Sunday, 24 April 2016

Yang Mesianistik dari Kumpulan Cerpen Sabtu Kelabu

Yang Mesianistik dari Kumpulan Cerpen  Sabtu Kelabu- Satu lagi karya sastra (kumpulan cerpen) karya terbaik anak NTT yang berjudul Sabtu Kelabu. Sabtu Kelabu adalah karya sulung dari seorang remaja SMAN I Maumere kelas XII jurusan Bahasa, bernama Erlyn Lasar. Dalam rangka hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, kami para guru Bahasa dan Sastra Indonesia bersama para siswa terlibat dalam kegiatan membedah buku kumpulan cerpen ini. Membaca Sabtu Kelabu, kami dihadapakan pada rasa kagum akan kebersahajaan seorang gadis yang cemerlang memotret realitas dan membahasakannya dengan bahasa yang sungguh-sungguh memukau. Erlyn, sang penulis buku kumpulan cerpen ini ibaratnya cerpenis hati nurani yang membongkar kegamangan dan kegalauan manusia dari segala karut-marut hidup untuk sejenak tercenung dan merenung dari semua lakonan hidup. 

Buku terbitan Penerbit Mosalaki Librica tahun 2011 ini patut diberi apresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat NTT, khususnya semua pegiat sastra dan yang meminati sastra.  Erlyn tampil luar biasa dalam karya adiluhungnya ini. Rm. Richardus Muga, dosen STFK Ledalero dan Sekretaris Keuskupan Maumere dalam testimoninya terhadap buku ini melukiskan, “Saya mengagumi karya ini, justru karena ditulis oleh seorang pelajar. Ia memiliki ketajaman dan kemampuan membahasakannya dalam narasi yang bening. 


     
Kepiwaian seperti ini tidak banyak dimiliki kelompok segenerasinya. Penulis menyentuh realitas sosial yang luas, menyelisik relung-relung kehidupan manusia. Ia bukan saja menyuarakan pedihnya nasib seorang pemulung, tapi juga kemapanan hidup mewah yang berakhir naas. Ia tidak saja menyoroti hingar-bingar kehidupan kota tapi juga eloknya keharmonisan pedesaan. Ia tidak saja meretas isu seputar persaudaraan antar manusia, tapi juga keharusan manusia bersahabat dengan alam. Semua dimensi keberadaan manusia itu dikemas dalam diksi yang rapih dan apik terpilin”. Senada dengan testimoni tersebut di atas, saya kira kita sepakat bahwa Erlyn sang penulis buku kumpulan cerpen ini mengamini kata-kata dari Filosof Walter Benyamin, hanya seni (sastra) yang mampu melihat totalitas sejarah dan menunjukkan hal yang lain, yang melampauinya. 

Sabtu Kelabu, cerpen yang menjadi judul untuk buku ini adalah kisahan atas kekhasan yang meninggalkan pertanyaan atas kepergian seseorang yang menggerus sukma. Tokoh aku dalam Sabtu Kelabu kehilangan sang adik, akibat gempa bumi. Erlyn mengambil sudut pandang orang pertama dengan membahasakan rasa kehilangan dalam nada sedih duka yang miris degan sedikit protes, “hari-hariku merayap dalam sepi, mengaburkan senyum surya, membuat kelabu langit biru itu. Sepoi-sepoi angin yang menghembus kurasakan bagai pengingat perih sembari mampu mengiris hati. Tak hentinya kukeluhkan pada Dia, yang tahu segalanya, (hal 57)”. 

Filu Merah Putih, salah satu cerpen dalam buku ini, menurut Pater Paul Budi Kleden, SVD, Erlyn menampilkan kejutan. Dalam cerpen ini Erlyn berhenti bercerita ketika pembaca berharap alur ceritanya mengalir lurus sampai pada pengumuman pemenang lomba memasak. Cerpen Filu Merah Putih melukiskan ketika seluruh emosi yang terbangun membuat orang berharap bahwa ibu si tokoh utama akhirnya mendapat hadiah sebagai pemenang. Erlyn tak melanjutkan ceritanya. Terasa ada yang belum selesai. Tetapi dengan ini penulis menunjukkan satu kedewasaan emosi yang tidak mau menjadikan para tokoh pemuas gejolak emosi atau perpanjangan gagasan penulis semata, (hal 18).


