Monday, 28 June 2010

Merayakan Kemanusiaan


(Refleksi Piala Dunia 2010)
Oleh Hengky Ola Sura


Welcome to South Afrika, Re ya le Amohela. Enjoy FIFA World Cup 2010. Demikian tulisan yang terbaca pada banner raksasa di dinding lorong Bandara Internasional OR Tambo Johannesburg. Tumpah ruah pengunjung pun dapat kita saksikan melalui layar televisi pada saat seremonial pembukaan piala dunia. Afrika Selatan tidak hanya menjadi house tetapi lebih dari itu home bagi tim dari tiga puluh dua negara yang berlaga mengolah si kulit bundar. Belum lagi acara nonton bareng di seluruh kota dan daerah di dunia. Sepak bola telah dan sangat mencuri perhatian kita untuk tidak bisa melewatkan moment empat tahunan ini digelar. Tulisan tersebut di atas telah menyihir seluruh pasang mata pencinta dan penggila bola dunia bahwa betapa ramahnya sepak bola menjadi semacam perayaan kemanusiaan yang mempersatukan hampir seluruh ras, agama,bahasa, etnis dan golongan di dunia untuk bersama menyaksikan tontonan olahan si kulit bundar. Sepak bola hemat penulis telah mengubah mind set kita bahwa perhelatan akbar itu tidak sekedar tiga puluh dua negara yang turut serta bertanding tetapi telah menggugah kita pencinta bola bahwa sepak bola adalah sebuah perayaan kemanusiaan yang menyadarkan kita bahwa perhelatan akbar itu mempersatukan kita semua untuk membangun pemahaman kritis dari segala carut-marut persoalan kemanusiaan yang kadang disepelekan dan diabaikan. Salah satu contohnya adalah persoalan rasisme yang mencuat. Kapten kesebelasan Kamerun, Samuel Eto’o yang selama karir sepak bolanya di Barcelona (Spanyol) dan Inter Milan (Italia) termasuk salah seorang pesepak bola yang cukup menderita tekanan bathin karena teriakan suporter yang menghina kulit hitamnya. Eto’o pun berharap piala dunia kali ini membawa kesadaran baru kepada semua insan pencinta bola untuk tak memandang sebelah mata warga kulit hitam. Piala dunia dapat menghapuskan rasisme yang juga melanda bola kaki. Presiden FIFA, Sepp Blatter menyerukan penghentian rasisme dan diskriminasi sepak bola. Sepak bola adalah cermin dari masyarakat kita beserta semua sifat buruknya. Kekerasan, penipuan, doping, taruhan, diskriminasi dan rasisme. Seluruhnya ada di permainan ini. Kita harus menguranginya, tuturnya.
Jabulani, bola resmi yang digunakan selama perhelatan akbar ini telah menggelinding. Jabulani adalah bahasa Zulu, Afrika yang berarti merayakan. Dan sebuah awal yang spektakuler telah kita saksikan bersama pada seremonial pembuka pada layar televisi. Kita yang juga kadang memandang rendah Afrika hanya dari warna kulit, kemiskinan, kebodohan dan kelaparan pun disadarkan bahwa tidak semua anggapan kita benar. Piala dunia yang digagas oleh Nelson Mandela untuk dilaksanakan di Afrika Selatan yang adalah salah satu korban yang menderita karena politik apartheid ini adalah sebuah moment etis yang tepat untuk memaafkan semua lawan yang telah menindas kemanusiaannya dengan politik rasisme. Sementara itu Louis Menotti, mantan pelatih Legendaris Argentina mengungkapkan harapannya, semoga bola mengungkapkan kemanusiaan yang sedang tertindas dan tersembunyi. (bdk Sindhunata,Merebut Kembali Cinta, Kompas, 11Juni 2010,hal 1). Sepak bola memang punya daya magisnya sendiri. Mulai dari selebrasi pemain, ulah para suporter, teriakan pelatih dan komentar dari pinggir lapangan yang membuat kita terkagum-kagum. Maradona misalnya mengumpamakan Lionel Messi sebagai bocah dengan coklat di tangan. Messi memang bocah jenius yang selalu menghipnotis kita dengan menjaga coklat (baca, bola) dengan kelihaian dan skill cantik. Jabulani terus menggelinding sampai puncaknya 11 Juli mendatang. Dan kita semua bakal merayakan kegembiraan perhelatan akbar ini.
Akhirnya Jabulani tidak hanya menjadi perayaan para pemain-pemain yang membela negarannya, tetapi lebih dari itu adalah sebuah perayaan kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena ternyata bola itu mempersatukan kita semua untuk belajar dan membangun kebiasaan untuk tahu menghormati sesama kita. Dari sepak bola kita tidak hanya asyik menikmati tontonan berkelas yang fair dan bermutu tetapi juga dapat mengajarkan betapa kemanusiaan yang pernah ditindas itu akhirnya mendapat tempatnya dan dihargai secara lebih beradab.

Thursday, 17 June 2010

Megalomania politik


Oleh Hengky Ola Sura

Euforia politik tahun 2009 memang menarik. Banyak pengamat politik baik dalam maupun luar negeri mengarahkan perhatian penuh pada pergerakan suhu politik Indonesia yang kian memanas. Rakyat merasa bingung sementara angin reformasi politik yang mendidik terus bergulir hanya demi tegaknya demokrasi. Tidak ada kata lain lagi selain menyerukan” demokrasi “. Demi demokrasi di negeri ini, maka ruang gerak partai semakin luas. Langkah para elit politik guna mendirikan partai semakin banyak. Partai-partai baru bermunculan. Kita anggap sebagai partai yang berani menyaingi partai-partai tua yang juga tidak kalah pentingnya. Di tahun 2009 ini, ada 38 partai politik yang bersaing memperebutkan kursi di lembaga legislatif. Sebuah lembaga empuk yang nyaring meneriakkan demokrasi. Rakyat bisa kewalahan menentukan pilihan. Nama, poster dan slogan berat maupun ringan para caleg baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat nasional memenuhi jalan raya bahkan gang-gang kota dan desa. Ada-ada saja cara yang dipakai untuk berusaha menarik perhatian publik. Permainan warna, bentuk dan desain foto para caleg kita patut dicermati. Gaya dan cara pengambilan gambarpun menjadi ukuran sebuah tingkat ketertarikan tersendiri untuk dipertontonkan kepada publik. Pemilihan kata dan kalimat yang digunakan dalam setiap poster atau balihopun beragam. Kata-kata ini dianggap sebagai pemanis hati dan pikiran rakyat. Belum lagi strategi yang digunakan untuk memperoleh simpati rakyat. Penampilan, gaya bicara, arus silahturami, dan selalu turba agaknya tidak terbendung lagi. Semuanya serba makan biaya. Tidak gratis. Kalau gratis itu bukan namanya politik. Ini namanya biaya politik. Para caleg kita bisa saja menyediakan biaya yang cukup besar untuk proses ini. Para caleg kita mau belajar untuk menerobosi panggung perhelatan politik yang akan segera tiba. Tinggal beberapa hari lagi, seluruh rakyat di negeri ini, akan memberikan hak suaranya. Lalu siapa yang akan paling beruntung atau diutungkan. Kita lihat saja hasilnya. Tetapi yang pasti, rakyat akan memilih sosok yang paling familiar dan bisa dipercaya. Singkat kata, sosok caleg yang akan duduk di kursi DPR/DPRD bukan sosok yang hanya sekedar menjual tampang lewat baliho atau poster saja tetapi sosok yang mau bekerja untuk rakyat dan bukan untuk diri sendiri. Menjadi caleg bukan supaya bisa bekerja melainkan supaya bisa menjadi pelayan bagi semua orang. Pelayan yang rendah hati dan tak pernah berhenti berpikir tentang rakyatnya.
Sudah saatnya para caleg kita mesti melihat diri sendiri. Bisa melihat potensi-potensi diri. Potensi diri bukan saja terletak pada pangkat atau gelar yang disandang, melainkan potensi yang berakar pada kedalaman diri sendiri. Anda adalah seorang pelayan,(hamba) dan rakyat adalah tuan. Secara material anda adalah sosok yang mampu. Sosok yang tidak kalah bersaing dengan orang lain. Poster dan baliho yang terpancang dengan slogan pemanisnya adalah bentuk kekuatan diri anda. Anda merasa diri kuat, hebat, percaya diri, bangga, terkenal dan diagung-agungkan oleh rakyat karena anda bisa menjadi caleg. Dalam keadaan demikian penulis yakin bahwa para caleg masuk dalam sebuah penilaian diri yang berlebihan yang penulis sebut dengan megalomania politik. Psikolog Erik H. Erikson mengatakan bahwa, megalomania adalah penilaian diri yang berlebihan tentang kepentingan dan kemampuan diri sendiri, yang seringkali terjadi dalam penyakit psikis seperti mania dan paranoia, dimana penderia mengkhayalkan dirinya sebagai orang yang agung dan mulia, misalnya sebagai raja, pejabat eksekutif, pejabat legislatif dan sebagainya. Berhadapan dengan ini apakah para caleg sesungguhnya tengah dihinggapi sindrom megalomania politik itu? Apalagi hari menjelang pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Para caleg adalah orang yang tengah mengalami megalomania politik untuk sementara waktu. Artinya bahwa dibalik semangat unjuk diri lewat baliho-baliho dan safari politik yang memperbincangkan kelebihan dan prestasi yang dimiliki dan apa yang dibuat tentunya para caleg memiliki ketakutan tersendiri. Pertanyaan menantang” apakah anda bisa menjadi caleg yang baik bagi diri anda? Agak sulit bila menjawabnya. Sebab diri sendiri sulit untuk ditaklukkan. Musuh atau lawan yang paling ditakuti adalah diri sendiri. Saat ini anda mungkin saja sudah mulai was-was, takut dan cemas jangan sampai anda gugur dalam perhelatan politik yang akan datang. Jika anda gagal, bukan berarti anda tidak termasuk megalomania politik. Anda semestinya sudah memposisikan diri anda sebagai orang yang kalah untuk menang sebab politik adalah seni dari suatu kemungkinan (the art of impossible). Politik adalah suatu permainan seni yang bisa berubah dari waktu ke waktu. Dalam politik yang sehat dan rasional, kawan bisa jadi lawan. Politik adalah seni yang mengatur bagaimana orang mesti berkompetisi dalam sebuah wacana politik. Seni sebuah politik yang mungkin, tidak saja terletak pada bagaimana memanfaatkan potensi-potensi politik yang ada tetapi harus berusaha untuk bisa menciptakan peluang-peluang politik yang baru. Yang belum ada menjadi ada. Seni berpolitik yang mungkin merupakan suatu dorongan berprestasi yang berorientasi pada pemanfaatan potensi-potensi diri. Seorang yang memiliki motivasi yang baik untuk maju maka dorongan prestasinya akan lebih besar. Orang yang demikian akan mampu untuk menciptakan peluang-peluang yang baik bagi orang lain dan bagi diri sendiri.
Anda adalah megalomania politik yang bisa berdiri diatas kaki anda sendiri. Seorang megalomania politik yang mandiri, melakoni prestasi politik yang bisa membanggakan banyak orang. Seorang megalomania politik adalah juga seorang yang seni dalam memperebutkan kekuasaan politik. Kekuasaan politik yang diperebutkan adalah milik rakyat, bukan punyanya kamu. Bila kita sudah berbicara tentang kepunyaan rakyat, maka seorang megalomania politik mesti tahu menempatkan diri sebagai miliknya rakyat bukan memiliki rakyat. Yang dipertaruhkan oleh seorang megalomania politik adalah tanggung jawab dan kepercayaan dan bukan kekuasaan. Seorang megalomania politik mesti memiliki kapasitas sebagai perpanjangan tangan rakyat, bukan panjang tangan atas rakyat. Politik demi atau untuk kebaikan bersama bukan demi kebaikan perseorangan atau kelompok tertentu.
Rakyat bebas untuk menentukan pilihan tanpa paksaan. Anda telah menjual megalomania diri anda kepada rakyat. Suara hati nurani rakyat memang mahal melebihi megalomania diri anda. Rakyat kita tidak semestinya membiarkan diri anda melarat atau derita. Rakyat tahu bahwa anda adalah caleg. Rakyat mengenal caleg. Rakyat membaca slogan dan melihat wajah caleg, laki-laki dan perempuan. Pertanyaan’ apakah rakyat mau memilih anda? Belum tentu! Dan apakah rakyat tidak mau memilih anda? Belum tentu! Anda terkurung dalam keterpurukan psikologis untuk menerima atau menolak kenyataan yang terjadi atas diri anda setelah pemilihan nanti. Bagi yang terpilih sudah pasti akan bersyukur dan membanggakan diri. Dan bagi yang belum terpilih kali ini mungkin juga kecewa bahkan stress (tidak depresi). Bertarunglah secara wajar dan sehat dari aspek politik. Secara politik orang akan saling menyakiti melalui silang pendapat, saling menjegal antara lawan politik dan lain sebagainya. (tidak menuduh, siapa?) Itu sebuah politik yang mungkin. Megalomania politik adalah sesuatu yang masih mungkin secara politis sebab dorongan prestasi seseorang bisa saja meningkat karena moment politik yang sedang dilakoninya. Setelah itu, bisa saja melemah karena suhu politik mulai menurun. Orang akan cendrung mengimpikan sesuatu yang baik termasuk bisa terpilih menjadi anggota legislatif di kabupaten/kota atau di pusat. Jika impian itu tidak terwujudkan maka kemungkinan yang terjadi adalah orang mulai melakukan trik-trik politik pada tahap berikutnya. Tahun 2009 dia gagal, tetapi lima tahun yang akan datang dia bisa terpilih. Semoga saja megalomania politik tidak terus-menerus menghantui para caleg kita.

