Thursday, 17 June 2010

Ketika Wajah Mengalienasi Kita

(Pentas teater Wajah hari kedua oleh Kru Seniman Kata)

Oleh Hengky Ola Sura
Kontributor

Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah suatu forum dimana orang bisa melontarkan isi hatinya dan bisa pula membantah pendapat orang. Untuk mengambil keputusan atau macam-macam cara. Ada yang menempuh cara mufakat bulat. Dan adapula yang lewat voting. Wajib menang adalah yang suaranya terbanyak. Dengan cara-cara persuasi ia berusaha membujuk orang untuk berdiri di pihaknya. Sifat terbuka merupakan syarat pokok dari semua yang sifatnya demokrasi. Jika sesuatu ditutup-tutupi, seribu kali dia meneyebut demokrasi, sesungguhnya ia sama sekali bukan.
Dan apakah teater itu? Teater juga suatu forum dimana orang bisa menyatakan suara hatinya. Pada saat yang bersamaan, dia pun bisa membantah apa yang dikatakan pihak lain. Semuanya pun berlangsung terbuka dan tidak ada yang disembunyikan. Itu sebabnya pada tahun 1950-an Asrul Sani pernah menyebut bahwa “teater merupakan alat demokrasi yang lain”.
Selasa, 19 Januari 2010, dari RRI Ende disiarkan pengumuman yang isinya mahasiswa PBSI Uniflor Semester V B dan Kru Seniman Kata akan mengadakan pentas teater dengan judul Wajah bertempat di showroom Penerbit Nusa Indah. Tidak hanya melalui RRI, surat undangan dan karcis pun beredar. Dan Selasa malam 19 Januari itu penonton pun membludak memadati showroom penerbit Nusa Indah. Ada yang terpaksa harus menjinjit ujung jari-jemari kakinya tinggi-tinggi agar bisa menonton pentas teater Wajah. Layar dibuka dan cahaya lampu panggung remang-remang. Lampu untuk penonton padam. Puisi dengan judul Wajah pun terbaca secara apik, ritmis, liris, menggairahkan dari belakang layar.