Menelisik lebih dalam 17 cerpen, dari cerpen Aku sampai cerpen Akhirnya dalam buku ini, kita para pembaca dihadapkan pada pemahaman bahwa karya sastra tak pernah lahir begitu saja. Melainkan melukiskan, menggambarkan dan memantulkan torehan-torehan sejarah atau kisah yang melintas dan menggumpal dalam imaginasi artistik penciptanya. Sastra selalu berurusan dengan semua potensi dan daya hidup yang melekat dan yang tumbuh dari sebuah konteks masyarakat. Karena itu sastra tidak selalu historis-politis tetapi juga mesianistik. Mesianistik inilah yang tampak dalam kumpulan cerpen Sabtu Kelabu.   

Kumpulan cerpen Sabtu Kelabu menyoroti tidak hanya realitas aktual tetapi lebih dari itu ia menunjukkan sebuah harapan yang lebih dari realitas lain, ‘dunia’ baru dengan suasana serba lain. Hal ini menyata dalam cerpen Senja. Tuhan, tatap aku (hal 197), adalah nukilan kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai doa pengharapan. Sebuah pengungkapan madah dari kedalaman jiwa bahwa kata-kata itu menjadi mesias/penyelamat karena kata-kata itu sendiri adalah doa. Atau juga cerpen Ya, penulis menggores kisah yang amat sentimentil tentang Tuhan yang selalu berbela rasa dengan manusia dalam deret kata-kata yang tersirat, ‘terkadang Tuhan menyembunyikan ‘matahari’ku dan menampakan kedahsyatan ‘petir’ dan ‘kilat’-Nya. Tetapi, ternyata semuanya merupakan awal dari jelangnya sang’pelangi’, indah mewarnai hari tanpa ‘matahari’ (hal 213).

Dengan demikian membaca seluruh cerpen dalam buku kumpulan cerpen Sabtu Kelabu semua dihadapkan pada pertemuan sebagai manusia dengan sesama dalam suasana khas kita. Maka sastra pada dasarnya melonggarkan eksistensi kemanusiaan kita dan orang-orang sekitar kita. Sastra membuka ruang di sekitar eksistensi manusia untuk saling berdialog dan saling memahami. Dari dialog dan pemahaman kita akhirnya sadar bahwa semua realitas yang melingkupi kita tidak hanya historis-politis tetapi juga punya pesan mesianistik. (Hengky Ola Sura)

Thursday, 7 April 2016

LBH JAKARTA yang Menginspirasi (Kisah Magang Staf PBH NUSRA)

LBH JAKARTA yang Menginspirasi  (Kisah Magang Staf PBH NUSRA). Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) sungguh-sungguh telah memberikan inspirasi bagi segenap kru Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara. Melihat dari dekat dan belajar langsung di kantor LBH Jakarta sungguh merupakan moment yang tak terlupakan. Adalah dua staf PBH NUSRA, Maria Marlina dan Hengky Ola Sura yang dikirim untuk magang pendokumentasian dan semua praktek baik yang dibuat oleh LBH Jakarta.

Pengalaman tiga hari (25-27 April 2015) berada di LBH Jakarta memang singkat tetapi merasakan langsung atmosfer kantor itu sungguh-sungguh memberikan inspirasi yang tiada terkira. Hari pertama keliling-keliling kantor di lantai dua itu. Berkenalan dengan sejumlah staf, berkunjung dari ruangan yang satu ke ruangan yang lain. Desain ruangan yang dibuat sekat-sekat itu memang memberikan kesan tersendiri bagi kedua staf PBH NUSRA. Belajar membuat pengarsipan, pendokumentasian kasus, latihan input data dan ikut merasakan langsung proses penanganan laporan kasus adalah pelajaran yang sangat berharga.

