Thursday, 17 June 2010

Geliat Sastra NTT


Apresiasi untuk buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji)
Oleh Hengky Ola Sura
Mencari siapa yang membuatku ‘jadi’
Itu terlampau sulit
Tetapi menemukan itu paling abadi
Lalu kutulis
‘A’
Pada wajah kehidupan

(Untuk guru yang mengajarku menulis abjad kehidupan)

Itulah puisi pertama yang terpampang pada halaman awal dari buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji, karya Wilda Wisang, seorang staf pengajar pada Universitas Flores. Inilah salah satu karya terbaik yang lahir dari seorang penyair NTT yang benar-benar mencurahkan seluruh kecintaannya pada puisi. Ketika membaca puisi pertama dari buku kumpulan puisi tersebut, sontak saya teringat masa-masa awal ketika duduk di bangku sekolah dasar. Puisi yang dipersembahkan pada guru itu mengajarkan pada kita semua tentang saat-saat pertama kita duduk di bangku sekolah dasar. Kita tak ubahnya batu yang keras yang datang ke sekolah dengan segala kekosongan, kita tak mirip sebuah batu keras. Tak punya apa-apa. Dan bagaimana ketika kita dibimbing dituntun secara perlahan-lahan oleh guru kita sampai mampu mengenal tiap abjad yang mulai dengan A-Z. Kita yang tadinya tak ubah sebuah batu pun ‘menjadi’ seorang anak manusia yang mengerti dan mengetahui lebih banyak tentang berbagai arti kehidupan setelah kita tahu membaca dan mendalami berbagai bentuk realitas. Karmelindo-Malang, penerbit yang menerbitkan buku kumpulan puisi ini menulis dalam pengantarnya demikian “sangatlah menarik ketika kita menelusuri kumpulan puisi ini dengan awalan “A”. Kita tahu, ciri khas sebuah puisi adalah irit kata dengan padat makna. Maka guratan tulisan kata dari Wilda yang merangkai huruf “A” sungguh-sungguh menambah kuatnya arti sebuah kata. Dari sana kita tidak sebatas mengagumi kata-kata yang tercipta, namun juga semua kata itu telah menggelitik hati kita, (Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 7). Para penulis puisi selalu memberitahu kita bahwa rumput itu hijau, guntur itu keras dan bibir itu merah. Inilah kekuatan-kekuatan bahasa puitis yang paling luar biasa, memberi kita kualitas dari pengalaman-pengalaman, demikian tulis C.S. Lewis (lih, God and Culture, ed, D.A. Carson dan Jhon D. Woodbrige, Penerbit Momentum hal 267). Kita patut berbangga dan menyambut baik buku kumpulan puisi yang ditulis oleh penulis muda ini. Tugas penulis adalah menatap, melihat dunia ciptaan ini, dan memancing kita semua ke dalam tindakan perenungan yang serupa. Tugas penulis (baca, sastrawan, penyair adalah memakai kekuatan tulisan untuk membuat kita mendengar, membuat kita merasakan dan diatas segalanya membuat kita melihat. Seorang penulis tak boleh malu untuk menatap. Penulis adalah pengamat realita yang peka karena hal ini merupakan salah satu bentuk kemahiran mereka dalam membahasakan realitas ke dalam sebuah karya sastra. Sastra secara berlimpah memberitahukan kebenaran. Oleh karena itu tidak salah juga kalau sastrawan/penyair disebut sebagai utusan langit (Tuhan) yang mewartakan kebenaran dalam kata. Ini nampak dalam puisi Wajah:

Seribu napas
Mengeja aksara suci
Memburu setia
Di balik
Lipatan wajah
: lalu
Angin dan langit bersentuhan
Menemukan wajah sedang
Menidurkan jaga
Di tapal batas
-“yang kau cari?”
Pulang
Dan membungkuklah
Ada wajah
Sedang tersenyum
: lalu
Kau sebut dia Tuhan
(dalam Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 11)

Penulis memancing kita untuk melihat kebenaran lebih dalam akan sesuatu yang melampaui kita dan yang kita sebut sebagai Tuhan. Frase angin dan langit bersentuhan, menidurkan jaga di tapal batas terasa begitu mendalam akan mesranya hubungan antara manusia peziarah yang mencari Tuhan. Kita adalah peziarah-peziarah itu. Kita mencari-Nya dan dalam nada penuh harap kita berdoa. Wilda menggoresnya secara amat lugu namun bernas dalam kata-kata “seribu napas mengeja aksara suci, memburu setia, dibalik, lipatan wajah, lalu angin dan langit bersentuhan…. Pada buku kumpulan puisi ini kita akan menemukan bahwa sastra (puisi) selalu mengandung jarak seni dan imaginasi. Poin pentingnya adalah bahwa dunia sastra (puisi) merupakan sebuah bangunan imaginasi. Dunia imaginasi ini melekat pada puisi-puisi WIlda yang beberapa diantaranya besifat begitu fantastik. Nampak dalam puisi Hilang