BULAN MISKRAM

(kepada ka Opyn)

malam-malam kelam
angin mati
ceria hilang
pada pagi yang belum usai

sebelum siang membentang
malam-malam kelam
bulan miskram
menyambutmu pulang

malam-malam kelam
sebelum siang membentang
ada doa dari jemari bunda yang latah
tidurlah pada dinding surga
bernyanyilah bersama malaikat sorga

hiburlah bunda yang berduka
bunda yang letih mencarimu
putri semata wayang

bulan di langit miskram
bunda masih menangis
mengenangmu
(Hokeng, Juni 2009, Rest in peace)

Sang Penyair itu

(Mengenang Si Burung Merak)
Oleh Hengky Ola Sura


Aku orang asing di dunia ini
Aku orang asing.
Di pengasinganku ada segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan.
Namun itu membuatku berpikir tentang kampung halaman impian yang tak ku kenal
(Khalil Gibran tentang Penyair dalam The Storm)

The Hours film yang diangkat dari novelnya sastrawan dan feminis Inggris Virginia Woolf berjudul Mrs Dalloway salah satu adegannya berkisah tentang seekor burung yang mati dan di kuburkan oleh gadis cilik bernama Vanessa dan Virginia Woolf (diperankan oleh Nicole Kidman). Pada saat Vanesa menggali sebuah lubang kecil dan memasukan burung tersebut kemudian menutupinya dengan tanah lalu meletakkan kembang mawar kuning di atasnya, bertanyalah Vanesa kepada Virginia Woolf “kemana kita pergi sesudah kita mati? Virginia menjawab, kita kembali ke Sang Hidup. Gadis kecil itu pun bertanya kembali ,dimanakah Sang Hidup itu? Viginia pun menjawab, aku tidak tahu, gadis kecil itupun menimpalinya aku juga tidak tahu. Sesungguhnya percakapan antara Vanessa dan Virginia Woolf adalah juga pertanyaan-pertanyaan kita tentang kematian. Seperti kata Khalil Gibran dalam esainya tentang penyair di atas, penyair adalah orang asing di dunia ini. Di pengasinganku ada segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan. Namun itu membuatku berpikir tentang kampung halaman impian yang tak ku kenal. Kita pasti pulang pada Sang Hidup tapi dimanakah Sang Hidup. Rumah Sang Hidup adalah kampung halaman impian kita. Sang Hidup adalah Sang Seniman yang bersabda, yang berkata . Sang Hidup memberikan kita Rendra dan kita pantas mengenangnya. Si Burung Merak itu pulang (juga nanti kita) dipanggil pulang pada Sang Seniman Kata yang memberikannya kata dan dengan kata ia berbahasa. Bahasa bukanlah merupakan suatu dunianya sendiri. Bahkan ia bukanlah dunia. Namun dikarenakan kita berada di dunia, dikarenakan kita dipengaruhi oleh situasi, dan dikarenakan kita mengorientasikan diri kita secara komprehensif dalam situasi tersebut, maka kita memiliki sesuatu untuk dikatakan, kita memiliki pengalaman untuk dibawa ke dalam bahasa. (Paul Ricoeur, IRCiSOD, 2003). Puisi adalah bahasa. Ia berfungsi sebagai sarana manusia mengekspresikan diri dan mengungkapkan pemikiran maupun perasaannya kepada manusia lain. Puisi bukan bahasa biasa. Kita tidak hanya membaca, memahami apa yang tertulis melainkan melampauinya. Mencari makna dan rasa yang ada diseberangnnya. Rendra mewakili kita sebagai bagian dari jutaan orang-orang Indonesia membahasakan realitas dari puisi-puisinya. Rendra pernah ada di dunia, di bumi Indonesia, kita layak bersyukur Tuhan memeberikan kita Rendra. Rendra pergi dan mewarisi kita puisi. Rendra adalah puisi dan puisi adalah Rendra. Hidupnya adalah untuk puisi. Rendra adalah seorang penulis puisi dan pembaca puisi yang handal. Setelah tak lagi tampil dalam teater pemeentasan drama-dramanya Rendra selalu anggun dengan puisi-puisinya. Ia seorang penyair hati nurani yang mendobrak dan memerdekakan manusia dengan puisi-puisinya. Rendra memang harus tetap hidup dalam ingatan kita. Ia membuat kita menyadari akan arti penting dari hidup dan kehidupan akan kebebasan, keindahan dan kebenaran. Seorang yang lantang meneriakan ketimpangan lewat puisi-puisinya. Lewat guratan kata-kata dan retorikanya yang menarik ia tampil memprotes pihak status quo (baca resim Orde Baru) dan sekaligus mengartikulasikan getaran suara rakyat. Menurut A. Teeuw sajak-sajak Rendra merupakan jawaban pada lengkingan kesakitan, teriak minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan. ( A. Teeuw, 1993)
Rendra meengajukan protes dalam “Aku tulis pamflet ini”

Aku tulis pamflet ini
Karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk
Dan ungkapan diri ditekan
Menjadi peng-iyaan,
................................
................................
Apabila kritik hanya boleh saluran resmi
Maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Rendra mungkin selalu tak bisa tidur dengan kebijakan politik saat menulis puisi diatas. Ia menyadari akan arti penting dirinya sebagai penyair. Penyair juga seorang ksatria atau seorang prajurit kesenian menurut bahasanya Arswendo Atmowiloto. Prajurit kesenian yang melahirkan jurus-jurus bagaimana menguasai panggung, bagaimana menciptakan puisi yang mengagumkan juga menggelisahkan. Puisi juga dapat berperan sebagai pembebas. Ia memiliki kekuatan sosial yang menembus sekat kemapanan. Aku tulis pamflet ini merupakan ungkapan bening dari hati seorang penyair yang menyanyat dan membedah kebobrokan lahiriah. Rendra adalah penyair sejati, utusan langit yang mewartakan pentingnya hakikat hidup dan kebebasan. Ia pulang pada Sang Hidup untuk mempertanggungjawabkan tugas kepenyairannya. Tempat Sang Hidup adalah muara impian. Kampung halaman yang tak dikenal, tanah air abadi dan ke sanalah kita semua pulang. Tuhan memanggil kita pulang. Goenawan Mohammad dalam catatan pinggirnya menulis kembali puisi Rendra dan secara bernas mendeskripsikannya


Lalu terdengarlah suara

di balik semak itu

sedang bulan merah mabuk

dan angin dari selatan.

Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak terhingga. Suara Sang Hidup telah memanggilnya pulang. Ia meninggalkan kita puisi. Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya yaitu yang fantastis, yang ganjil, yang misterius ditiadakan. Ini yang terjadi ketika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa berguna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena keadaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri. Rendra telah mati dan kita pantas mengenangnya, membicarakannya serentak mendoakannya
Wahai kau burung merak terbanglah tinggi
Sayapmu tak akan patah lagi
Tak akan terkulai lagi
suara yang memanggilmu dari muara impian adalah sejati
keabadian
Sang Hidup
Oh…Sang hidup peluk mesra burung merak kami
Ia pernah asing di negeri kami
Mungkin karena kami iri dengan keindahannya.
Burung merak terbanglah tinggi
Sayapmu tak akan patah lagi
(Hengky Ola Sura , Rumah Ret-ret Hokeng, Agustus 2009)

Geliat Sastra NTT


Apresiasi untuk buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji)
Oleh Hengky Ola Sura
Mencari siapa yang membuatku ‘jadi’
Itu terlampau sulit
Tetapi menemukan itu paling abadi
Lalu kutulis
‘A’
Pada wajah kehidupan

(Untuk guru yang mengajarku menulis abjad kehidupan)

Itulah puisi pertama yang terpampang pada halaman awal dari buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji, karya Wilda Wisang, seorang staf pengajar pada Universitas Flores. Inilah salah satu karya terbaik yang lahir dari seorang penyair NTT yang benar-benar mencurahkan seluruh kecintaannya pada puisi. Ketika membaca puisi pertama dari buku kumpulan puisi tersebut, sontak saya teringat masa-masa awal ketika duduk di bangku sekolah dasar. Puisi yang dipersembahkan pada guru itu mengajarkan pada kita semua tentang saat-saat pertama kita duduk di bangku sekolah dasar. Kita tak ubahnya batu yang keras yang datang ke sekolah dengan segala kekosongan, kita tak mirip sebuah batu keras. Tak punya apa-apa. Dan bagaimana ketika kita dibimbing dituntun secara perlahan-lahan oleh guru kita sampai mampu mengenal tiap abjad yang mulai dengan A-Z. Kita yang tadinya tak ubah sebuah batu pun ‘menjadi’ seorang anak manusia yang mengerti dan mengetahui lebih banyak tentang berbagai arti kehidupan setelah kita tahu membaca dan mendalami berbagai bentuk realitas. Karmelindo-Malang, penerbit yang menerbitkan buku kumpulan puisi ini menulis dalam pengantarnya demikian “sangatlah menarik ketika kita menelusuri kumpulan puisi ini dengan awalan “A”. Kita tahu, ciri khas sebuah puisi adalah irit kata dengan padat makna. Maka guratan tulisan kata dari Wilda yang merangkai huruf “A” sungguh-sungguh menambah kuatnya arti sebuah kata. Dari sana kita tidak sebatas mengagumi kata-kata yang tercipta, namun juga semua kata itu telah menggelitik hati kita, (Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 7). Para penulis puisi selalu memberitahu kita bahwa rumput itu hijau, guntur itu keras dan bibir itu merah. Inilah kekuatan-kekuatan bahasa puitis yang paling luar biasa, memberi kita kualitas dari pengalaman-pengalaman, demikian tulis C.S. Lewis (lih, God and Culture, ed, D.A. Carson dan Jhon D. Woodbrige, Penerbit Momentum hal 267). Kita patut berbangga dan menyambut baik buku kumpulan puisi yang ditulis oleh penulis muda ini. Tugas penulis adalah menatap, melihat dunia ciptaan ini, dan memancing kita semua ke dalam tindakan perenungan yang serupa. Tugas penulis (baca, sastrawan, penyair adalah memakai kekuatan tulisan untuk membuat kita mendengar, membuat kita merasakan dan diatas segalanya membuat kita melihat. Seorang penulis tak boleh malu untuk menatap. Penulis adalah pengamat realita yang peka karena hal ini merupakan salah satu bentuk kemahiran mereka dalam membahasakan realitas ke dalam sebuah karya sastra. Sastra secara berlimpah memberitahukan kebenaran. Oleh karena itu tidak salah juga kalau sastrawan/penyair disebut sebagai utusan langit (Tuhan) yang mewartakan kebenaran dalam kata. Ini nampak dalam puisi Wajah:

Seribu napas
Mengeja aksara suci
Memburu setia
Di balik
Lipatan wajah
: lalu
Angin dan langit bersentuhan
Menemukan wajah sedang
Menidurkan jaga
Di tapal batas
-“yang kau cari?”
Pulang
Dan membungkuklah
Ada wajah
Sedang tersenyum
: lalu
Kau sebut dia Tuhan
(dalam Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 11)

Penulis memancing kita untuk melihat kebenaran lebih dalam akan sesuatu yang melampaui kita dan yang kita sebut sebagai Tuhan. Frase angin dan langit bersentuhan, menidurkan jaga di tapal batas terasa begitu mendalam akan mesranya hubungan antara manusia peziarah yang mencari Tuhan. Kita adalah peziarah-peziarah itu. Kita mencari-Nya dan dalam nada penuh harap kita berdoa. Wilda menggoresnya secara amat lugu namun bernas dalam kata-kata “seribu napas mengeja aksara suci, memburu setia, dibalik, lipatan wajah, lalu angin dan langit bersentuhan…. Pada buku kumpulan puisi ini kita akan menemukan bahwa sastra (puisi) selalu mengandung jarak seni dan imaginasi. Poin pentingnya adalah bahwa dunia sastra (puisi) merupakan sebuah bangunan imaginasi. Dunia imaginasi ini melekat pada puisi-puisi WIlda yang beberapa diantaranya besifat begitu fantastik. Nampak dalam puisi Hilang

Kita saling terjaga
Ketika ada pertemuan
Sepi di sini
(dari Serumpun Madah di Pintu Janji, hal12)

Menurut saya puisi ini begitu fantastik karena menonjolkan satu dari sekian banyak segi kehidupan manusia yang heroik, namun penulis puisi ini melukiskannya secara sederhana. Hal ini serupa dengan aforisme dari seniman Pablo Picasso bahwa seni merupakan kebohongan yang membuat kita menyadari kebenaran. Puisi adalah sebuah karya seni dari seni sastra. Dari puisi Hilang kita dapat menangkap gelagat kebohongan dari ungkapan perasaan yang sebenarnya terluka. Kebenaran itu disembunyikan dalam goresan yang bermakna. Dengan kepekaan artistik penyair, penulis puisi ini bisa melukiskan realitas obyektif dengan bahasa yang lentur, namun sarat dengan makna. Penulis puisi ini merefleksikan kembali realitas obyektif dan mengungkapkan kembali sebagai suatu pengalaman baru. Kalau filsafat dan ilmu bicara sola pengalaman dengan bahasa yang kering dan kaku, maka sastra menyajikan pengalaman dalam bahasa yang lugas dan kias serta komunikatif. Ilmu mempengaruhi kita karena isinya, sedangkan seni mempengaruhi kita karena bentuknya. Ilmu memberi kita fakta dan jalinan antar fakta sedangkan seni mempengaruhi jiwa dan kepastian (bdk Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Geor Lukascs, Gramedia Pustaka Utama, hal 62). Sastra (puisi) dalam perannya mempengaruhi jiwa dan kepastian juga melesakkan nilai-nilai transsendental, maka Wilda sang penulis yang tak lain adalah seorang biarawati dalam kumpulan puisinya, Serumpun Madah di Pintu Janji mengajak kita untuk tidak semata-mata terikat pada yang kongkrit dan yang empiris yang dapat ditangkap oleh indera kita, maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan membebaskan diri dari peralatan indrawi. Puisi-puisi yang ada dalam buku ini mengajak kita untuk merenung/kontemplasi dan introspeksi diri lebih dalam akan semua peristiwa hidup yang kita alami dan jalani. Puisi Sebab Kau-lah mungkin paling telak menggambarkan akan situasi ini,