Balik dari Jakarta, gebrakan cepat yang langsung terasa adalah bagaimana menata kantor PBH NUSRA. Belajar dari LBH Jakarta yang benar-benar memanfaatkan ruangan-ruangan dengan sekat maka penataan ruangan menjadi yang pertama. Kantor PBH NUSRA yang sebelumnya tanpa Posko Pengaduan dan ruang tamu yang langsung menyatu dengan ruang kerja para staf PBH NUSRA mulai dipisahkan dengan sekat-sekat. Kini wajah ruangan kantor PBH NUSRA pun berubah. Kecil memang tetapi kami kini lebih fokus dengan kerja-kerja divisi sebagai satu-kesatuan PBH NUSRA. Gebrakan yang kedua adalah menata semua dokumen-dokumen penanganan kasus baik litigasi dan non litigasi. Dengan modal belajar dari LBH Jakarta, kru PBH NUSRA mampu membuat format penanganan kasus dan kini sudah dibagikan kepada staf divisi litigasi dan non litigasi dan juga diketahui semua staf PBH NUSRA. Dari LBH Jakarta juga kini hampir sebagian besar kru PBH NUSRA kian ulet dengan terus membaca, belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi untuk menangani kasus-kasus baru. Kerja belum selesai untuk terus berbenah terutama dalam pendokumentasian kasus-kasus PBH NUSRA sejak berdirinya dari tahun 1997.

PBH NUSRA pun terus berbenah dalam melihat persoalan kasus dengan membuat kajian, riset, policy brief dan laporan investigasi yang dapat dipelajari lebih lanjut sebagai bagian dari membangun kesepakatan. Sampai dengan saat ini kru PBH NUSRA masih dalam taraf menyortir semua dokumen kasus tersebut. Dari LBH Jakarta juga PBH NUSRA belajar membangun knolwedge management untuk menjadi organisasi rakyat yang terus eksis. Terima kasih LBH Jakarta, perjalananmu membuat kami terinspirasi untuk terus maju.

Monday, 4 April 2016

Mendalami Wajah Allah dalam Ekaristinya Mario F Lawi



Mendalami Wajah Allah dalam Ekaristinya Mario F Lawi

Oleh Hengky Ola Sura
Pembaca & Peminat Sastra
                                                                          Pagi yang cacat
                                                                          Mengulurkan anamnesis
                                                                          Kami berdiri di jalanan
                                                                          Menyaksikan diriMu dikorbankan
                                                                          Di bawah salib
                                                                          TubuhMu yang jasad
                                                                          Kami koyak kelak
                                                                          Dengan rasa lapar paling purba
                                                                                    (Mario F. Lawi, Ekaristi,hal 77)