Kita saling terjaga
Ketika ada pertemuan
Sepi di sini
(dari Serumpun Madah di Pintu Janji, hal12)

Menurut saya puisi ini begitu fantastik karena menonjolkan satu dari sekian banyak segi kehidupan manusia yang heroik, namun penulis puisi ini melukiskannya secara sederhana. Hal ini serupa dengan aforisme dari seniman Pablo Picasso bahwa seni merupakan kebohongan yang membuat kita menyadari kebenaran. Puisi adalah sebuah karya seni dari seni sastra. Dari puisi Hilang kita dapat menangkap gelagat kebohongan dari ungkapan perasaan yang sebenarnya terluka. Kebenaran itu disembunyikan dalam goresan yang bermakna. Dengan kepekaan artistik penyair, penulis puisi ini bisa melukiskan realitas obyektif dengan bahasa yang lentur, namun sarat dengan makna. Penulis puisi ini merefleksikan kembali realitas obyektif dan mengungkapkan kembali sebagai suatu pengalaman baru. Kalau filsafat dan ilmu bicara sola pengalaman dengan bahasa yang kering dan kaku, maka sastra menyajikan pengalaman dalam bahasa yang lugas dan kias serta komunikatif. Ilmu mempengaruhi kita karena isinya, sedangkan seni mempengaruhi kita karena bentuknya. Ilmu memberi kita fakta dan jalinan antar fakta sedangkan seni mempengaruhi jiwa dan kepastian (bdk Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Geor Lukascs, Gramedia Pustaka Utama, hal 62). Sastra (puisi) dalam perannya mempengaruhi jiwa dan kepastian juga melesakkan nilai-nilai transsendental, maka Wilda sang penulis yang tak lain adalah seorang biarawati dalam kumpulan puisinya, Serumpun Madah di Pintu Janji mengajak kita untuk tidak semata-mata terikat pada yang kongkrit dan yang empiris yang dapat ditangkap oleh indera kita, maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan membebaskan diri dari peralatan indrawi. Puisi-puisi yang ada dalam buku ini mengajak kita untuk merenung/kontemplasi dan introspeksi diri lebih dalam akan semua peristiwa hidup yang kita alami dan jalani. Puisi Sebab Kau-lah mungkin paling telak menggambarkan akan situasi ini,

Perjalanan kita jauhnya cuma sejarak
Ketika bibir berdebu ini
Menabuh serumpun madah
Pencarian kita setarak menepi
Ketika mataku alpa sekedip
Semakin jarak pula kata dan ruang
Walau riduku pecah di langit harap
Segera ku rekat bait-bait bijak
: sebab kau-lah
Yang melintas di sayap ziarahku

Penulis kemudian mengajak pembaca untuk secara esensial mampu menggendor hati dan pikiran ke arah permenungan (kontemplasi) tentang kehidupan kematian. Puisi Kembali Pada-Mu

Lentera menerangi gulita
Sesayup di tepis angin
Menembus baris-baris kota
Rapat tersusun
Tak ada ruang mengatur gerak
Berdesakan amuk serakah

Tuhan
Terlampau lama kami menanti
Di batas waktu kami bertanya
Bakal menembus langitmu
Madahku seuntai berlirik pasrah

Tuhan
Hanya pada-Mu kami kembali
Untuk mulai
(dari Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 68)

Akhirnya patut kita berikan apresiasi untuk buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji karya penyair muda NTT ini. Inilah bukti bahwa NTT telah, sedang dan akan melahirkan penyair-penyair mudanya untuk terus menulis. Tugas penulis adalah menatap, melihat dunia ini dan memancing pembacanya ke dalam tindakan perenungan yang serupa. Seorang penulis tak boleh malu untuk menatap.

3 comments:

  1. Mudah-mudahan penyair-penyair NTT akan terus bermunculan di tingkat nasional. Untuk mendapatkan antologi Wildang Wisang, bagaimana caranya? Apakah bisa dipesan langsung? Terima Kasih.

    salam
    Cosmas Kopong Beda

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas komentarnya. Kita semua berharap semoga anak-anak NTT terus berkreasi. Untuk mendapatkan Antologinya bisa melalui saya.

    ReplyDelete
  3. Mantap Bro teruslah berkarya.

    ReplyDelete

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...