Perjalanan kita jauhnya cuma sejarak
Ketika bibir berdebu ini
Menabuh serumpun madah
Pencarian kita setarak menepi
Ketika mataku alpa sekedip
Semakin jarak pula kata dan ruang
Walau riduku pecah di langit harap
Segera ku rekat bait-bait bijak
: sebab kau-lah
Yang melintas di sayap ziarahku

Penulis kemudian mengajak pembaca untuk secara esensial mampu menggendor hati dan pikiran ke arah permenungan (kontemplasi) tentang kehidupan kematian. Puisi Kembali Pada-Mu

Lentera menerangi gulita
Sesayup di tepis angin
Menembus baris-baris kota
Rapat tersusun
Tak ada ruang mengatur gerak
Berdesakan amuk serakah

Tuhan
Terlampau lama kami menanti
Di batas waktu kami bertanya
Bakal menembus langitmu
Madahku seuntai berlirik pasrah

Tuhan
Hanya pada-Mu kami kembali
Untuk mulai
(dari Serumpun Madah di Pintu Janji, hal 68)

Akhirnya patut kita berikan apresiasi untuk buku kumpulan puisi Serumpun Madah di Pintu Janji karya penyair muda NTT ini. Inilah bukti bahwa NTT telah, sedang dan akan melahirkan penyair-penyair mudanya untuk terus menulis. Tugas penulis adalah menatap, melihat dunia ini dan memancing pembacanya ke dalam tindakan perenungan yang serupa. Seorang penulis tak boleh malu untuk menatap.

Sastra Profetik dalam Lembata sebuah novel


Catatan atas Literature Khatulistiwa Award)
Oleh Hengky Ola Sura


Tulisan ini merupakan apresiasi atas Literature Khatulistiwa Award yang dimenangkan oleh Lembata sebuah novel. Juli 2008 lalu, penerbit Lamalera menerbitkan sebuah novel yang ditulis oleh sastrawan dan jurnalis senior Indonesia, F. Rahardi, dengan judul Lembata. Catatan pengantar dari penerbit menulis, mengapa Lembata dan mengapa sebuah novel? Pertanyaan tersebut sebenarnya menempatkan dimana suara kenabian (profetik) Gereja Katolik yang telah berada di Lembata sudah seabad lebih ternyata belum menunjukan ada perkembangan berarti yang dialami masyarakat Lembata. Masalah kemiskinan berujung pada masalah- masalah sosial lainnya, seperti pendidikan, sanitasi dan moral masih akrab membelit masyarakat. Lebih buruk lagi, di tengah pusaran kemiskinan itu pemerintah yang sudah (terlanjur) didewakan sebagai motor pembangunan justru dengan seenaknya mengkampanyekan kemiskinan Lembata kepada para cukong pembangunan (pengantar penerbit hal v dan vi). Rahardi menggores sesuatu yang ‘beda’ dalam pelesirnya ke Lembata. Lembata adalah eksotika bagi Rahardi untuk mencoba membahasakan suasana Lembata yang menggeliat dalam pandangan pro dan kontra seputar tambang. Lembata yang punya potensi untuk ditata secara lebih anggun.


Ketika membahas novel ini bersama kawan- kawan di Bengkel Sastra, ada yang memuji kepiawaian Rahardi menggores penanya dalam cerita tentang tempat-tempat di Lembata (latar). Rahardi seolah menjadi seorang putera asli Lembata. Ada yang berkomentar Rahardi terlalu memojokan perempuan lewat kebinalan Luciola sebagai seorang perempuan yang gila dengan ketampanan dan intelektualitas dari tokoh pujaannya, Romo Pedro. Ia seorang imam diosesan keuskupan Larantuka teman sekelas Luciola yang berhasil menggodol titel sarjana Ekonomi pada Universitas Atmajaya dengan predikat terpuji. Ada lagi yang membandingkan Pedro dan Luciola mirip Wisanggeni dan Laila dalam novel Saman- nya Ayu Utami. Cuma ada sedikit perbedaan antara Saman dan Lembata. Dalam Saman, Laila berhasil memperkosa Wisanggeni yang kemudian melepaskan imamatnya dan berganti nama menjadi Saman. Sedangkan pada Lembata–nya F. Rahardi, Luciola yang kesengsem berat pada Romo Pedro harus kecewa dan nyaris tak punya tujuan hidup setelah perjuangannya mendapatkan Romo Pedro sia-sia. Luciola perempuan cantik yang memiliki segalanya itu bahkan sampai menelanjangi dirinya agar bisa bercinta dengan Pedro. “Baik aku akan telanjang bulat Pedro. Sekarang kita hanya berdua. Kamu sudah bukan imam lagi. Apa masih takut kamu pada uskup? Tidak ada urusan lagi bukan? Pedro, sekarang aku akan serahkan tubuh ini padamu, seperti dulu Yesus menyerahkan tubuhnya ke Laskar Romawi untuk dicambuk, dan disalibkan. Pedro, salibkan aku. Pentanglah tangan dan kakiku, paku dan pukullah dengan palu yang keras di dua tepi bed itu Pedro. Tusuklah aku dengan tombakmu Pedro, aku siap mati ditanganmu. Pedro kamu tidak impotent bukan? Kamu sudah ereksi bukan? Ayo Pedro”, ungkap Luciola dengan memelas. …(hal 208). Pedro adalah seorang tokoh imam dan agamawan sejati yang sadar bahwa imamatnya adalah sebuah tugas profetik yang mulia. Kemuliaan imamatnya tidaklah boleh dicemarkan dengan meladeni kebinalan dan rasa kesengsem berat dari seorang perempuan yang jatuh hati padanya. Ia harus menjadi imam yang politis. Rela tinggal dan bekerja sebagai pastor pembantu di Paroki Santa Maria Pembantu Abadi Aliuroba (Lembata, sebuah novel,hal. 22). Imamatnya adalah sebuah solidaritas yang menuntut perhatian untuk terlibat dalam rencana tambang emas di pulau yang bernama Lembata. Imamatnya adalah juga semacam pencerahan dari keragu- raguan sikap LSM lokal yang demikian bernafsunya menolak penambangan emas, tetapi tidak pernah secara serius memikirkan bagaimana mengatasi masalah kemiskinan yang merupakan derita rakyat banyak. Sebelum ada emas pun mereka sudah menderita (hal 71). Keberpihakannya terhadap orang kecil, bukan hanya pada soal tambang tetapi bagaimana berjuang menyuarakan agar tuak dan jagung titi menggantikan posisi hostia dan anggur yang harganya melonjak, jauh dari masuknya derma setiap hari Minggu (hal. 112). Sampai pada usahanya ini membuat berang uskup (hal 119) dan diserbu massa ke pondok persembunyiannya, tetapi si Pedro selamat gara- gara nyenyak di lubang tidurnya (hal. 183).

Pedro tetaplah Pedro, ia pejuang sejati, agamawan yang setia pada imamatnya meski tak lagi harus merayakan kurban misa. Ia adalah sebuah suara profetik dari horizon Rahardi tentang bagaimana meredefenisi seruan profetik yang lama dikekang atau terlalu berada jauh di atas menara gading, masih tuli, kaku dan apatis.

Tidak sejalan dengan Pedro, seorang rekan imamnya Pater Bona justru menikmati tubuh bugil Luciola di rumah penginapan saat berziarah bersama ke Lourdes. Meskipun tidur sekamar dan bercinta dengan Pater Bona, hati Luciola tetap untuk Romo Pedro (hal 83& 85). Semua lelaki yang dikencaninya sebenarnya adalah pelarian dari rasa kecewa akibat tak pernah meluluhkan keagamawanan dan imamatnya seorang lelaki impian bernama Pedro. Pedro bagi Luciola adalah seorang yang yang telah meluluh- lantakan segala perjuangan dari cintanya yang egois. Dari cinta yang egois Luciola akhirnya pulang pada sebuah kesadaran bahwa keinginan untuk mencintai terlebih keiginan untuk bersetubuh dan menikmati puncak orgasme bersama lelaki pujaan bukanlah hal yang utama. Ini menyata dalam permintaan Luciola kepada Pedro untuk berjuang bersama demi kemanusiaan. “Melalui gereja, aku mau membantu orang –orang susah, apa pun bangsa dan agamanya. Tapi jelas, aku mau konsentrasi di Indonesia, bukan di Peru, bukan di Zambia. Kamu masih tetap mau membantu aku bukan? Pedro,cinta, terlebih seks, ternyata memang bukan hal yang utama ya?” (hal 256).

Pedro pada akhirnya berhasil mengarahkan Luciola pada sebuah bentuk perjuangan cinta yang ‘beda’. Luciola adalah seorang yang mewakili individu- individu masyarakat modern, yang mengalami kekosongan, kesepian dan kecemasan. Kekosongan merupakan kondisi dimana individu tidak lagi mengetahui apa yang harus diinginkan dan tidak lagi memiliki kekuasaaan tarhadap apa yang terjadi dan dialami. Kekosongan jiwa telah mengubah Luciola seorang individu modern menjadi individu yang outer- directed, yaitu individu yang mengarahkan dirinya kepada orang lain dalam rangka mencari pegangan atau petunjuk bagi penentuan hidupnya. Itulah Luciola, ia memiliki kekuasaan dan kekayaan, sayang ia tidak berdaya dan selalu merasa asing. Kesepian yang dialami Luciola merupakan akibat langsung kekosongan jiwa, keterasingan dari diri sendiri dan maupun dengan sesama Akibat dari semua itu melahirkan kegelisahan dalam diri Luciola. Kota- kota besar tempat persinggahannya, Darwin, Singapura, Milan, Montreaux – Lavaux dan kota – kota lainnya hanyalah perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung sementara. Semuanya mengantar Luciola pada hidup yang materialistis dan hedonistis. Ia akhirnya pulang pada sebuah kesadaran akan sebuah nilai ‘lebih’ bila bersama Pedro berjuang untuk orang- orang Lembata dalam misi kemanusiaan dan bukan pada urusan kelamin. Lembata sebuah novel karya Rahardi merupakan karya humanistik nan dramatis yang melibatkan ekspresi tertinggi nilai- nilai kemanusiaan, keindahan dan moral. Novel ini menyuarakan nilai – nilai kemanusiaan dan layak dikategorikan sebagai sebuah karya sastra profetik.***

