Oleh Hengky Ola Sura
Pembaca Sastra, Ketua Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor
Dari jendela ini aku memandang dunia
Dari jendela ini aku mengenal hidup
Dari jendela ini aku mendapat berkah
Dari jendela ini aku bicara untuk seluruh bumi
....
(Jendela Kecil di Pegunungan, Eka Budianta)
Sajak Eka Budianta, seorang penyair Indonesia yang peduli dan sebagian hidupnya dihabiskan dengan membicarakan isu tentang lingkunga hidup itu sebenarnya salah satu upaya mengajak masyarkat untuk ikut serta merawat bumi. Bicara untuk bumi berarti bicara untuk diri sendiri. Merawat bumi adalah seperti merawat tubuh kita, rumah kita agar kita dapat hidup sehat dan nyaman. Tulisan ini hanyalah sebuah seruan reflektif imperatif tentang bagaimana merawat bumi dengan mencintainya sebagai tempat pijak yang bakal dihuni oleh anak-anak generasi berikutnya. Saya berkeyakinan bahwa jika merawat bumi itu sudah mulai dari diri sendiri, keluarga, rumah dan lingkungan sekitar maka bumi akan benar-benar menjadi tempat pijak yang juga bakal sangat dihargai oleh generasi-generasi mendatang. Mengapa merawat bumi? Pertanyaan yang sederhana namun punya nilai tentang hidup dan kehidupan yang terberi. Alam beserta isinya adalah ciptaan yang diciptakan dan dipandang baik oleh Tuhan, Sang Pencipta. Dan harapan bagi kita yang menghuni bumi adalah menjadikannya sebuah firdaus, agar bila datangnya generasi-generasi baru, kita akan bernyanyi menyambut mereka dengan gagah ‘welcome to our paradise’, selamat datang di taman firdaus kita. Bumi memang harus dirawat sebelum bumi itu murka dan kita pun terhempas dalam aneka penderitaan. Ada bencana alam tanah longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, badai dan bencana alam lainnya adalah bukti bahwa bumi pernah murka kepada kita yang berpijak padanya. Bencana-bencana alam yang terjadi tidak hanya memakan korban jiwa dan meluluhlantakan rumah-rumah tinggal kita dan gedung-gedung publik lainnya, melainkan bencana-bencana yang terjadi dapat menghilangkan identitas kultural kita. Identitas kultural kita adalah juga jiwa kita. Suku Indian Inca di Amerika Selatan punya kesadaran kolektif pemahaman tentang lingkungan. Kesadaran kolektif yang mereka kembangkan mampu menjaga peradaban lingkungan bumi tempat mereka pijak selama berabad-abad. Mereka bisa bercengkrama dengan alam, bak seorang gadis yang bergandengan tangan dengan kekasihnya. Inca punya kosa kata yang mengikat mereka untuk concern pada lingkungan. Kesadaran kolektif itu menyata dalam ungkapan pachamama. Pachamama artinya bumi kita atau ibu pertiwi.. Pachamama bagi suku ini menjadi sabda pandita ratu, kalimat sakti terhadap lingkungan. Artinya pula mereka sempat punya kearifan lokal terhadap lingkungan sekitarnya. Beribu tahun silam. Tapi itu dulu. Ketika bangsa yang punya budaya peniggalan tinggi itu terlibat konflik dengan suku atau bangsa lain, komunitas Inca menjadi hilang. Sekarang, tentu saja kisah Inca hanya jadi sejarah dan penelitian arkeologi yang tak habis-habisnya.
Membaca dan menyimak kisah tentang suku Inca diatas penulis berkeyakinan bahwa semua daerah di Indonesia juga punya bahasa lokal seperti Inca dengan pachamama-nya. Bahasa lokal tersebut punya semacam tuah (menurut kepercayaan setempat) ternyata mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku masyarakat. Kesederhanaan adat yang dihidupi jadi obat mujarab untuk mengingatkan masyarakat, bagaimana seharusnya memperlakukan lingkungan sebagai bagian dari kehidupan. Dalam komunitas lokal tertentu, pantangan-pantangan lingkungan ternyata menjadi ruang publik untuk saling mengingatkan. Djoko Murnantyo seorang pemerhati lingkungan mengatakan bahwa komunitas-komunitas lokal memilki semacam sugesti akan tuah alam, akrab dengan muatan-muatan kulturnya. Contoh praktis dari sugesti akan tuah alam dan akrab dengan muatan-muatan kultur adalah bahwa jika daun A dimakan akan sakit perut, pohon B jika ditebang jiwanya akan marah. Betulkah? Penelitian ilmiah, jelas tidak ada, namun komunitas lokal itu punya sugesti. Pantangan yang dihidupi merupakan sebuah ‘alarm’ yang mau menggambarkan bakal ada sesuatu yang hilang jika alam diusik. Dan hasilnya cukup efektif, alam dan lingkungan terkelola dengan baik. Menjadi tidak baik ketika kita dengan tanpa kompromi membawa masuk ‘manusia-manusia modern’ dengan dalih menguak tabir dibalik perut bumi kita atau pohon di hutan lindung kita untuk peningkatan kesejahteraan dan sebagainya. Kita melangkahi dan mengelabui pantangan adat dengan penjelasan yang mengedepankan rasionalitas. Rasonalitas tetap saja rasionalitas tetapi kekuatan sugestif kadang mengalahkan rasionalitas bahwa alam pun marah ketika pantangan untuk menjaganya pun kita rusak. Hasilnya kita sendiri yang terdepak. Maraknya industri di negara kita yang ditunggangi para kapitalisme, membuat kita mau tak mau harus berjuang kembali untuk membendung arus yang berimplikasi buruk bagi bumi tempat pijak kita. Sajak Eka Budianta dengan judul ‘Jendela Kecil di Pegunungan’ di atas gemanya mungkin tidak menghentak tetapi paling kurang menjadi pembelajaran bagi kita untuk tahu dan menghargai bumi kita. Kita tampil sebagai perawat yang merawat bumi. Kita semua yang mendiami bumi pertiwi ini pernah merasakan juga penderitaan sesama kita yang hanya karena keangkuhan kapitalistik telah memperkosa bumi pertiwi Indonesia. Eka Budianta, penyair sekaligus pemerhati lingkungan itu membahaskannya dalam sajak
Bulan dan traktor bersatu di ladang
Malam-malam begini, komputer & cengkerik
Sama-sama menyanyikan rindu padamu
Lalu kamu, sedang apa sahabatku?
Di Tiom, bersama komputer & traktor
Kubayangkan engkau sedang mengolah Indonesia
Sementara di eskalator ini aku berdiri
Menatap masa depan dan masa lalu
Yang tiba-tiba berkumpul jadi hari ini
....
(Nyanyian Untuk Tiom, Eka Budianta)
Semoga saja wanti-wanti Eka lewat sajaknya membangkitkan kepedulian kita untuk merawat bumi. Bumi kadang marah dan kitalah yang terdepak dalam penderitaan karena kita terlajur bebal dengan bumi kita. Mari kita merawat bumi, ibu pertiwi kita.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment