Thursday, 17 June 2010

Televisi, Dunia anak,dan Mental instant

(Numpang sisip di Hari Anak)

Oleh Hengky Ola Sura
Ketua Redaksi Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende


Karakteristik hidup manusia pada zaman ini adalah bahwa manusia hidup dalam abad teknologi komunikasi dan informasi. Televisi sebagai salah satu perangkat adiluhung teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia saat ini kiranya menjadi perhatian kita. Christian Metz, seorang pemikir Perancis mengatakan, di depan televisi seorang pemimpi hampir tidak pernah sadar bahwa ia sedang bermimpi. Televisi, kotak ajaib itu serentak telah menjadikan jutaan anak-anak di negeri ini tidak menjadi manusia-manusia pemikir, punya daya imaginasi yang kreatif dan inovatif karena di depan televisi anak-anak menjadi manusia yang konsep berpikirnya diarahkan oleh acara televisi tanpa perlu berpikir lebih jauh. Semuanya sudah terpolah. Televisi punya daya pikat tersendiri. Menyeret semuanya untuk menjadi pemimpi yang tidak pernah sadar bahwa mereka sedang bermimpi.Tema perayaan Hari Anak Nasional tahun ini adalah ‘Saya Anak Indonesia Kreatif, Inovatif dan Unggul untuk Menghadapi Tantangan di Masa Depan. Tema tersebut dipilih terkait dengan dicanangkannya tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Masih terkait dengan tema tersebut Paus Benekditus XVI pada hari komunikasi sedunia ke-41 pada 20 Mei 2007 menyampaikan pesan teramat berharga bahwa anak-anak dan media merupakan sebuah tantangan untuk pendidikan. Dunia keseharian anak-anak tidak lepas dengan tontonan acara-acara televisi. Bagaimana televisi memeperdaya anak-anak kita? Tulisan ini adalah ‘alarm’ yang boleh menjadi bahan perhatian kita bahwa televisi jangan sampai memperdaya kita dan terlebih anak-anak generasi penerus bangsa dan negara. Entah disadari atau tidak tetapi kenyataannya hampir sebagian besar waktu anak-anak terceruk di depan layar televisi. Selama ribuan jam didepan televisi, anak-anak dikondisikan untuk merspons ‘tayangan yang menyenangkan’ dan tidak habis-habisnya, karena sebagian besar stasiun TV program tayangnya 24 jam. Coba bayangkan seandainya kita menonton televisi sehari 5 jam maka sama dengan 35 jam seminggu, sama dengan 140 jam sebulan, sama dengan 1.680 jam setahun atau 70 hari hanya untuk menonton televisi. Benar bahwa melalui televisi informasi terus masuk ke pikiran kita, tapi kita tidak bereaksi terhadapnya. Namun, bagaimana dengan anak-anak kita? Yayasan Sains Etika dan Teknologi pada April-Mei 2009 dalam survey ‘rating’ publik pemirsa televisi yang dipublikasikan pada akhir Juni lalu menyatakan bahwa secara keseluruhan acara televisi nasional belum juga membaik. Survey menunjukkan, hanya 32 persen responden yang menilai baik kualitas acara televisi. Selebihnya, responden menilai, kualitas acara biasa saja atau buruk. Mayoritas responden (47,2 persen) menilai televisi tidak memberi contoh perilaku yang baik, (Kompas, 5 Juli 2009). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa televisi yang pada awal kemunculannya disambut sebagai sebuah kemajuan besar bagi dunia pendidikan dengan merangsang anak justru saat ini menjadi sebuah ‘ketakutan’ akan lemahnya kreatifitas, daya inovasi dari anak dalam melihat sebuah kenyataan dari sudut pandang anak-anak itu sendiri. Dunia anak-anak kita mengalami reduksi ruang. Direduksi dari lapangan, halaman bermain tempat sosialisasi bersama teman-teman sepermainan ke kotak kaca. Saya teringat ketika menjalani masa kanak-kanak di Hokeng Flores Timur, televisi hanya kami tonton pada hari Minggu di rumah guru kami. Kotak kaca itu telah menjadi semacam perdebatan dari beberapa kawan saya untuk memaksa orang tuanya agar membeli televisi. Ketika saya pun dirasuk perasaan tergoda untuk membujuk bapak saya agar membeli televisi, bapak saya cuma bilang, tunggu setelah kamu SMA dan tidak lagi berada di rumah baru televisi bapak beli. Ketika saya dan saudara-saudara saya tidak lagi berada di rumah untuk melanjutkan pendidikan ayah benar-benar membuktikan kata-katanya, yakni membeli televisi. Saya sendiri tidak pernah tahu tentang televisi yang dibeli ayah tersebut, ketika liburan dan saya iseng bertanya mengapa baru membeli televisi, ayah saya bilang, televisi itu sama sekali membuat kamu berpikir segala sesuatu itu serba gampang, tidak belajar dan kamu cuma bisa menjadi anak-anak yang menuntut, makanya saat kamu tidak lagi berada di rumah bapak membeli sebagai hiburan untuk bapak dan ibu di rumah. Saya berkeyakinan bahwa ayah saya sungguh tidak pernah berpikir jauh tentang dampak televisi dan mental instant yang bakal terjadi dengan dunia anak-anak kami putra-putranya, tetapi disana saya memetik sebuah pelajaran teramat berharga bahwa televisi dengan perkembangannya saat ini sungguh menjadi sebuah tantangan yang mengancam dunia pendidikan.
Tema Hari Anak Nasional di atas sungguh-sungguh menjadi sebuah tema yang diangkat dengan titik berangkatnya adalah anak-anak Indonesia kini tengah dibeliti budaya instant, segala sesuatu maunya serba cepat. Anak-anak tidak lagi bebas bermain di halaman rumah atau sekolah bersama kawan-kawan sepermainannya tetapi anak justru menciptakan kelompok sosial baru dengan kawan-kawan tertentu bergelut di depan televisi untuk menonton acara kesayangan mereka berjam-jam ataupun juga berada di tempat play station untuk sibuk dengan jari-jemari mereka memencet remote dan stick. Dengan menciptakan kelompok sosil baru yang hanya berkutat seputar televisi sesungguhnya sebuah bahaya sedang mengancam dan tinggal menunggu bom waktu dimana anak-anak ketika menjadi dewasa akan kehilangan orientasinya. Ketika berhadapan dengan kepelikan hidup yang semestinya diperjuangakan dan bukannya diterima mentah-mentah dan ditelan seeenaknya, anak akan menjadi gugup dan gagu dengan kenyataan hidup. Mengapa? Karena dunia anak-anaknya dilewati hanya seputar kotak ajaib yakni televisi. Televisi sungguh telah memperdayainya dan vitalitasnya menjadi mandek. Pesan Paus Benediktus XVI sesungguhnya adalah sebuah ikthiar untuk menyelamatkan kehidupan anak-anak itu sendiri. Media televisi sungguh sebuah tantangan yang harus menjadi perhatian orang tua dan semua kita yang peduli dengan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara Indonesia. Anak-anak memang punya dunianya sendiri, mereka adalah putera-puteri kehidupan yang mendambakan kehidupan mereka sendiri demikian tulis Khalil Gibran, tetapi kita harus ingat bahwa anak-anak sebagai putera-puteri kehidupan itu masa depannya harus dirancang sejak dini. Dan salah satu rancangan kita yang peduli dengan anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus adalah selektif dan tanggung jawab dengan tontonan anak-anak kita, karena kita tak mau anak-anak kita terjerumus dalam mental instant dan budaya hedonis di masa mendatang.

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...