Kebebasan Berekspresi

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende

Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater menurut Asrul Sani pada tahun 50-an adalah salah satu bentuk demokrasi yang lain. Penulis menjadi sangat terkesan akan kegiatan yang telah dilaksanakan selama lima hari berturut-turut dari tanggal 18 Januari-22 Januari 2010, dimana para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor bekerja sama dengan Penerbit Nusa Indah Ende menggelar acara pentas drama dan teater. Acara ini terselenggara berkat motivasi yang kuat dari P. Lorens Olanama, SVD selaku dosen mata kuliah Menulis Drama Pentas. Tujuan utama mata kuliah menurut Olanama yang juga adalah seorang penulis naskah drama dengan dramanya yang terkenal Mayat-Mayat Berjalan yakni mahasiswa dapat menghasilkan sebuah drama atau pun teater. Dan terbukti bahwa mahasiswa mampu menghasilkan karya terbaiknya. Selama lima malam berturut masing-masing kelas dari kelas A-E semester lima FKIP/PBSI Uniflor unjuk kebolehan di atas panggung di showroom Penerbit Nusa Indah. Mahasiswa tampil memukau dan penonton pun membludak penuh antusias menyaksikan pentas drama dan teater. Berkenaan dengan kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih jauh seputar teater sebagai satu bentuk demokrasi yang lain itu. Penulis meyakini bahwa teater adalah sebuah bentuk kebebasan berekspresi yang sarat dengan muatan kritik yang reflektif yang layak untuk didengarkan. Sebagai sebuah seni pertunjukan teater adalah juga kritik sosial yang berangkat dari realitas. Kritik dalam teater memang menyakitkan tetapi lebih menyakitkan bila kritik itu tidak didengarkan. Bagaimanakah jalinan antara demokrasi dan teater itu? Terlebih dahulu dijelaskan apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah suatu forum dimana orang bisa melontarkan isi hatinya dan bisa pula membantah pendapat orang. Untuk mengambil keputusan atau macam-macam cara. Ada yang menempuh cara mufakat bulat. Ada pula yang lewat voting. Wajib menang adalah yang suaranya terbanyak. Dengan cara persuasi ia berusaha membujuk orang untuk berdiri dipihaknya. Sifat terbuka merupakan syarat pokok dari semua yang sifatnya demokrasi. Jika sesuatu ditutup-tutupi, seribu kali dia meneyebut demokrasi, sesungguhnya ia sama sekali bukan.
Dan apakah teater itu? Teater juga suatu forum dimana orang bisa menyatakan suara hatinya. Pada saat yang bersamaan, dia pun bisa membantah apa yang dikatakan pihak lain. Semuanya pun berlangsung terbuka dan tidak ada yang disembunyikan. Itu sebabnya pada tahun 1950-an Asrul Sani pernah menyebut bahwa “teater merupakan alat demokrasi yang lain”. Melalui kekuatan kata-kata yang ekspresif para penulis, dramawan muda Uniflor telah dengan sangat telak membawa teori seputar penulisan drama atau pun teater ke atas panggung. Meskipun masih dalam tata panggung yang minimalis toh patut diakui bahwa sebuah kreatifitas itu telah tumbuh dan sedang mekarnya melecutkan semangat muda anak-anak NTT untuk menunjukan bahwa mereka bisa dan kebebasan berekspresi yang mereka tuangkan melalui tulisan kemudian diterjemahkan ke atas panggung merupakan sebuah digdaya yang teramat bermakna bagi para penonton (baca, penikmat karya seni) yang sungguh menyadari bahwa bentuk demokrasi yang lain itu sungguh-sungguh sebuah pelajaran teramat berharga untuk menata ulang sekaligus menafsir ulang kebenaran yang mungkin sudah terlalu mapan dan kaku untuk terus dijalani. Bahwa kata yang diteriakan di atas panggung adalah sungguh sebuah karya seni yang tidak berangkat dari realitas semu melainkan dari realita yang sesungguhnya. Bahwa kata yang menjadi ungkapan tercurah dalam dialog di atas panggung dapat menimbulkan efek transformatif. Kalau dalam demokrasi kata bisa saja dimanipulasi maka dalam teater kata menemukan bentuknya sebagai sebuah label bentuk yang diacu yang didalamnya para penonton akan mengetahui bahwa kebenaran kata yang dikemukakan itu bisa benar dan bisa saja bohong. Semuanya langsung terbaca oleh para penonton. Sebagai contoh dalam pertunjukan teater, seorang mahasiswa yang menjadi raja dapat memaki-maki dosennya yang menjadi prajurit. Dan Indonesia adalah sebuah panggung sandiwara, (Jakob Sumardjono, Kompas 23 Januari 2010). Penonton akan langsung menagkap bahwa mahasiswa itu hanya jago di atas panggung pentas ketika menjadi raja dan akan mati kutu tak berdaya saat tidak berada di atas panggung atau berada pada lingkup kampus. Dan semuanya pasti tahu bahwa seorang mahasiswa tidak mungkin melebihi dosennya walaupun kadang-kadang mahasiswa lebih unggul dari sang dosen. Bangsa ini menyatakan dirinya sebagai bangsa yang ramah, santun, berbudi luhur, kenyataannya paradoks, kita bisa lebih barbar dari bangsa manapun. Kenyataan inilah yang telah menjadi acuan bagi para mahasiswa untuk coba menembus sekat kemapanan itu untuk coba bersuara lewat pentas drama dan teater. Daripada harus cape-cape turun jalan untuk berdemonstrasi, walaupun sebenarnya demonstrasi itu baik dalam tataran demokrasi tetapi karena sering tidak didengarkan maka melalui panggung pentas kekuatan dialog itu menjadi semacam élan vital untuk mencoba bersuara. Inilah sebuah bentuk kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi memang menyenangkan tetapi sekaligus membawa racunnya sendiri. Mengapa? Jawabanya karena para penguasa kadang takut dengan ekspresi kebebasan itu sehingga banyak penguasa yang menindasnya. Dalam teater, kebebasan berekspresi menunjukkan ada kesalahan, ada kemungkinan untuk memikirkan kebenaran yang kadang tersembunyi dan seorang tokoh dari teater itu menyeruakan kebenaran yang sesungguhnya. Kebebasan berekspresi yang telah ditunjukkan oleh para mahasiswa dengan teater dan dramanya sebenarnya adalah bentuk kebebasan yang dalam hidup harian kita sangat ditakuti oleh penguasa atau pun juga hidup kekeluargaan kita. Penulis meyakini bahwa apa yang dikemukakan oleh Asrul Sani bahwa teater adalah sebuah bentuk demokrasi yang lain akan membuat kita semua patut memberi apresiasi kepada para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor yang telah dengan sangat antusias mewartakan kebebasan ekspresinya dalam tulisan kemudian dibawakan di atas panggun pentas. Inilah sebuah ikthiar nyata memasyarkatkan sastra. Apa yang telah ditulis dan dipertontonkan di atas panggung sebenarnya adalah refleksi dari keadaan masyarakat yang memimpikan keadaan yang lebih baik. Teater juga adalah kebutuhan kita. Didalamnya kita melihat diri kita sendiri. Tanpa rasa takut dan diburu. Teater bukanlah luks buat kita melainkan adalah gambaran kehidupan kita ibarat makanan dan minuman sehari-hari.

Pendidikan dan Managemen Konflik

Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Uniflor Ende


Film Laskar Pelangi, kisah yang diangkat dari novelnya Andrea Hirata secara amat telak menyuguhkan kepada semua yang bertanggung jawab dengan pendidikan untuk menyadari bahwa tujuan pendidikan pertama dan yang terutama adalah membantu anak-anak menjadi orang dewasa dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah membantu anak memperoleh tingkat kepandaian sesuai dengan kemampuan intelektualnya. Hal inilah yang ditekankan oleh Pak Harfan dan Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi. Sebuah film pendidikan yang berlatarkarkan kehidupan orang-orang miskin, namun dengan pendekatan hati yang tulus, 10 anak miskin dalam film tersebut memperoleh pendidikan budi pekerti yang kuat sebagai dasar untuk terus menjalani hidup. Memiliki semangat dan daya juang bahwa tujuan utama sekolah adalah bukan mencetak manusia-manusia super cerdas yang karbitan. Dan itu menyata dalam cara bagaimana Pak Harfan dan Bu Muslimah menanamkan benih cinta pada anak-anak didik di sekolah Muhammadya yang nyaris roboh.

Pendidik adalah pencinta

Menjadi guru/pendidik sebenarnya adalah menjadi seorang pencinta. Harus mulai dengan cinta, karena dengan menjadi seorang pencinta seorang guru/pendidik walaupun tidak harus belajar psikologi kepribadian atau perkembangan peserta didik pasti berusaha menanamkan dalam dirinya pemahaman akan karakter anak didiknya. Untuk selanjutnya membuat sebuah pendekatan hati agar membantu anak/peserta didik bagaimana seharusnya mengembangkan potensi dirinya. Ada ungkapan dalam bahasa Sansekerta yang berbunyi demikian ‘Tat twam asi’ yang tafsiran maknanya adalah aku adalah kamu, kamu adalah aku; bila aku mencederai kamu, aku mencederai diriku sendiri; bila kamu mencederai aku, kamu mencederai dirimu sendiri. Sikap ini sebenarnya mau menegaskan watak seorang pendidik/guru yang ideal yang peka pada lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan pikir manusia. Sebagai pendidik yang adalah seorang pencinta, guru perlu melihat semua realitas yang terjadi dengan anak didik.
Banyak masalah atau problem di sekolah terjadi karena guru tidak memahami managemen konflik. Misalnya saja, seorang anak yang tergolong baik, suka menolong, punya kemampuan intelektual bagus tiba-tiba dituduh oleh gurunya hanya karena ada laporan dari luar sekolah tentang si anak tersebut bahwa anak itu mengadu domba kawan-kawannya untuk saling berkelahi. Tuduhan yang tak beralasan tanpa melihat indikator apa sampai anak tersebut dituduh telah secara tidak langsung melukai si anak tersebut. Si anak menjadi seorang yang sangat kecewa dengan tindakan tuduhan gurunya. Seharusnya kalau mau bijak, guru tidak langsung percaya pada laporan tersebut, tetapi bagaimana caranya ia menghadirkan anak-anak yang berkelahi dan menanyakan sebab perkelahian tersebut. Hal mengganjal apa yang membuat mereka sampai berkelahi. Dengan menuduh si anak tadi, guru sebenarnya justru menciptakan masalah baru. Mengapa demikian? Karena guru secara tidak langsung telah membuat si anak tadi merasa dalam dirinya ia seorang yang bisa saja luntur kepribadiannya yang baik dan kegairahannya dalam belajar menurun. Hal yang sepele tetapi akan sangat membekas dalam diri si anak karena sebuah tuduhan yang tak beralasan telah membuat nama baik si anak tadi tercoreng. Ini sebuah contoh yang sederhana tetapi guru perlu memaknai bahwa yang dididiknya bukanlah manusia-manusia robot tetapi orang-orang yang punya harga diri, akal dan hati.

Contoh tersebut di atas mungkin mewakili masalah-masalah lain yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Guru harus menciptakan dalam dirinya tipikal guru yang jadi idolah karena ketegasan, kemampuan dan kewibawaan serta kebijakan yang merangkul. Banyak masalah terjadi justru guru tampil sebagai penuduh, emosional dan berkepribadian impulsif. Anak didik dilihat sebagai bank yang di dalam diri mereka dijejali aneka nasehat, petuah , pelajaran, pembinaan serentak kata-kata umpatan yang membuat anak didik terluka. Kekerasan fisik maupun verbal sangat riskan dengan perkembangan anak didik dan dapat mencederai semangat untuk belajar. Ingatlah juga bahwa kekerasan verbal dapat digunakan dalam tataran yang harus melihat situasi dan kondisi yang tepat. Karena kekerasan verbal justru melukai lebih dalam hati peserta didik dan membuatnya teralienasi. Pendidikan tidak mengajarkan bahwa anak atau peserta didik harus dikasihani terus-menerus tetapi anak atau peserta didik itu harus dihargai sebagai pribadi. Dan penghargaan kepada seorang pribadi yang paling tinggi ialah cinta kasih.
Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah membangun ekologi manah (mind) manusiawi. Hal terpenting dari pendidikan bukanlah apa yang tampak secara fisik tetapi lebih pada hasil yang tidak tampak karena ia tak teraba (intangible),yaitu pengetahuan yang ditanamkan di dalam manah (jiwa dan hati) anak didik (bdk, Prof. Stephanus Djawanai, Universitas Flores Mengubah Polah Pikir Anak Indonesia, Orasi Ilmiah Wisuda Uniflor, 15 Desember 2009). Kita ketahui bahwa manah manusia mengatur pola pikir; pola pikir menguasai perasaan; perasaan membentuk sikap hidup; sikap hidup memandu perilaku;perilaku membangun watak kepribadian; dan watak kepribadian menentukan jalan hidup kita. Managemen konflik dalam pendidikan menjadi penting, karena pendidikan yang baik pada tingkat manapun mendorong penciptaan rasa kemanusiaan dalam wujud cinta pada Sang Pencipta, cinta pada keluarga, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta kepada alam. Managemen konflik dalam pendidikan juga pada gilirannya akan membebaskan peserta didik dari rasa keterkungkungan dalam rasa bersalah yang akut untuk terus maju bahwa mereka merasa dihargai dan terus maju menggapai impian. Tepat seperti nasihat Lintang yang mengalami konflik dengan bathinnya karena gagal meneruskan sekolah dalam Laskar Pelangi. Nasihat untuk putrinya dikemudian hari antara lain, ‘kejar pelangimu sampai ke ujung dunia nak macam paci ikal, jangan pernah menyerah’.

Perempuan Masa Lalu

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Seniman Kata Uniflor

Tidak ada lagi yang tersisa untuk kukenang dari sebuah pantai yang setia menunggu debur ombak, selain tentang seorang perempuan dengan tangisnya yang berderai sepanjang hari di awal pertemuan kami pada sebuah pantai. Terakhir kali dia mengirimkan pesan singkat untukku bahwa ia akan menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Aku jadi tahu bahwa menikah bukan untuk impiannya melainkan demi nama baik dan status keluarganya yang berdarah biru. Lama aku termenung menelaah isi terdalam dari pesan singkatnya. Ia sama sekali tak membahasakan tentang sedih atau rasa terlukanya menuruti keinginan ibunya. Benar juga menikah di saman ini bagi orang tua adalah melihat bibit, bebet dan bobot. Dan untuk ketiga pokok penting itu aku sama sekali tak masuk nominasi. Bosankah ia menjalani hubungan cinta denganku yang hanya cuma perhatian seadanya dan bait-bait puisi setiap hari-hari yang lalu? Cinta pada gilirannya adalah soal hidup, dan hidup bukanlah puisi melainkan realita. Dan ah aku kalah. Aku ingin menangis sejadi-jadinya tapi untuk apa juga menangisi sesuatu yang pada akhirnya tak dapat ku genggam untuk sebuah kesejatian paling hakiki dari diriku. Ku tak pedulikan lagi semua yang pernah terjalani. Ini bagian dari kekelaman perjalanan cinta. Ada yang bilang ketika kita mencinta maka kita harus siap untuk terluka. Dan itu menjadi semacam sebuah peneguhan untukku. Memang menyakitkan tapi aku percaya bahwa pasti ada bunga pujaan baru yang datang untuk disematkan pada perjalanan hari-hari yang akan datang. Semalam suntuk aku mengenangnya. Aku hanya bisa diam dengan lagu-lagu patah hati yang semakin melengkapi penderitaan dari sebuah duka perjalanan cinta. Semua kenangan tentangnya belum bisa ku hapuskan dengan cepat. Menjelang pagi aku cuma bisa terbengong depan meja belajarku dan sebuah puisi tentang kedukaannya ku tulis. Entahlah. Aku tak pernah tahu apakah keputusannya meninggalkanku adalah sebuah kedukaan. Aku tak peduli tetapi sedikit punya keyakinan bahwa ia juga pasti cuma bisa memejamkan mata tanpa pernah lelap tertidur. Sungguh tak tertidur. Dengan kopi kental yang mulai mengering di gelas dan asap rokok yang terus mengepul aku hanya bisa membahasakan sebuah ode untuknya. Inilah ode perempuan yang aku tulis untuknya;