Prolog    
              Pada dasarnya karya sastra dihasilkan bukan untuk golongan tertentu namun bagi semua orang dari semua tingkatan. Sastra ditulis untuk dibaca oleh siapa saja dan dari mana saja latar belakang pendidikannya. T.S. Eliot, seorang penyair-kritikus sastra Inggris abad XX menyatakan bahwa keagungan sastra hanya dapat ditangkap secara utuh apabila mengandung unsur-unsur meta (diluar) sastra (Hardjana, 1985:83). Seorang pembaca dan kritikus sastra haruslah memiliki negative capability, yakni kemampuan mengingkari diri, pandangan-pandangan keagamaan yang dianutnya boleh jadi disingkirkan untuk sementara agar dapat dengan pengertian yang wajar (objective symapthy) menemukan kembali apa yang sebenarnya diungkapkan dan dimaksudkan pengarang.
          Ekaristi merupakan antologi puisi Mario F. Lawi yang ditulis selama periode 2007-  2013.  Antologi terbitan PlotPoint Publishing tahun 2014 ini memuat 89 puisi yang pernah terbit di Kompas dan Koran Tempo. Antologi ini pun masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2014. Antologi ini juga lebih merupakan pencerminan diri secara khas seorang Mario yang pernah lekat dengan tradisi hidup seminari dengan bacaan-bacaan rohani semisal Kitab Suci yang menjadi cikal bakal warna khas keseluruhan puisi-puisinya. Ekaristi bisa jadi adalah bentuk nyata dari kontemplasi yang membawa Mario, sang penyair untuk menempah imaginasinya menjadi lebih luhur dalam teks puisi. Membaca keseluruhan puisi-puisi dalam buku ini kita seperti dihadapkan pada dunia kontekstual seorang Mario menemukan kaidah-kaidah untuk diri sendiri dan bagi orang lain dalam pergumulan mendalami Kitab Suci. Dari titik bidik inilah Mario bisa jadi menemukan sosok Allah, sang Causaprima itu dalam pengosongan diri, dalam kesunyian, suasana tragik, dalam sikap hidup asketis dan juga perjumpaan-perjumpaan hidup. Wajah Allah jelas tergurat dalam kisah-kisah perjumpaan, perjalanan serentak petualangan spiritual.
       Mencari wajah Allah dalam Ekaristi mengandaikan usaha dan perjuangan manusia dewasa ini untuk menemukan Allah dalam keheningan, penderitaan dan aneka persoalan hidup yang dihadapi. Pertanyaannya adalah mungkinkah kita menemukan wajah Allah dalam realitas terbalik? Ekaristi merupakan sebuah cermin bagaimana kita berkaca dalam perjuangan, tantangan dan serentak ikthiar pencarian.
          Antologi ini memuat 89 puisi. Membaca puisi-puisi Mario dalam antologi ini banyak terdapat metafora yang menuntut pembaca untuk punya kedalaman pemahaman dari maksud sang penyair untuk menguak tabir bahasa biblis ke dalam bahasa puisi. Ekaristi, dalam gereja Katolik adalah sakramen utama dari antara enam sakramen lain. Wafat dan kebangkitan Kristus, dalam ekaristi dirayakan dengan meriah. Ekaristi dengan demikian adalah sumber dan puncak seluruh hidup orang Kristen. Dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Presbyterium Ordinis, dituliskan bahwa sakramen-sakramen lain, seperti sakramen baptis, krisma sampai sakramen imamat, berhubungan erat dengan ekaristi dan terarah kepadanya. Sebagai sakramen, ekaristi adalah tanda dan sarana persatuan dengan Allah dan persatuan antar sesama umat manusia. Ekaristi juga memuat khasanah biblis yang ada dalam kearifan-kearifan lokal. Mario dalam puisi-puisinya mengangkat realitas kearifan lokal sebagai bentuk dari pesan keselamatan bahwa menghayati iman harus dengan mata terbuka. Puisi-puisi Mario dalam buku ini sebenarnya adalah juga bagian intergral dari semacam ziarah rohaninya. Datang jauh dari masa kecilnya, atau bahkan lebih jauh lagi, dari kisah-kisah dalam Kitab Suci yang dianut ibunya dan ritual-ritual tradisi yang dipercaya kakeknya. Pertemuan dua sungai masa lalu itulah yang Mario dongengkan kembali kepada dalam deret kata apik. Ia selalu penuh perhitungan dan taktis, unik dan indah. Memasuki kisah-kisahnya akan membawa kita bertemu dengan hal-hal yang minta dipeluk sekaligus ditolak. Kisah tentang Musa dalam puisi adalah epos dari perjalanan-perjalanan pembebasan menjadi padu dalam puisi, ‘tempias angin gurun yang gersang/ adalah hujan bagi tongkatmu/setelah diberikanNya nubuat/tentang kesedihan dan air mata.’(Musa, dalam Ekaristi hal 73). Betapa wajah Allah itu diendus dari kontradiksi angin gersang yang menjadi hujan berkat tongkat Musa. Liris, ritmis dan kedalaman maknanya adalah kecemerlangan horison Mario membahasakannya.

2 Mendalami Wajah Allah dalam Ekaristi
aMenemukan Allah dalam Ritus Keagamaan
                Ekaristi merupakan salah satu mahakarya Mario, menampilkan pandangan-pandangan khas mengenai Yang Ilahi. Pandangan tentang Yang Ilahi itu tersirat jelas dalam gambaran mengenai salah satu ritus keagamaan (baca, Ekaristi) yang menghantar pembaca untuk masuk dalam pergumulan-pergumulan selanjutnya yang lebih merupakan ekspresi religiositas yang erat kaitannya dengan keagamaan.
Hal ini nampak jelas pada puisi Ekaristi;
Pagi yang cacat
Mengulurkan anamnesis
Kami berdiri di jalanan
Menyaksikan diriMu yang dikorbankan
Di bawah salib,
tubuhMu yang jasad,
kami koyak kelak
dengan rasa lapar yang paling purba