Perkenankanlah engkau kami lihat
Di panggung ini
Inilah wajah-wajah kita

Demikian bait terakhir puisi tersebut dan masuklah Srikandi tokoh utama pementasan Teater Wajah. Lampu sorot pun diarahkan padanya. Ia mengitari panggung, berhenti sejenak pada sebuah lemari kaca, ia bercermin dan berteriak, mengapa kamu diam seribu bahasa, berbicaralah. Sesudah Srikandi berturut-turut masuklah dua perempuan yang melakonkan wajah kaum pelacur yang memberontak. Sesudah perempuan pelacur masuklah wajah Kuda, wajah Harimau, wajah Babi, wajah Monyet dan wajah Politisi. Teater Wajah sesungguhnya adalah sebuah teater yang melakonkan kisah perjalanan hidup manusia yang tampil dengan wajah-waajah yang tidak sesungguhnya. Wajah bertopeng. Wajah yang bukan wajah. Srikandi sebagai tokoh utama teater merasa terpanggil untuk mendobrak kemampetan dominasi laki-laki yang tergambar dalam wajah kuda, harimau, monyet dan politisi. Wajah-wajah tersebut tampil dengan keangkuhan untuk membawa masuk kaum perempuan ke dalam lembah hitam dunia pelacuran. Wajah sesungguhnya juga adalah sebuah bentuk aspirasi dari diri kaum perempuan sendiri bahwa mereka perlu didengarkan. Perempuan adalah sosok kehidupan yang daripadanya lahir generasi-generasi. Melacurkan kaum perempuan adalah sama dengan membunuh kaum perempuan. Itu berarti meniadakan generasi-generasi baru yang akan lahir dari rahim perempuan itu. Teater Wajah secara eksplisit mengantar penonton pada pemahaman akan kecantikan makluk bernama perempuan yang dicoreng, dilemparkan kaum penguasa ke dalam lembah kenistaan setelah puas menikmati tubuh perempuan. Cantik itu luka, dan wajah pelacur perempuan korban nafsu kaum pria dan perempuan kuda beban dalam teater Wajah adalah gambaran perempuan yang mempertanyakan makna wajah, makna rupa dan versi kecantikan menurut pandangan banyak orang. Konon semua perempuan ingin disebut cantik, rupawan. Segenap daya upaya dikerahkan untuk menjadi. Dan wajah-wajah perempuan dalam teater wajah adalah wajah yang menjadi. Wajah yang sesungguhnya tercoreng. Melacurkan diri seolah melibatkan, meleburkan diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan yakni ketika wajah perempuan pelacur itu dibuang dan tempatnya dalam hukum postif tidak ada seperti kata Rendra dalam puisinya yang berjudul Perempuan yang tergusur. Wajah-wajah perempuan pelacur yang tergusur itu pun semakin mencekam penderitaannya setelah tampil wajah kuda, wajah harimau, wajah babi dan wajah politis yang cuma mau enaknya sendiri. Cuma mau menikmati tubuh dan kecantikan perempuan. Ketergusuran wajah-wajah perempuan pelacur akhirnya membawa mereka pada sebuah tanya, “ Mengapa wajahku jadi begini? Mengapa? Kecantikan telah membuat kita mesti bertanya pada ahli kecantikan, pada wajah kuda, pada wajah monyet, pada wajah harimau, wajah babi dan politisi, pada tokoh pemerhati kaum perempuan seperti Srikandi dalam teater ini. Dan mungkin perlu kalau kita bertanya pada selebriti tentang apa itu cantik? Seperti pertanyaan apa itu demokrasi dan apa itu teater? Lalu wajah-wajah kaum laki-laki dalam rupa wajah kuda, harimau, monyet, babi, politisi, pemerhati kaum perempuan dan sampai pada selebriti menjawab kecantikan itu apa yang tampak dari luar, sekaligus juga yang ada di dalam diri. Atau mereka menyebutnya sebagai inner beauty. Kecantikan atau kerupawanan menjadi suatu impresi yang kadang sengaja dihadirkan lewat bingkai kosmetik dan balutan pakaian yang menarik. Karena kecantikan merupakan impresi, kadang ia meninggalkan jejak dalam benak ingatan mereka yang memandangnya. Mengutip Sarah Ashari dalam wawancaranya dengan sebuah program nfotaiment di televisi, bahwa kecantikan juga mencakup inner beauty. Tampaknya rumusan ini digunakan juga oleh sejumlah pejabat kita yang dilakonkan dalam wajah kuda, babi, monyet, harimau dan politisi. Semuanya bertopeng. Wajah-wajah dalam teater wajah yang diperankan Kru Seniman Kata adalah gambaran wajah-wajah kita dalam hidup harian kita. Wajah-wajah itu akhirnya didobrak dengan hadirnya tokoh perempuan bernama Srikandi yang melecutkan semangat sesama perempuannya untuk angkat bicara. Bahwa perempuan bukan pada tempatnya dijadikan objek bagi kaum laki-laki. Wajah-wajah kaum lelaki dengan perannya sebagai wajah kuda, monyet, harimau, babi dan politisi seharusnya berkaca bahwa wajah mereka tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan atau postur. Jabatan seharusnya menjadikan mereka menjadi lebih bermartabat untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan yang tergusur yakni perempuan pelacur dan bukannya ongkang-ongkang kaki menikamti uang dari penghasilan yang ditarik dari para mucikari dan lokalisasi. Wajah akhirnya adalah sebuah tanya sekaligus teriakan penuh kewaspadaan bahwa teater adalah salah satu bentuk ‘demokrasi yang lain’ untuk bersuara. Seperti Srikandi yang tampil gagah dan meneyerukan agar semuanya kembali ke wajah yang sesungguhnya. Wajah jangan sampai mengalienasi kita. Teater Wajah adalah sebuah bentuk demokrasi yang lain yang sarat imajinasi dan simbol-simbol wajah. Tapi wajah yang dipertontonkan di panggung adalah refleksi dari keadaan masyarakat banyak. Kita seharusnya belajar melihat wajah kita sendiri. Tanpa rasa diburu-buru dan rasa tanpa takut. Teater wajah bukanlah luks buat masyarakat. Dia adalah makanan dan minuman sehari-hari yang kita lakonkan dan tidak kita sadari. Akhirnya pesan sesungguhnya dari teater ini adalah bahwa wajah kita jangan sampai mengalienasi kita. Ketika wajah sampai mengalienasi kita, kita bakal tampil lebih dari sekedar binatang.

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...