ode untuk perempuan

untukmu
ingin ku rajutkan segenap malam
dari
tumpahnya harapan
yang ditelantarkan hujan

engkau bercerita padaku
tentang mimpimu yang sunyi
tentang impian berada di hutan
tentang impian berada di bukit
tentang impian berada di lautan
tapi itu hanya mimpimu yang sunyi

engkau bercerita padaku
tentang mimpimu yang gelisah
tentang impian melarikan diri
tentang impian bunuh diri
tentang impian mati yang tragis
tentang impianmu bebas dari kepasungan cinta
tapi itu hanya mimpimu yang sunyi

perempuan
oh perempuan
engkaukah yang merintangi cintamu
dengan ceracau bundamu untuk berbakti
lalu engkau terkapar dalam belenggu

perempuan
oh perempuan



Aku lalu tertidur berharap memimpikan kehadirannya dalam mimpiku pada malam yang hampir usai. Aku tak peduli, aku mau terus tidur sampai puas dan aku bangun. Aku berharap esok ketika aku bangun semua tentangnya telah dapat kulupakan.
Tepat pukul 9.30 pagi aku sadar dan rumah kontrakan terasa benar-benar sayu, sunyi. Hanya ada aku. Ray, Fandy, Oken, Luken dan Albert yang adalah kawan-kawan sekontrakan telah berangkat ke tempat kerja mereka masing-masing. Kami memang sahabat tak terpisahkan tapi soal perempuan, masing-masing kami tak mau terlalu mencampuri urusan seorang diantara kami. Aku bangun langsung menuju kamar mandi. Ada kesegaran yang menyusup setiap inci dari tubuhku saat ku sirami tubuhku. Usai mandi dan segelas mocca, sepotong roti menjadi sarapanku. Aku malas menjalani hariku. Ku putuskan tak masuk kerja. Reportase yang harus ku kerjakan untuk feature aku tangguhkan. Sehari-hari aku bekerja sebagai jurnalis freelance untuk berbagai koran dan mengajar sore pada sebuah sekolah menengah atas untuk bidang studi keterampilan menulis. Aku sebenarnya cuma mau mengisi hari-hari mudaku dengan mencoba segala jenis pekerjaan sampai aku menemukan yang cocok. Untuk saat ini aku menikmati pekerjaanku sebagai jurnalis freelance dan pengajar di sebuah sekolah menengah atas. Penghasilanku cukup untuk membiayai hari-hariku dan sedikit untuk deposito. Aku jengah, ternyata bayangannya masih terasa begitu dekat padaku. Aku benar-benar merindukannya tapi aku tak mau lagi untuk menghubunginya. Cinta memang tak berdaya didekapan warna-warni dan pilihan untuk hidup. Aku heran tapi harus mempercayai kenyataan bahwa masih ada orang tua yang harus ikut campur dalam menentukan pasangan hidup anaknya. Ataukan ia cuma berbohong karena telah menemukan lelaki lain yang lebih mampu memberikannya rasa sayang dan kenyamanan. Ah Lira kenapa kamu terasa begitu berarti saat tak lagi denganku. Aku jadi galau mereka-reka apa sebenarnya yang terjadi. Lira memang pernah mengungkapkan kekesalannya padaku tentang tuntutan orang tuanya agar mencari pendamping hidup yang sepadan dengan status sosial dan kedudukan keluarganya. Ia kadang-kadang mengeluh bosan berada dalam segala kemewahan rumahnya dan mau berada di hutan. Mau bunuh diri dan sebagainya. Aduh Lir, kamu punya segalanya, sedang aku cuma bisa memberikan kamu puisi. Itu saja. Kata-kata itu terucap saat Lira memintaku mengantarkannya ke rumah usai bekerja dari kantornya. Dan apa yang terjadi, ayahnya mengusirku secara halus. Hai anak muda, kamu punya nyali juga ya mau menikah dengan putriku? Terima kasih telah mengantar putriku, tapi semoga kamu cukup tahu diri. Aku tak bisa bilang apa-apa selain putar haluan dan hilang dengan kimco bututku. Aku ke pantai menikmati suasana pantai tempat aku bersama Lira biasa saling melepaskan segala kerinduan yang terbersit. Aku cuma bisa duduk diam memandang ombak pantai yang lembut mengecup bibir pantai. Aku jadi teringat Lira yang hanya bisa diam mendengar kata-kata ayahnya. Lira memang malas berdebat, apalagi dengan ayah dan ibunya. Dia pendengar yang baik dan seorang dengan kemampuan intelektual yang menjadi satu alasan mengapa aku benar-benar gila sama Lira. Rasanya aku bukan orang yang tepat Lir, demikian pesan singkat ku kirim untuknya. aku mengasihi Lira, tapi aku tak berdaya. Dia membalas pesan singkatku, maafkan aku Rein,tak dapat membelamu di depan ayah. Aku lalu membalasnya, tidak apa-apa Lir, kita mesti realistis. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa buat hidupmu. Lira langsung meneleponku dan dari handphoneku ku dengan Lira hanya bisa menangis. Tangisnya tumpah, ia menangis sejadi-jadinya dan hanya mampu bilang maafkan aku ya Rein.

###

Aku pergi dari kotanya. Tak ada yang dapat ku ucapkan lagi. Diam-diam aku pergi meninggalkan Lira. Aku tak mau ia tahu. Aku hanya ingin ia dapat dengan tenang dan pasti menerima lelaki pilihan ibunya. Aku kembali ke kotaku. Sahabat-sahabat yang sekontrakan denganku dengan semangat memotivasiku untuk tidak larut dalam kekalahan pesiarahan cinta. Aku menggantikan nomor handphoneku, semuanya sengaja aku lakukan agar Lira tak lagi menghubungiku. Tapi aku yang jadi dilema, jangan-jangan aku malah yang nanti menghubunginya. Ah, tak peduli. Aku kembali ke kotaku. Dua tahun berjalan dan aku mulai dapat menerima kehilangan Lira dalam bingkai kenangan perjalanan cintaku. Lira memang telah menjadi perempuan masa lalu yang mengajarkan aku untuk secara ikhlas merelakannya dicintai oleh lelaki pilihan ibunya. Saat bayangan Lira mulai hilang, kemarin malam Albert meneleponku memberitahukan tentang pernikahan Lira yang akan berlangsung bulan depan. Dan melalui Albert, Lira memintaku untuk mengahadiri resepsi pernikahannya. Aku tertawa dan bilang mudah-mudahan bro. Entah mengapa tiba-tiba segala kenangan tentang Lira pada masa yang lalu terasa begitu dekat denganku. Aku benar-benar merindukannya. Dengan sisa keberanian dan rasa rindu yang memblingsatnya aku menelepon Lira. Dari seberang terdengar suara lembutnya. Hallo, hallo selamat malam ini dengan siapa ya? Lir, ini aku. Rein, Rein kamu dimana sayang? Lira lalu menangis dan terus menangis. Rein sayang......Lira terus menangis dan diakhir tangisannya Lira memintaku untuk segera datang ke kotanya. Untuk terakhir kalinya aku mohon Rein, tolong ya temui aku di tempat biasa, pada pantai di kotaku dulu kita mengarungi kebersamaan.

Bulan di atas kota dan selembar potretnya masih ku simpan. Aku lelaki kini datang ke kota mantan kekasihku untuk memenuhi permintaan terakhirnya. Lama aku menikmati kesendirian di pantai menunggu datangnya Lira. Dan aku terpana ketika Lira datang menemuiku di kedai dekat pantai tempat dulu kami menjalin cerita cinta kami. Lir, kamu semakin cantik, tubuhnya yang semampai dengan kulit hitam manis. Ia kelihatan cerah. Kamu juga Rein, dari dulu aku selalu menyukaimu bahkan sampai saat ini. Ah apa-apaan lagi Lir, sebentar lagi kamu menikah dan aku harus kembali ke kotaku. Rein, jangan pernah berpikir bahwa aku bahagia. Aku bahagia saat ini karena aku menemui kamu lagi Rein. Memang selanjutnya kita tak lagi bersama, tapi aku mohon Rein dengarkan curhatku. Setelah semua kebahagiaan denganmu Rein, aku berat menerima kenyataan bahwa aku harus menjadi istri dari lelaki pilihan ibuku. Aku menjadi istrinya yang tak ku cintai setengah mati seperti aku mencintaimu Rein. Kita pernah punya mimpi yang sama tentang rumah impian dan anak-anak kesayangan kita. Tapi aku tak kuasa lari semua kenyataan ini Rein. Kebahagiaanku denganmu tak akan pernah bisa dibayar dengan bergelimangnya harta, rasa sayang untukmu tetap ada Rein, sampai aku mati sekalipun. Aku merasakan dadaku berdesir, ingin ku ringkus tubuh ayunya dalam pelukanku, tapi aku tak mampu. Aku kagum akan kebersehajaannya. Ia telah belajar banyak untuk menerima semuanya dengan realistis termasuk mengorbankan cinta sejatinya. Seperti dulu, aku kembali menanamkan makna kebersehajaan kepada Lira. Hidup ini seperti aliran air Lir. Apapun yang terjadi aku mau kamu menjalaninya dengan tegar. Kita tak pernah tahu aral apa yang bakal menghadang di depan kita. Yang pasti hidup akan terus mengalir, terus berlanjut, entah sampai kapan Lir. Dari matanya yang indah aku melihat ada yang meleleh dari kelopaknya. Lira menangis. Ku beranikan diri menyeka air matanya dan aku berdesis dalam diamku, Tuhan, wanita ini terlalu sempurna untukku. Malam semakin malam dan Lira mengajakku menyusuri pantai. Ku tolak tawarannya. Dengan rendah hati aku meminta ia segera pulang. Aku antar dia menaiki mobilnya. Sebelum naik ia memelukku erat-erat. Mengingatkanku bahwa ia akan selalu menghubungiku. Dengan gagu aku berkata, terima kasih Lir, masih menyisakanku kenangan. Dengan lancang aku mengecup keningnya. Lira berlalu, dan bulan di atas kota semakin benderangya, selembar fotonya ku lihat lagi. Aku membathin dan pergi juga dari pantai di kotanya. Ah perempuan masa lalu, ku doakan dengan tulus semoga hidupnya bahagia sampai akhir hayat. Aku memang tak perlu lagi datang ke pesta pernikahannya. Aku pulang dan segera aku menelepon perempuan impianku, kekasih baruku. Hallo Oping sayang, dan ia menjawab mesra, segera pulang sayang, aku rindu. Ah hidup di dunia fana kadang-kadang buatku ingin hidup lebih lama dan kadang-kadang ingin segera mati.

(Ende, Malam Minggu, 10 April 2010, didedikasikan untuk kawan-kawan kelas H dan I Jurusan Sastra Indonesia, persahabatan kita bagai kepompong)