            Mario memulai puisinya dengan suasana dari sebuah pagi yang sayu. Ekaristi bisa saja menjadi bagian dari kontemplasi Mario untuk membayangkan/mengenangkan (anamnesis) ekaristi yang sayu dari sebuah pagi. Sayu bisa saja menjadi deskripsi kewajiban formal dari manusia sebagai peziarah yang berdoa. Ekarsiti yang dirayakan setiap pagi oleh imam adalah ritus wajib. Toh Mario dalam puisi ini seolah mengajak pembaca untuk lebih dalam memaknai bahwa sebagai sebuah ritus, ekaristi memang abadi sebagai tanda dan sarana tetapi lebih dari itu sebagai sebuah ritus ekaristi menjadi jalan pemurnian yang menjadikan orang-orang Kristen Katolik untuk senantiasa merindukan ekaristi sebagai darah daging yang mengoyak kebatilan menuju hidup beriman pada Allah yang adalah kasih. Karena kasihNya itu ia hadir dalam ekaristi. Simak deret kata ;
kami koyak kelak/ dengan rasa lapar paling purba
               Daya pukau Mario dalam deret kata di atas mengetengahkan kepada pembaca bahwa sebagai sebuah tanda keselamatan ekaristi memang menjadi ‘sesuatu’ yang layak untuk dihidupi. Terlepas dari sisi kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, dalam peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya ekaristi  tetap merupakan conditio sine qua non bagi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Puisi ini sebenarnya juga adalah sebuah sinis dari perilaku hidup beragama. Orang beragama banyak yang religius, namun kenyataannya tidak selalu begitu. Dengan demikian ekaristi adalah ritus keagamaan yang mengantar umat manusia pada pertemuan dengan Allah. Merayakan ekaristi harus menjadi kerinduan yang terus-menerus, ia tidak hanya sekedar sebuah ritus yang dihadiri untuk menyatakan kekudusan tetapi pesan keselamatan di dalam ekaristi itu harus diwartakan dengan kasih, (Alkitab, bdk 1 Yohanes 4:8-16).

b Menemukan Allah dalam Ritus Adat-Istiadat
               Ekaristi sangat dipengaruhi oleh kearifan-kearifan dan mistisisme NTT, khususnya pada daerah Sabu. Bisa jadi faktor ibu sang penyair yang berasal dari Pulau Sabu, NTT mewarnai juga dunia ide Mario untuk coba menelaah lebih ke dalam bahasa puisi. Allah yang hadir dalam keheningan hanya dapat ditemukan jika seseorang mempunyai batin yang tenang dan kerelaan untuk mengosongkan diri serta mempunyai kepekaan untuk mendengarkan apa yang dikatakan kedalaman hati nuraninya. Tentang menemukan Allah dalam keheningan, puisi Gela (Ekaristi hal.40) bisa jadi rujukan betapa kearifan lokal semacam olesan hasil memamah sirih pinang dan daging kelapa  pada dahi menjadi inisiasi yang mengantar sang penerima olesan memperoleh rahmat istimewah.
Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru yang harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari mulutnya.
 “tanda ini, Cucuku, adalah awal keabadian.” Salibku merah seperti mimisan ibu. Harum seperti kencing pertama bayi waktuku. Kusembunyikan isak dalam lemari, karena sejenak gagak akan diganti burung kenari, sebelum tubuhku menjelma sansak bagi peluru-peluru dinihari.
           Kata tetua pada deret kata di atas adalah ungkapan iman. Iman yang dihayati dalam hidup dan memenuhi seluruh hidup, dirayakan dalam ritus khusus serupa ritual keagamaan. Olesan segar kunyahan sirih piang dan daging kelapa muda yang dimakan sang kakek pada dahi sang cucu adalah penghayatan kehangatan hubungan baik dengan Tuhan dan sesama. Tanda dari olesan merah sirih pinang yang dimamah dengan kapur adalah juga makna perayaaan iman untuk menimba kekuatan alam. Pada bait ketiga dari puisi Gela, Mario menulis dengan bahasa leluhurnya (baca bahasa daerah Sabu);
Wo Deo Muri, ne ta herae ta hero’de de ri nyiu wou mangngi,
Mita rui kedi ihi kuri, mita haga dara, mita ju mederaa, kelodo pa taga rihi dula (terjemahannya; Ya Allah sumber kehidupan, anak ini dioles-usapi dengan kunyahan kelapa yang harum agar kuat dan segar tubuh serta mentalnya, supaya bertambah besar dan tinggi, supaya mendapat status yang tinggi/terhormat dalam keluarga dan marga, (Gela dalam Ekaristi hal 41). Puisi ini adalah bentuk dari menampilkan kepercayaan tradisi yang sejuk. Wajah Tuhan ditemukan dalam  tanda salib pada kening sang cucu oleh sang kakek.

