Monday, 28 June 2010

Merayakan Kemanusiaan


(Refleksi Piala Dunia 2010)
Oleh Hengky Ola Sura


Welcome to South Afrika, Re ya le Amohela. Enjoy FIFA World Cup 2010. Demikian tulisan yang terbaca pada banner raksasa di dinding lorong Bandara Internasional OR Tambo Johannesburg. Tumpah ruah pengunjung pun dapat kita saksikan melalui layar televisi pada saat seremonial pembukaan piala dunia. Afrika Selatan tidak hanya menjadi house tetapi lebih dari itu home bagi tim dari tiga puluh dua negara yang berlaga mengolah si kulit bundar. Belum lagi acara nonton bareng di seluruh kota dan daerah di dunia. Sepak bola telah dan sangat mencuri perhatian kita untuk tidak bisa melewatkan moment empat tahunan ini digelar. Tulisan tersebut di atas telah menyihir seluruh pasang mata pencinta dan penggila bola dunia bahwa betapa ramahnya sepak bola menjadi semacam perayaan kemanusiaan yang mempersatukan hampir seluruh ras, agama,bahasa, etnis dan golongan di dunia untuk bersama menyaksikan tontonan olahan si kulit bundar. Sepak bola hemat penulis telah mengubah mind set kita bahwa perhelatan akbar itu tidak sekedar tiga puluh dua negara yang turut serta bertanding tetapi telah menggugah kita pencinta bola bahwa sepak bola adalah sebuah perayaan kemanusiaan yang menyadarkan kita bahwa perhelatan akbar itu mempersatukan kita semua untuk membangun pemahaman kritis dari segala carut-marut persoalan kemanusiaan yang kadang disepelekan dan diabaikan. Salah satu contohnya adalah persoalan rasisme yang mencuat. Kapten kesebelasan Kamerun, Samuel Eto’o yang selama karir sepak bolanya di Barcelona (Spanyol) dan Inter Milan (Italia) termasuk salah seorang pesepak bola yang cukup menderita tekanan bathin karena teriakan suporter yang menghina kulit hitamnya. Eto’o pun berharap piala dunia kali ini membawa kesadaran baru kepada semua insan pencinta bola untuk tak memandang sebelah mata warga kulit hitam. Piala dunia dapat menghapuskan rasisme yang juga melanda bola kaki. Presiden FIFA, Sepp Blatter menyerukan penghentian rasisme dan diskriminasi sepak bola. Sepak bola adalah cermin dari masyarakat kita beserta semua sifat buruknya. Kekerasan, penipuan, doping, taruhan, diskriminasi dan rasisme. Seluruhnya ada di permainan ini. Kita harus menguranginya, tuturnya.
Jabulani, bola resmi yang digunakan selama perhelatan akbar ini telah menggelinding. Jabulani adalah bahasa Zulu, Afrika yang berarti merayakan. Dan sebuah awal yang spektakuler telah kita saksikan bersama pada seremonial pembuka pada layar televisi. Kita yang juga kadang memandang rendah Afrika hanya dari warna kulit, kemiskinan, kebodohan dan kelaparan pun disadarkan bahwa tidak semua anggapan kita benar. Piala dunia yang digagas oleh Nelson Mandela untuk dilaksanakan di Afrika Selatan yang adalah salah satu korban yang menderita karena politik apartheid ini adalah sebuah moment etis yang tepat untuk memaafkan semua lawan yang telah menindas kemanusiaannya dengan politik rasisme. Sementara itu Louis Menotti, mantan pelatih Legendaris Argentina mengungkapkan harapannya, semoga bola mengungkapkan kemanusiaan yang sedang tertindas dan tersembunyi. (bdk Sindhunata,Merebut Kembali Cinta, Kompas, 11Juni 2010,hal 1). Sepak bola memang punya daya magisnya sendiri. Mulai dari selebrasi pemain, ulah para suporter, teriakan pelatih dan komentar dari pinggir lapangan yang membuat kita terkagum-kagum. Maradona misalnya mengumpamakan Lionel Messi sebagai bocah dengan coklat di tangan. Messi memang bocah jenius yang selalu menghipnotis kita dengan menjaga coklat (baca, bola) dengan kelihaian dan skill cantik. Jabulani terus menggelinding sampai puncaknya 11 Juli mendatang. Dan kita semua bakal merayakan kegembiraan perhelatan akbar ini.
Akhirnya Jabulani tidak hanya menjadi perayaan para pemain-pemain yang membela negarannya, tetapi lebih dari itu adalah sebuah perayaan kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena ternyata bola itu mempersatukan kita semua untuk belajar dan membangun kebiasaan untuk tahu menghormati sesama kita. Dari sepak bola kita tidak hanya asyik menikmati tontonan berkelas yang fair dan bermutu tetapi juga dapat mengajarkan betapa kemanusiaan yang pernah ditindas itu akhirnya mendapat tempatnya dan dihargai secara lebih beradab.

No comments:

Post a Comment

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...