Ayah dan Perempuan Pilihan

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Seniman Kata Uniflor Ende

Cahaya matahari yang menyorot pagi di Hokeng bukan hanya melahirkan harap, tetapi juga rasa takjub. Pagi hari ketika angin musim bulan April menyusup tubuh, cahaya matahari begitu menggairahkan. Pagi yang baru itu menjadi suatu konsep yang baru bagi orang-orang Hokeng. Entahlah, konsep apa, tapi menurut penuturan Ayah, orang-orang Hokeng itu sudah maju no, begitu kata ayah membanggakan Hokeng. Aku sendiri heran kok bisa-bisanya ayah omong konsep. Tapi ayah memang selalu demikian, ia cukup banyak membaca buku-buku bacaan dan Pos Kupang menjadi santapannya setiap siang usai santap kemudian terlelap. Jadi saya pikir ayah memang lumayan oke perbendaharaan kata-katanya kalau ngomong. Biar kamu sekolah no, tapi sabar dulu kalau soal pemahaman, begitu ayah kadang membanggakan dirinya. Kami anak-anaknya yang berlibur menyongsong Hari Raya Paskah cuma tertawa lepas dan ikut memuji ayah dalam hati kami. Pagi yang cerah saat santai dengan gelas-gelas kopi Hokeng yang kental dan asap rokok Surya yang mengawang di teras belakang, ayah membuka percakapan. Bagaimana putra-putra kesayanganku ada yang sudah punya perempuan buat dibanggakan pada ayah? Kakak yang nomor tiga bilang, bos saya punya perawat, saat ini lagi kuliah di Yogya, adik bungsuku bilang beta pung anak Bajawa bos, kuliah Bimbingan Konseling di Kupang. Dan saya sendiri bilang saya juga sudah punya bos, orang Maumere, kuliah Managemen Informatika di Bali. Yakin bahwa itu tetap menjadi milik kamu atau hanya untuk menjalani saja ketika bosan dan cari baru lagi. Yang paling bungsu bilang untuk saat ini masih aman bos. Oh jadi kalau masih aman dijalani kalau tidak aman lagi diputusin, begitu? Ah bukan begitu bos. Hei no jangan main-main dengan anak orang. Kalau mau cari perempuan harus seperti ayah dan abangmu yang nomor satu dan dua itu. Lihatkan ibu kamu, kakak ipar kamu dari abang-abangmu. Cari perempuan itu harus begitu no. Jangan hanya tampilan fisiknya yang oke terus isi kepala dan hatinya kosong melompom, kamu mau konsep apa nanti untuk kemajuan dan kebahagiaan keluarga kamu. Wouw dari tadi kayaknya konsep melulu ya bos sergapku. Iya konsep itu penting no. Orang-orang Hokeng sekarang itu sudah pintar-pintar meskipun tidak sekolah tapi karena anak-anak mereka sekolah jadi mereka juga ikut pintar. Seperti ayah tidak sekolah tapi punya tekad yang kuat untuk menyekolahkan kamu. Kami tersenyum-senyum mendengar omongan ayah. Saya orang yang termasuk paling malas membantah omongan ayah. Mengapa? Karena kalau bertentangan maka kata kuncinya satu saja, konsep macam apa itu. Bodoh sekali. Kata bodoh sekali telah membuat saya malas berdebat dengan ayah, tapi diam-diam saya mengagumi ayah. Seorang tukang batu dan petani yang gemar membaca di setiap waktu luangnya. Sekarang ayah tidak lagi bekerja. Ia mengisi hari-hari hidup diusia tuanya dengan membaca. Hebatnya ayah, matanya masih sangat jeli membaca tanpa kaca mata. Orang-orang di sekitar rumah bilang, ayah kamu kalau dulu sekolah pasti kepala sekolah ya? Adik yang bungsu langsung sambar bukan kepala sekolah tetapi kepala dinas. Dan orang-orang di sekitar rumah mengangguk-angguk setuju. Huh dasar ayah. Sekarang kamu bertiga jelaskan pada ayah tentang perempuan pilihan kamu pada ayah. Mungkin ayah punya konsep untuk mematangkan hubungan kamu dengan perempuan-perempuan kamu. Wuih ayah ni macam psikolog saja le, mau saingan dengan maitua saya kok, lagi-lagi si bungsu menanggapi ayah. Oh bukan mau saingan no tapi soal pengalaman. Ayah punya pengalaman. Yang bungsu menimpali lagi, saya juga sudah makan garam bos untuk urusan perempuan. Hehe anak bungsu makan garam? No masih makan garam, baru makan garam juga gara-gara e. Kalau no makan garam, ayah lebih no, karena no baru makan garam tapi ayah sudah minum air laut. Ayo yang lebih hebat mana? Makan garam atau minum air laut. Wouw dahsyat, kakak yang nomor tiga bilang macam hebat-hebat saja e bos ni. Bukan hebat no, tapi berdasarkan kenyataan. Ayah tidak mau kamu hanya senang-senang dengan perempuan. Perempuan pilihan kamu itu harus menjadi idola kamu sepanjang hidup. Memang ada hambatan dalam membangun keluarga, tapi itu patut dilihat sebagai semacam tikungan tajam untuk kembali menemukan jalan lurus. Saya cuma bisa merenungi kata-kata ayah. Punya kekuatan magis dibalik ayah mengungkapkannya. Perlahan, pelan-pelan dan penuh kewibawaan. Sosok ayah sejati. Dan kami terbuai mendengar petuah ayah sambil dengan santai menikmati kopi kental dan rokok surya yang asapnya mengepul membumbung di langit-langit teras rumah. No perempuan itu gampang tapi cinta itu tidak gampang. Kamu boleh hari ini mendapatkan perempuan terus esok mau dapat lagi juga bisa tapi soal mencinta itu bukan main-main. Tidak gampang. perempuan itu sosok kehidupan yang terlahir dari firdaus, kamu haus belajar mencintainya dengan cinta sekuat maut. Sekuat maut no, ingat itu. Bagaimana dengan perempuan kamu yang di Bali itu? Saya kaget kok ayah bertanya pada saya duluan. Kamu itu paling santai. Tipe pengkhayal, suka puisi, buku-buku harian kamu di lemari sana itu penuh puisi. Jadi jangan hanya jago buat puisi tapi bagaimana punya konsep untuk paling kurang jadi sastrawan Hokeng juga sudah mendingan buat mendidik anak-anak Hokeng. Ah jadi ayah menghina saya? Tanya saya dengan serunya. Bukan menghina no, tapi test mentalmu. Orang sastra itu perasa. Pantas, nadamu langsung meninggi. Tidak terima omongan ayah? Tanya ayah padaku. Bukan begitu bos, tapi saya juga punya idealisme untuk hidup saya dan masa depan saya. Jadi ketika ayah bilang hanya jago tulis puisi jelas saya tidak terima bos. Puisi itu tidak datang dari khayalan kosong dan tak sekedar hambur-hambur kata bos. Datang dari permenungan yang mendalam. Jadi hati-hati kalau omong. Minta maaf putraku, balas ayah, tapi jujur ayah suka baca puisi-puisimu pada buku harian itu. Mendalam sekali. Coba tanyakan pada ibumu, karena ibu selalu berurai air mata ketika membaca puisi-puisimu. Entahlah ibu cukup mengerti atau tidak. Ibu yang lagi asyik bermain dengan cucunya dari abang nomor duaku langsung meladeni, huh dasar sok pintar. Ayah tertawa dan sorot matanya meminta penjelasan lebih lanjut dariku. No, begena? Saya merasa sapaan ayah yang barusan benar-benar menyentuh, dari tadi ayah selalu dengan omongannya yang bahasa Indonesia lengkap dan tiba-tiba ketika ia menyapa, no begena, saya merasakan aura kehangatan yang terpancar dari omongan dan tatapan mata ayah. Saya menatap ayah lalu abang saya yang nomor tiga dan bungsu. Mereka memperhatikan dengan diam. Memberikan waktu pada saya untuk menceritakan pada mereka tentang perempuan saya. Belum memulai cerita, ibu langsung sambar dari ruang tamu, kamu sama ayah kamu urus perempuan terus e no. Yang paling penting itu sekolah no. Sekolah dulu. Masih sekolah sudah pikir perempuan nanti setelah nikah mau makan apa? Makan perempuan? Cerocos ibu dengan suara lembut. Ibu memang tak selalu mengeluarkan suara yang keras apalagi sampai marah-marah. Dan itu membuat kekagumanku pada ibu bertambah. Setelah itu ibu diam. Ibu memang tak mau mengusik ayah dan kami bertiga lagi setelah memotong pembicaraan ayah tadi. Cerita sudah no, kata ayah. Saya punya perempuan bos, hitam manis, hidung mancung, hatinya manis sekali, cantik, pintar masak dan kemampuan Inggrisnya telak bos, begitu kata-kata saya pada ayah, abang nomor tiga dan si bungsu. Saya kemudian melanjutkan, bagi saya dia perempuan terakhir tempat saya melabuhkan semua harapan cinta saya. Kami telah sangat mengenal dengan sebegitu mendalamnya. Cinta kami ibarat dua kekuatan alam, matahari dan ombak. Punya kesetiaan menerangi pendarnya cinta dan kesetiaan mendebur. Jadi kami punya komitmen untuk saling setia. Seperti kesetiaan ombak datang mengecup bibir pantai dan cahaya matahari yang datang setiap pagi. Kami menyadari bahwa pasti ada kegelapan tapi serentak kami percaya bahwa kegelapan akan melahirkan matahari. Matahari yang datang setiap pagi untuk membuat gulungan ombak menjadi kemilau dan cahayanya yang menjuntai ke pantai mengajak ombak untuk selalu datang mengecup cahaya itu. Demikian bos, kata saya pada ayah dan kedua saudara saya. Wouw puitis sekali e no, kata si bungsu. Oh jelas bro. Ayah tersenyum dan bilang hebat juga gambaranmu tentang perempuan pilihan dan cintamu. Lanjutkan no, tapi ingat sekolah dulu ya. Bagaimana dengan kamu berdua? Tanya ayah pada kakak nomor tiga dan si bungsu. Yang nomor tiga bilang kami menjalani seperti air yang mengalir bos. Si bungsu menimpali kalau saya karena perempuan saya kuliahnya bimbingan konseling jadi kami menjalani dengan menggunakan prinsip healing comunication consely. Apa lagi itu no, tanya ayah. Begini arti singkatnya bos, kalau ada masalah atau problem kami menyelesaikannya dengan saling mengkomunikasikan segala permasalahan yang terjadi diantara kami. Hebat putra-putraku, ayah langsung menyambar penjelasan si bungsu. Ayah bangga pada kalian tetapi ingat muka ayah dan ibu harus tetap dijaga. Mengerti maksud ayah? Kami mengerti tapi diam. Dan ayah melanjutkan, kamu harus punya pekerjaan, baru boleh membawa perempuan-perempuan pilihan kamu ke hadapan ayah dan ibu. Satu lagi menikahlah dengan mulia. Jangan karena kecelakaan. Jadi ingat putra-putraku, tahan diri. Kami tertawa mendengar kata-kata ayah dan serempak bilang, itu konsepnya ya bos? Ini konsep dan harus dijalankan, tegas ayah mengakhiri perbincangan saat matahari pagi menyorot Hokeng yang melahirkan rasa takjub dan juga harap.

No: sapaan kesayangan untuk anak laki-laki
Begena: Bagaimana

(April 2010, didedikasikan kepada Anak-anak Hokeng yang jenuh menunggu pujaan hati)