cMenemukan Allah dalan Kisah Perjumpaan
                 Berbahagialah kalian yang telah mendengar suara ibu mengikrarkan Fiat sambil   menaksir maksud angin yang menderap-derapkan sepatu mereka dari Selatan (Usapi Sonbai dalam Ekaristi, hal 22).
                        Puisi ini sesungguhnya adalah persembahan Mario kepada Amanche Franck. Seorang imam diosesan Keuskupan Agung Kupang. Sosok Amanche bisa jadi luahan lebih lanjut Mario dalam puisinya pada perjumpaan mengalami fiat Santa Perawan Maria. Ungkapan fiat Maria sebagai seorang hamba Tuhan menjadi tanda kesetiaan Romo Amanche memilih hidup selibat. Mario bisa jadi menemukan wajah Allah pada imamnya, Romo Amanche yang menanggapi tawaran Allah tanpa syarat dengan batin yang bebas penuh syukur. Imam adalah identitas dari hamba Allah. Pernyataan penyerahan diri untuk menjadi pewarta adalah bentuk mewujudkan misi Allah di dunia. Puisi ini menjadi komitmen misioner sekaligus harapan pada sang imam agar menjadi imam Allah yang sungguh-sungguh menampakan wajah Allah di dunia. Puisi ini menjadi bagian integral kisah perjumpaan dengan Allah. Romo Amanche menjadi tokoh, seorang usapi sonbay, orang terurap yang daripada keseluruhan hidupnya adalah kisah-kisah manusia mengalami dan menemukan wajah Allah.

3Allah Menurut Mario F. Lawi
aAllah;  Eksistensi yang Perlu Dipertanyakan
    Mario, dalam Ekaristi, melukiskan situasi keterpecahan manusia oleh penindasan, penderitaan akibat penjajahan. Situasi seperti ini diwakili oleh apa yang dialami masyarakat Perjanjian Lama dan Baru dalam kisahan Kitab Suci. Simak deret kata pada puisi Pentakosta (Ekaristi, hal 6)
         Meredam batu karangmu yang terus menjulang mencari lubang kunci di atas sana. Engkau tidak menyediakan wadah bagi kami
      Puisi ini adalah bentuk protes dan pertanyaan dimanakah Allah ketika penderitaan semisal kisah Habel yang terbunuh, kisah Sodom dan Gomora  yang tragis itu. Dalam momen seperti ini, keberadaan Tuhan sebagai sumber segala kebaikan dan keadilan dipertanyakan. Pertanyaan ini adalah serupa juga pengungkapan akan sejumlah rasa putus asa dan ketakberdayaan tentang adanya eksistensi Tuhan yang tak kelihatan namun Roh-Nya yang hadir itu menghidupi.   

bAllah Pengharapan Bagi yang Menderita
        Puisi dengan judul Adventus (Ekaristi, hal 29) bisa jadi pengharapan paling hakiki dari semua yang menderita. Mario secara eksplisit menampilkan rasa percaya dari ketakberdayaan dengan menampilkan judul Adventus. Adventus yang dalam bahasa Latin artinya kedatangan adalah semacam harapan baru untuk bersyukur dan mengalami kasih dan kebaikan Tuhan lewat siarah pergumulan hidup. Berikut petikan dari penggalan diksi puisi Adventus;
     Seperti menyongsong kehidupan, pada selongsong penghabisan
Ia temukan wajah Tuhan, di kota yang nyaris kosong akibat pertempuran
Ia hidupkan lagi wajah istri dan anak-anaknya, dengan rasa syukur tak terkira. Pada nasibnya yang kian celaka.

