk desa Sawu berasal dari Pulau Sabu. Adalah seorang putera raja yang bernama Jarawadhu di pulau Sabu pada sebuah kesempatan memberontak terhadap orang tua dan saudara - saudaranya seputar pembagian harta warisan yang menurutnya tidak adil. Bersama para pengikut setianya Jarawadhu lalu lari dan berlayar dan sempat tinggal di Ende tepatnya di jalan Sudirman, kemudian Aimere, Golewa dan Sawu. Setiap tempat persinggahannya Jarawadhu selalu memiliki selir dengan banyak anak dari masing – masing selir. Pada sebuah kesempatan penduduk Obo (sebelum bernama kampung / desa Sawu dahulu bernama kampung Obo) berperang melawan suku Paulundu. Perang suku antara Obo dan Paulundu ini adalah soal memperebutkan tanah. Jarawadhu lalu diminta bantuan berupa strategi dan teknik berperang oleh suku Obo dalam usaha memperebutkan tanah melawan suku Paulundu. Oleh bantuan Jarawadhu maka suku Obo memperoleh kemenangan dari suku Paulundu. Sebagai balas jasa dan hadiah atas kemenangan yang diraih maka suku Obo menghadiahkan kepada Jarawadhu dan para pengikutnya kampung Obo dan menggantikan nama kampung Obo dengan nama Sawu sebagai tanda kenang – kenangan bahwa orang – orang suku Obo telah menjadi satu keluarga dengan Jarawadhu yang ‘terlempar dan terasing’ dari keluarga besarnya di P. Sabu.Ketika saya bertanya pada bapak Gabriel, apakah suku Obo tidak merasa hilang kuasanya dengan memberikan nama pada kampung Sawu yang sebelumnya Obo menjadi Sawu, bapak Gabriel menjawab sama sekali tidak, kami merasa sebagai sebuah keluarga besar yang menyatu. Hal ini terungkap dalam kata – kata bahasa daerah setempat, “ndi’i ghili mera mogo yang artinya, marilah kita bersatu padu,atau dapat juga diartikan jagalah persatuan dan kesatuan. Ungkapan ini pula yang menjiwai seluruh aktivitas hidup masyarakat desa Sawu. Ungkapan ini pula yang membuat masyarakat desa Sawu menyambut kami dalam rumah mereka dengan rela dan ikhlas sebagai anak – anak dalam rumah.Selama tiga hari berada bersama masyarakat desa Sawu kami sungguh mengalami ungkapan yang terkenal dari mereka ndi’i ghili mera mogo. Kami benar –benar menyatu dengan mereka. Minggu sore tepat pukul 04.00 kami kembali ke Ende tetapi jiwa kami masih tetap bergetar bila mengenangkan Sawu. Sawu yang mengajarkan kami tentang hidup anggun sebagai sama saudara. Sawu yang mendorong kami untuk siap jadi agen – agen pahlawan tanpa tanda jasa dimana pun nanti kami berada dengan tetap menghidupi ungkapan mereka ndi’i ghili mera mogo.

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...