Membangun Cara Pandang Kosmopilitan Kebudayaan Kita


Oleh Hengky Ola Sura
Bergiat pada Komunitas Baca dan Sastra Lamalera

Seni yang tumbuh dan berkembang dalam ke-Indonesiaan yang pluralis patut diterima sebagai bagian revelasi dari dunia pengalaman. Ia mengacu kepada representasi visual yang mewujudkan diri dalam sruktur yang terbatas. Maksud dari struktur yang terbatas adalah bahwa seni dan budaya itu masih berkutat atau berkembang tapi masih dalam konteks lokal tertentu atau belum mendapat ruangnya dalam ke-Indonesiaan kita. Melalui struktur yang terbatas inilah bagaimana seni dan budaya itu perlu mendapat ruangnya dalam tataran ke-Indonesiaan sebagai sesuatu yang berharga bagi keberagaman budaya. Keberagaman budaya pertama dan terutama patut dilihat sebagai bagian integral yang memiliki dimensi sosial. Artinya kebudayaan mempengaruhi masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut. Selanjutnya masyarakat secara jeli menghidupi kebudayaan itu dalam tataran hidupnya. Tataran hidup masyarakat inilah yang dalam prakteknya mempengaruhi selera dan cita rasa. Selera dan cita rasa tidak berarti merujuk pada tenggelam dalam budaya kebarat-baratan atau serba instant tetapi bagaimana selera dan cita rasa itu difokuskan untuk peningkatan dan perhatian secara serius untuk melihat kebudayaan kita yang pluralis sebagai masukan teramat berharga untuk tetap mempertahankannya. Soal selera dan cita rasa adalah sesutau yang sangat subyektif, artinya setiap orang punya selera dan cita rasa yang berbeda-beda. Selera adalah hal yang tidak bisa diperdebatkan, tetapi ketika memasuki ranah kebudayaan, terlebih berkenaan dengan kebudayaan dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis maka kita perlu melihat secara keseluruhan bahwa selera dan cita rasa itu perlu diasah untuk melihat nilai estetika yang termaktub dalam kebudayaan itu. Yang perlu dibangun adalah pemahaman yang kritis bahwa dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis kebudayaan itu memiliki nilai-nilai luhur yang membuat kita menjadi lebih beradab. Mengapa demikian? Karena dengan demikian ke-Indonesiaan kita akan tetap eksis dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pemahaman kritis mengenai cara pandang kosmopolitan ke-Indonesiaan kita adalah bahwa bagaimanakah upaya mengelola kebhinekaan kita. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan penduduk yang polah pikirnya juga berbeda tentu mempengaruhi aspek yang mencolok yakni kebudayaan. Dengan demikian perlu adanya kemampuan untuk mengelola kebhinekaan itu. Mengelola kebhinekaan adalah hal yang urgen dan signifikan karena ke-Indonesiaan kita yang plural menuntut stabilitas. Kita ketahui bahwa dalam ke-Indonesiaan kita yang pluralis selalu rawan konflik. Konflik etnis dan kebudayaan adalah hal yang cukup mencolok terjadi di tanah air ini.
Dengan demikian perlu tinjauan kritis untuk mengelola kebudayaan. Kebudayaan perlu dikelola karena yang menghidupi kebudayaan adalah kita sendiri yang mengaku sebagai orang Indonesia. Ke-Indonesiaan kita yang pluralis tentu semakin mantap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegaranya karena manusia-manusia Indonesia telah dan sedang belajar untuk menghargai kebudayaannya sebagai sesuatu yang menjadi idensitas kebangsaannya. Dunia kita sekarang dicirikan sebagai keterhubungan berskala global (global interconnectedness). Dalam keadaan yang demikian itu, Indonesia sebenarnya sedang berusaha merumuskan identitas dirinya. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat dimana masih terdapat iklim neo-feodalisme kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Seni dan kebudayaan yang satu mengklaim dirinya paling tepat untuk dijalankan dan dilihat sebagai yang paling baik.
Ke-indonesiaan kita sebagai bagian dari jagat global memiliki kebudayaan lokal sendiri yang tidak semestinya lenyap pada dominasi budaya tertentu di dalam ke-Indonesiaan kita yang pada gilirannya juga lenyap pada dominasi budaya global. Hal ini sebenarnya terjadi karena pemaksaan atau lebih tepatnya dominasi kebudayaan tertentu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang menuntut penyeragaman budaya.
Patut diingat bahwa berkenaan dengan unsur-unsur budaya yang secara khusus menitikberatkan perhatian pada nilai-nilai yang merupakan gambaran dari apa yang diiginkan, yang pantas, dan yang berharga serta mempengaruhi tingkah laku seseorang belum tentu sesuai dengan selera dan cita rasa kelompok kebudayaan lainnya. Nilai-nilai itu tidak selalu seragam di dalam suatu kebudayaan. Dalam suatu lingkungan budaya tertentu, tidak semua nilai budaya dihayati secara sama oleh setiap orang. Selain tendensi global, situasi negara dan bangsa kita pun mengharuskan kita untuk berbicara tentang kebudayaan. Berbicara tentang kebudayaan berarti bersentuhan langsung dengan seni, sebab dalam kebudayaan terkandung unsur seni. Sudah sejak sebelum kemerdekaan, pada tahun tiga puluhan, terjadi polemik yang hangat dan penuh makna, yakni polemik kebudayaan, dengan tokoh utamanya St. Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Persoalan yang muncul waktu itu dan yang masih mempunyai gema sampai saat ini ialah ke mana kebudayaan nasional kita mesti berorientasi. Hal ini terjadi sebagai akibat ingin menyeragamkan soal selera dan cita rasa mengenai seni dan kebudayaan. Tak dapat disangkal bahwa ke-Indonesiaan kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki kekhasan seni dan kebudayaan yang beraneka ragam. Keberagaman menunjukkan secara amat jelas bahwa seni dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat kita sesungguhnya adalah sebuah nilai tambah bagi keberlangsungan ke-Indonesiaan kita. Mengapa demikian, karena di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika keberagaman itu sebenarnya adalah sebuah kekayaan yang sungguh-sungguh menjadi kebanggaan kita. Kita mungkin tidak pernah menyangka bahwa generasi 1928 telah dengan sangat kreatifnya membangun sikap nasionalisme dan kebangsaan yang plural bernama Indonesia. Kekayaan seni dan kebudayaan kita adalah praksis nyata ke-Indonesiaan kita yang plural. Dari rentang waktu setengah abad lebih sejak merdeka secara politis , pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ke-Indonesiaan melulu politis belaka ternyata memecah dan meretakkan ke-Indonesiaan itu. Tafsiran politis di mana kekuasaan atau otoritas kuasa baik atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia; pemerintah pusat; ke-ika-an ternyata memperlakukan keragaman (kebhinekaan): daerah, lokalitas dan populis atau rakyat sebagai antagonisme yang subordinatif (yang harus patuh, bergantung dan diperintah, diseragamkan oleh pusat (Sutrisno, 2004). Dalam sosok seni dan kebudayaan menurut Umar Kayam seperti yang dikutip oleh Sutrisno dalam Hermeneutika Pascakolonial mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia harus berproses menanggapi panggilan-panggilan sejarahnya secara dialektis dari sosok budaya feodalistik, aristokratik menuju ke sosok budaya Indonesia yang maju, beradab, demokratis, terbuka, saling menghormati keragamaan. Inilah jalan transformasi budaya. Inilah cara pandang kosmopolitan yang harus dibangun dan diberdayakan. Dengan demikian seni dan pluralime budaya dalam ke-Indonesiaaan kita akan membuat semua merasa berumah. Merasa menjadi orang Indonesia. Kebhinekaan kita bukanlah sumber disintegrasi melainkan sebuah keterberian yang sesungguhnya merupakan kristalisasi dari isi hati para pendiri bangsa ini, yang telah secara jujur dan berani mengakui bahwa bangsa ini memang berbeda dalam banyak hal. Demikianlah bangsa ini telah dikandung dalam dan lahir dari rahim sebuah kebhinekaan yang kental. Patut diakui bahwa mengelola dan mengatur sebuah bangsa yang sangat plural dengan seni dan kebudayaan seperti Indonesia menjadi sebuah negara yang integral memang tidak semudah membalikan telapak tangan, tetapi juga tidak sesulit seperti yang dibayangkan. Untuk itu cara pandang kosmopolitan yang perlu juga dibangun agar semua merasa berumah adalah perlu rendah hati guna belajar mengintegrasikan diri secara lebih sehat dan dewasa. Persatuan yang diidamkan di sini bukanlah persatuan semu hasil teror dan indoktrinasi sebuah rezim, tetapi persatuan yang sungguh dikehendaki secara bebas oleh semua unsur yang plural yang ada dalam ke-Indonesiaan kita. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran untuk melihat semua perbedaan yang ada secara objektif, secara dewasa dan arif. Penting diingat, realitas ke-Indonesiaan kita yang plural ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab semua warga negara. Pemerintah yang arif akan melihat seni dan pluralisme budaya dan mengelolanya secara arif pula. Tidak gegabah tetapi juga tidak ekstra hati-hati dalam mengambil sikap. Inilah cara pandang kosmopolitan yang semestinya menjiwai seluruh perjalanan kehidupan ke-Indonesiaan yang plural. Cara pandang kosmopolitan seni dan pluralisme budaya di Indonesia serta apresiasi ruang di mana semua merasa berumah adalah usaha merajut kisah bersama sebagai bangsa. Usaha tersebut adalah ikthiar abadi. Perubahan paradigma budaya senantiasa terjadi seiring dengan perjalanan waktu. Karena itu setiap generasi harus merajut kisahnya sendiri yang mempersatukan generasi itu dan menjadi titik acuan untuk identifikasi diri setiap anggota masyarakatnya. Seni dan kebudayaan kita yang plural seharusnya mengajarkan kita untuk tidak tenggelam dalam dua sikap ekstrem yang sering terjadi dan harus dihindari. Pertama, pemerintah dan kita semua sebagai warga negara tidak perlu berusaha melebur semua perbedaan yang ada menjadi seragam sehingga akhirnya tidak ada perbedaan lagi. Hal ini sangat riskan, baik pemerintah sendiri maupun warga negara. Kedua pemerintah dituntut untuk tidak bisa bersikap acuh tak acuh terhadap semua perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada sebenarnya juga melahirkan kekayaan karena kita banyak.

Bening cinta di Magepanda

Oleh Hengky Ola Sura

Kali di bibir manis dan dadamu
Penawar musim rontok yang minta warna
(Hati remuk antara lebur sayang dan cinta)

Tak ada padang sedalam pelukmu
Tapi kau tahu pohon-pohon di tepi jalan raya,
Tempat berteduh kabut di senja masa

Akan menggoda rindu keluar malam
Mencium gelap di relung bayang mata
Kekasih pujaan dan matahari yang baru

Paculah gelap paculah rasa hampa
Antara pamit dan musim jadi
Kita hanya anak-anak yang percaya kekuatan cinta
Oh kekasih, oh tanah tercinta
Akan ku tulis malam berkepanjangan
Di jari perempuan kesayangan
Matahari yang baru

Salju putih membentang di samar ranjang
Di biru laut matanya hari sepi berlalu

Benih cinta telah tertanam di daramu
Kami telah saling mencinta
Menatap sunyi matahari di bening senja

Inikah akhir perjalanan
Sampai murai-murai pulang di pagi tua
Mimpi terakhir pujaan hati

Aku Panggil Namanya Matahari

Oleh Hengky Ola Sura
Kru Seniman Kata Uniflor


Desau angin parau pada pucuk-pucuk bakau. Sejuk dan hening. Suasana Pantai Ria lengang. Yang terdengar cuma pecahan ombak yang setia datang megecup cahaya matahari pada garis pantai. Entahlah ombak tak hanya cukup merasa bahwa pada biru warnanya yang jadi kemilau sebenarnya diciptakan oleh cahaya matahari yang menjulai, maka ombak harus mendebur dan terus mendebur merapat memeluk cahaya itu. Matahari dan ombak dua kekuatan alam itu seakan memadu kasih dalam diam-diam dahsatnya cahaya dan debur mereka. Pantai Ria masih lengang. Dua anak manusia yang terjerat dalam jaring cintapun cuma bisa saling menatap debur ombak yang entah kapan berhenti datang mengecup cahaya matahari pada bibir pantai. Desau angin masih parau dan dua anak manusia itu, yang lelaki menggenggam jemari tangan sang perempuannya. Belum ada yang bicara hanya suara-suara alam terasa memerdekakan suasana hati kedua insan pesiarah jalan cinta itu. Cinta memang tak butuh omong banyak cukup diam dan merasakan suara-suara dan aura alam di sekitarnya. Cinta punya kedahsyatannya sendiri seperti dua kekuatan alam matahari dan ombak. Lama terdiam sang lelaki akhirnya membuka percakapan. Tari, aku ingin memanggilmu dengan nama baru, nama ini kita baptis bersama dan aku berharap kamu menyetujuinya. Aku ingin memanggilmu dengan nama baru, yakni Matahari. Sang perempuan yang bernama Tari itu pun menyela, kenapa bukan kamu yang matahari? Lelaki itu menjawab aku ingin menjadi ombak. Bisa kamu katakan alasan mengapa aku yang matahari dan kamu ombak sayang? Lelaki itu lama termenung menatap ombak yang mendebur merapat ke garis pantai. Tari jujur saja sejak pertama melihatmu dalam diam-diamku aku selalu berharap memilikimu. Aku memujamu dalam diam-diamku. Sayang aku tak berani saat itu, aku takut kalah bersaing dengan banyaknya kawan-kawanku yang selalu secara lugas dan terbuka mengagumimu. Dan semuanya seolah berlomba untuk meraihmu menjadi milik mereka. Aku hanya orang biasa-biasa dengan mimpi untuk selalu memujamu dalam diam-diamku. Aku tak mau kawan-kawanku tahu kalau aku juga turut mengagumimu dan berharap memilikimu dalam omong-omong lepas kami setiap menatapmu. Tapi sekarangkan kamu telah menjadi milikku sayang. Benar Tari bahwa aku milikmu, oleh karena itu aku ingin memanggilmu Matahari. Tari mengapa kamu yang aku sapa Matahari? Jawabannya adalah karena setiap menatapmu adalah keberanian ombak menantang matahari, aku tahu dan cukup sadar, sesadar-sadarnya Tari bahwa jangan sampai terlalu menatap dan matamu itu tiba-tiba bersarang topan dan jadi semacam amukkan yang melemaskanku dan suaramu yang menawan saat kau bicara jadi gelegar yang menyumpal nafas dan ragaku. Aku takut itu sayang. Engkau perempuan luar biasa dan terlalu suci untuk dicintai lelaki seperti aku. Aku, hari ini ku baptis namaku jadi Ombak, panggil aku Ombak ya sayang, dan engkau akan ku panggil mesra Matahari dalam setiap hari-hariku. Lalu kenapa dengan ombak sayang? Tanya Tari sang perempuan yang namanya kini dipanggil Matahari. Sayang kamu tahukan aku laki-laki biasa dan dalam diam-diamku aku telah berhasil mencuri hatimu untuk ku sematkan dalam perjalanan hari hidupku. Aku hanya punya keberanian dalam tatapan yang curi-curi dan ku bahasakan dalam buku harianku tentang betapa aku memujamu. Aku bukan hanya pemenang yang telah berhasil mendekapmu terus mencampakan karena telah memenangkan pertarungan tetapi aku mau tetap menjadi seperti ombak yang punya kesetiaan mendebur untuk terus membahasakannya dalam amuk gelora rindu siang dan malam menjagamu. Apakah tidak terlalu berlebihan sayang? Apanya yang berlebihan Matahari? Aku percaya bahwa engkau perempuan dan punya cahaya yang merona terbitkan rindu padaku untuk terus mendebur dalam birunya rindu seumpama biru ombak samudera. Aku mau kamu yang jadi matahari agar setiap pagi yang datang kita ciptakan pelangi yang menjulai penuh warna. Lambang kepercayaan kita akan kesetiaan antara matahari dan ombak. Matahari yang ciptakan cahaya dan ombak yang ciptakan debur. Ketika cahaya dan debur itu menyatu terjadilah hamparan peluang sekaligus harapan untuk terus merasakan cinta yang kita ciptakan. Cinta itu cahaya. Cinta itu deburan. Cahaya dan deburan itulah aku dan engkau.
Suasana Pantai Ria masih lengang. Dua anak manusia itu kini saling menyapa matahari dan ombak. Angin yang berdesau parau pada pucuk-pucuk bakau telah turut menyatukan dua hati insan pesiarah cinta itu untuk memaknai dua kekuatan alam yang cipta cahaya dan debur. Nama mereka kini matahari dan ombak. Matahari kini dalam pelukan sayang Ombak. Lama mereka diam. Mereka menyulam lidah. Merasakan dalamnya rasa yang bergetar pada dada. Sayang janji ya untuk tidak tinggalakan matahari. Lelaki yang bernama Ombak itu semakin erat memeluk Mataharinya. Sayang tahukah engkau bahwa disetiap gelegar deru deburku aku memburu pantai untuk mengecup garis pantai hanya untuk merasakan hangatnya cahayamu. Aku merasa tidak cukup dengan selimut yang kau ciptakan padaku untuk buatku jadi kemilau. Aku mau terus mendebur ke pantai mewartakan pada dinding-dinding gua dan batu parak pantai bahwa inilah madahku berirama serempak. Inilah aku ombak, yang mau menunjukkan pada semua yang pernah mencoba memisahkan cadar rindu kita. Semua yang pernah membuat kita menangis dalam gelisah dan cercah yang senewen. Sayang sejak hari ini bila kita saling merindu perkenankanlah kita datang ke pantai ini. Iya ombakku sayang, aku suka tempat ini. Di sini kita melepas canda pada celah desau paraunya angin pada pucuk-pucuk bakau. Kita heningkan diri kita sendiri, merasakan dua kekuatan alam seumpama dua hati kita yang menyatu dalam satu kata sakti yakni cinta.
Pantai Ria semakin lengang saat senja turun. Matahari masih tersandar mesra dalam pelukkan kekasihnya Ombak. Sayang aku mau tetap di sini. Aku mau terus menatap debur dan birunya ombak samudera itu. Kita harus pulang sayang. Senja mengajak kita untuk sejenak berbenah. Kita harus pergi dari pantai ini tetapi hati matahari dan ombak tetap satu. Setia dalam cahaya dan debur. Mari kita pulang sayang. Engkau kejaiban terberi dan sejak hari ini engkau aku panggil Matahari. Malam hampir turun sayang masih ada esok buat kita datang ke pantai. Kita hanya punya cahaya dan deburan untuk terus percaya bahwa pasti ada malam-malam panjang tanpa cahaya, tanpa debur yang yang riang. Pasti ada yang terus menista cinta kita karena aku punya keberanian untuk menantang matahari. Aku memang hanya Ombak tetapi aku punya hati, aku punya deburan, aku punya kemilau tidak untuk siapa-siapa tapi untuk matahariku. Ruang di hati ini telah aku sucikan untuk cahayamu. Engkau matahari selalu berkelebat dalam ruang hatiku. Sayang sejak hari ini engkau ku panggil Matahariku. (Ende 3 Maret 2010, for Matahari, mat ultah, smoga panjang umur)