Kalimat pada baris terakhir seolah kontradiksi toh ia tetap sebuah pengharapan dari hidup orang beriman, khususnya Kristen untuk memaknai penderitaan dengan tegar. Kata-kata selongsong penghabisan dan ia temukan wajah Tuhan adalah deskripsi penuh harap dari orang-orang Kristen ketika masa adven tiba pada penanggalan liturgi. Masa adven identik sebagai masa pengharapan untuk membenahi dan mereflesikan seluruh perjalanan hidup.

c Allah Sang Pembebas Sejati
      Mario dalam Ekaristi  secara tersurat juga mempersoalkan kebebasan dari rasa takut dan pandangan sinis sesama. Ia tidak sekedar kebebasan fisik tetapi juga kebebasan batin. Sebagaimana dialami oleh Maria Magdalena yang dilabeli pelacur, toh Allah hadir melalui Isa, anak-Nya sebagai pembebas. Mario memang piawai merajut dalamnya kata untuk membahasakan Allah yang hadir sebagai pembebas sejati itu;
   Kuharapkan kau masih mengingat ketika pertama batu-batu bersijatuh di hadapanmu, si janggut putih yang bersikeras mengarahkan rajam tajam ke arah lambungku. Kubuatkan sukatan dengan tanah liat dan sepotong kayu, tak lebih kelit dari jarak hati dan payudaramu
.......................................................................
.......................................................................
Misalkan surga itu doa para imam agung, maka lebih pantas kau menghadapku.
Sesungguhnya kisah Maria Magdalena adalah kisah bagaimana Mario dengan mata tajam penyair membahasakannya secara amat lembut nan dramatis kisah ketika perempuan ini kedapatan berzinah. Kristus yang membebaskannya adalah simbol nyata bagaiaman penyair sendiri mengimani kehadiran Allah sebagai pembebas sejati.

Relevansi Teologi Praktis dari Ekaristi
  Memaknai Penderitaan Hidup
     Ekaristi, mahakarya Mario ini adalah semacam ikthiar pencarian menuju pembebasan. Mario menghadirkan kisah-kisah heroik seputar Musa, Maria Magdalena, Zakheus lebih sebagai cara baru ikut mendalami isi Kitab Suci. Cara Mario menghadirkan kisah-kisah tersebut adalah bentuk kedalaman kontemplasi memandang Allah yang ikut terlibat dalam penderitaan manusia. Sebagaiamana halnya Elie Wiesel, pengarang Yahudi terkenal yang ditahan dalam pembunuhan Hitler yang melihat Allah tergantung pada tiang-tiang gantungan begitu pula Mario dalam Ekaristi  memandang wajah Allah dalam kisahan-kisahan teks Kitab Suci ke dalam bahasa puisi.
     Inilah cara baru penyair memaknai penderitaan hidup lewat refleksi-refleksi biblis. Ia menembus sekat-sekat kemapanan, ia menjadikan yang transenden menjadi imanen. Bahwa Allah hadir di tengah-tengah penderitaan agar ada spirit untuk pembaharuan. Penderitaan memang menyakitkan tapi tetap harus diperjuangkan agar keluar, ia tidak melulu hadir dalam gores kata yang lirih tapi juga seruan pembebasan. Pada tataran ini Mario mungkin saja mengajak pembaca bagaimana seharusnya menghadapi penderitaan.   
    Mencari dan Mengusahakan Pembebasan
     Salah satu tugas yang amat berat bagi setiap orang beriman adalah turut merasakan penderitaan sesamanya. Mario lewat puisi-puisi dalam ekaristi turut mengajak pembaca untuk tertantang mengamalkan inti amanat Kita Suci. 89 puisi yang terhimpun dalam antologi ini adalah cara baru mengendus wajah Allah yang solider.
     Gema Teologi pembebasan yang lahir di bumi Amerika Latin bisa jadi terasa juga dalam puisi-puisi Mario. Mario adalah penyair yang mengajak pembaca untuk membongkar akar-akar ketertindasan dengan bahasa penuh metafora. Agak sulit memang mendalaminya tetapi seruan Mario lewat judul antologinya Ekaristi adalah semacam pesan keselamatan.

Epilog
    Ekaristi adalah juga semacam pencarian. Puisi-puisi yang terhimpun di dalamnya memang memiliki kejeniusan dalam pengembangan metafora liris ritmisnya toh ia tetap banyak menghadirkan keterasingan. Ia butuh pembacaan yang ketat. Dari puisi Kamu mulai dengan sebuah keadaan sampai Telaga Bisu menawarkan banyak hal positif serentak pencerahan untuk memandang wajah Allah. Kita perlu melibatkan diri dalam Ekaristi-nya Mario.




Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...