Sawu yang menggetarkan

Oleh Hengky Ola Sura
Kontributor


Rabu,29 Oktober 2008, waktu pada handphone nokia saya menunjukan tepat pukul 04.30 sore. Rombongan mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor tiba di desa Sawu, kecamatan Mauponggo. Letak desa Sawu kurang lebih setengah kilometer dari jalan utama menuju ibu kota kecamatan Mauponggo. Letaknya persis di sebelah timur dengan medan tempuh yang cukup berat karena kondisi jalan yang lumayan tragis karena banyaknya lubang – lubang pada badan jalan. Perjalanan yang melelahkan dan wajah – wajah mahasiswa terlihat kusut masai. Berhenti di ujung kampung kami lalu diarahkan agar berbaris rapih menuju tenda utama yang letaknya persis di tengah kampung Sawu. Tepat di depan tenda utama kami disapa dengan sapaan adat oleh tetua adat dengan didampingi oleh kepala desa serta tua – tua adat kampung. Beberapa kali saya terpaksa keluar dari barisan untuk mengambil gambar dengan kamera digital sehingga tidak mendengar maksud sapaan adat tersebut. Menurut nona Yanti mahasiswa semester tujuh yang berasal dari Sawu mengatakan maksud dari sapaan adat adalah rombongan mahasiswa diterima masuk ke dalam keluarga besar desa Sawu. Setelah berada dalam tenda utama dilanjutkan dengan pembagian mahasiswa ke rumah – rumah penginapan. Jumlah mahasiswa yang mencapai 600-san orang ternyata melelahkan dan hampir dua jam lebih pembacaan nama para mahasiswa dan rumah dari orang tua yang bakal di tempatinya selama tiga hari berada di Sawu. Mahasiswa akan menempati dua dusun yang berada di desa Sawu, yakni dusun Sawu dan dan dusun Ledho. Wilfridus Ndona kepala desa Sawu saat pembagian para mahasiswa ke rumah penginapan mengatakan, kita semua telah menjadi keluarga besar oleh karena itu anggaplah orang tua dimana rumahnya kalian tempati sebagai rumahmu sendiri. Masyarakat desa Sawu telah dengan sangat rindu menantikan kedatangan kalian. Begitu kata –kata bapak kepala desa yang disambut tepuk tangan para mahasiswa.Usai mendapatkan rumah penginapan serta orang tua yang ramah – tamah, para mahasiswa diarahkan oleh seksi acara untuk kembali ke tenda utama untuk santap malam bersama. Santap malam yang menyenangkan penuh dengan nuansa persaudaraan dan kekeluargaan. Kakak – kakak semester tujuh yang menjadi panitia inti untuk seksi konsumsi yang sehari sebelumnya telah berada di desa Sawu dalam pelaksanaan kegiatan ini benar – benar melaksanakan tugas dan peranan mereka dengan sungguh – sungguh. Setelah santap malam dilanjutkan dengan jai bersama dan pengumuman oleh seksi acara untuk kegiatan yang akan dilaksanakan esok hari. Tepat pukul 10.30 semua kembali ke rumah penginapan.

Kamis pagi, pukul 4.30, semua kembali berkumpul, masing – masing koordinator rumah telah mengnumpulkan mahasiswa yang merupakan anak buahnya untuk olah raga bersama berupa jalan santai mengelilingi desa Sawu. Kembali dari jalan santai dilanjutkan dengan urusan pribadi dan sarapan di rumah penginapan masing – masing. Terik matahari pagi yang terasa mulai menyengat tidak mematahkan semangat para mahasiswa calon – calon guru untuk terlibat dalam bakti sosial bersama masyrakat. Diantaranya kumpul batu kali, pembersihan gua Maria, pembersihan sekolah dasar SDI Ledho, pembersihan lokasi pemukiman penduduk seputar dusun Sawu dan Ledho dan yang lainnya terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di SDI Ledho. Yosef Yuvandi selaku ketua panitia dari semester tujuh dan Ferdinandus Dy selaku ketua HMPS (Himpunan Program Studi) dari semester lima benar – benar menjadi inspirator bagi semua kawan – kawannya dan adik- adik semester satu dan tiga untuk tetap bersemangat dalam bakti sosial bersama masyarakat desa Sawu. Semuanya ceria semuanya bergembira sampai waktu menunjukan tepat pukul 12.30, semuanya kembali ke rumah penginapan untuk santap siang dan istirahat siang.
Senja di Sawu adalah senja tenteram. Udara yang berhembus dari kaki bukit gunung Ebulobo benar – benar menimbulkan kesan damai. Para mahasiswa bersama orang tua asuhnya telah berkumpul di tenda utama pada pukul 06.00. Semua mahasiswa yang beragama Katolik khusuk dalam doa rosario bersama sedangkan teman- teman Muslim pun dengan anggun sujud dalam doa bersama di rumah bapak Gabriel Lipu. Setelah doa semuanya kembali ke rumah penginapan untuk santap malam.

Tepat pukul 08.00 malam dari corong toa suara Kaka Lily selaku koordinator seksi acara terdengar menukik tajam meminta segenap mahasiswa untuk kembali berkumpul di tenda utama. Pukuk 08.15 semuanya telah berkumpul dalam tenda utama. Acara pada malam ini adalah pembinaan mental internal dari kakak – kakak semester tujuh kepada adik – adik semester. Beberapa mahasiswa dari semester satu, tiga dan lima yang terlibat dalam panitia inti bersama kakak – kakak semester tujuh diminta untuk melepaskan tanda kepanitiaannya dan mengenakan tanda pengenal berupa nama dan kelas sebagai identitas seperti mahasiswa – mahasiwa lainnya yang tidak terlibat dalam susunan kepanitiaan. Tanda pengenal yang bergelantungan depan perut itu memudahkan semua yang melihat untuk membaca dan dengan mudah mengenal siapa nama mahasiswa dan dari semester berapa. Ini merupakan cara termudah untuk saling mengenal dan mampu menjalin komunikasi dan keakraban diantara para mahasiswa FKIP/PBSI Uniflor yang sangat banyak jumlahnya dalam lingkup kampus Uniflor. Saat pembinaan internal berjalan semua wajah – wajah kakak semester terlihat garang. Maklum pembinaan mental. Adik – adik semester satu, tiga dan lima terlihat pucat pasi dikerjain habis – habisan oleh kakak – kakak semester. Ada yang tahan banting dan bersoal jawab meski hak bicara dicabut ada yang menangis, keringat dingin dan lutut gemetaran diperintahkan untuk membuat pidato, membacakan puisi, melakonkan pedangang yang berdagang sampai kepada hal – hal yang membuat semuanya tertawa. Kurang lebih sepuluh menit pembinaan mental berjalan saya keluar dari tenda utama dengan ditemani oleh Pa Santos Henakin menuju rumah Bapak Gabriel Lipu.
Saya kembali melihat waktu pada hanphone nokia saya pukul 21.53,suasana di tenda utama masih gaduh. Saya bersama Pa Santos diterima dengan ramah oleh bapak Gabriel Lipu dan mama Bernadeta Deo dan puteri sulung mereka nona Yanti yang adalah juga seorang mahasiswa FKIP/ PBSI Uniflor semester tujuh.Duduk di atas rumah panggung elok yang antik dibangun tahun 1964 kami disuguhi air teh dan kopi serta sepiring kue kembang goyang dan rokok Surya 12. Sambil menikamti kue kembang goyang, air teh,kopi dan kepulan asap surya yang membumbung ke atap rumah kami mulai perbincangan kami. Perbincangan kami malam itu seputar nama desa yang diberi nama Sawu. Menurut bapak Gabriel, asal muasal penduduk desa Sawu berasal dari Pulau Sabu. Adalah seorang putera raja yang bernama Jarawadhu di pulau Sabu pada sebuah kesempatan memberontak terhadap orang tua dan saudara - saudaranya seputar pembagian harta warisan yang menurutnya tidak adil. Bersama para pengikut setianya Jarawadhu lalu lari dan berlayar dan sempat tinggal di Ende tepatnya di jalan Sudirman, kemudian Aimere, Golewa dan Sawu. Setiap tempat persinggahannya Jarawadhu selalu memiliki selir dengan banyak anak dari masing – masing selir. Pada sebuah kesempatan penduduk Obo (sebelum bernama kampung / desa Sawu dahulu bernama kampung Obo) berperang melawan suku Paulundu. Perang suku antara Obo dan Paulundu ini adalah soal memperebutkan tanah. Jarawadhu lalu diminta bantuan berupa strategi dan teknik berperang oleh suku Obo dalam usaha memperebutkan tanah melawan suku Paulundu. Oleh bantuan Jarawadhu maka suku Obo memperoleh kemenangan dari suku Paulundu. Sebagai balas jasa dan hadiah atas kemenangan yang diraih maka suku Obo menghadiahkan kepada Jarawadhu dan para pengikutnya kampung Obo dan menggantikan nama kampung Obo dengan nama Sawu sebagai tanda kenang – kenangan bahwa orang – orang suku Obo telah menjadi satu keluarga dengan Jarawadhu yang ‘terlempar dan terasing’ dari keluarga besarnya di P. Sabu.Ketika saya bertanya pada bapak Gabriel, apakah suku Obo tidak merasa hilang kuasanya dengan memberikan nama pada kampung Sawu yang sebelumnya Obo menjadi Sawu, bapak Gabriel menjawab sama sekali tidak, kami merasa sebagai sebuah keluarga besar yang menyatu. Hal ini terungkap dalam kata – kata bahasa daerah setempat, “ndi’i ghili mera mogo yang artinya, marilah kita bersatu padu,atau dapat juga diartikan jagalah persatuan dan kesatuan. Ungkapan ini pula yang menjiwai seluruh aktivitas hidup masyarakat desa Sawu. Ungkapan ini pula yang membuat masyarakat desa Sawu menyambut kami dalam rumah mereka dengan rela dan ikhlas sebagai anak – anak dalam rumah.Selama tiga hari berada bersama masyarakat desa Sawu kami sungguh mengalami ungkapan yang terkenal dari mereka ndi’i ghili mera mogo. Kami benar –benar menyatu dengan mereka. Minggu sore tepat pukul 04.00 kami kembali ke Ende tetapi jiwa kami masih tetap bergetar bila mengenangkan Sawu. Sawu yang mengajarkan kami tentang hidup anggun sebagai sama saudara. Sawu yang mendorong kami untuk siap jadi agen – agen pahlawan tanpa tanda jasa dimana pun nanti kami berada dengan tetap menghidupi ungkapan mereka ndi’i ghili mera mogo.

Ketika Wajah Mengalienasi Kita

(Pentas teater Wajah hari kedua oleh Kru Seniman Kata)

Oleh Hengky Ola Sura
Kontributor

Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah suatu forum dimana orang bisa melontarkan isi hatinya dan bisa pula membantah pendapat orang. Untuk mengambil keputusan atau macam-macam cara. Ada yang menempuh cara mufakat bulat. Dan adapula yang lewat voting. Wajib menang adalah yang suaranya terbanyak. Dengan cara-cara persuasi ia berusaha membujuk orang untuk berdiri di pihaknya. Sifat terbuka merupakan syarat pokok dari semua yang sifatnya demokrasi. Jika sesuatu ditutup-tutupi, seribu kali dia meneyebut demokrasi, sesungguhnya ia sama sekali bukan.
Dan apakah teater itu? Teater juga suatu forum dimana orang bisa menyatakan suara hatinya. Pada saat yang bersamaan, dia pun bisa membantah apa yang dikatakan pihak lain. Semuanya pun berlangsung terbuka dan tidak ada yang disembunyikan. Itu sebabnya pada tahun 1950-an Asrul Sani pernah menyebut bahwa “teater merupakan alat demokrasi yang lain”.
Selasa, 19 Januari 2010, dari RRI Ende disiarkan pengumuman yang isinya mahasiswa PBSI Uniflor Semester V B dan Kru Seniman Kata akan mengadakan pentas teater dengan judul Wajah bertempat di showroom Penerbit Nusa Indah. Tidak hanya melalui RRI, surat undangan dan karcis pun beredar. Dan Selasa malam 19 Januari itu penonton pun membludak memadati showroom penerbit Nusa Indah. Ada yang terpaksa harus menjinjit ujung jari-jemari kakinya tinggi-tinggi agar bisa menonton pentas teater Wajah. Layar dibuka dan cahaya lampu panggung remang-remang. Lampu untuk penonton padam. Puisi dengan judul Wajah pun terbaca secara apik, ritmis, liris, menggairahkan dari belakang layar.

Perkenankanlah engkau kami lihat
Di panggung ini
Inilah wajah-wajah kita

Demikian bait terakhir puisi tersebut dan masuklah Srikandi tokoh utama pementasan Teater Wajah. Lampu sorot pun diarahkan padanya. Ia mengitari panggung, berhenti sejenak pada sebuah lemari kaca, ia bercermin dan berteriak, mengapa kamu diam seribu bahasa, berbicaralah. Sesudah Srikandi berturut-turut masuklah dua perempuan yang melakonkan wajah kaum pelacur yang memberontak. Sesudah perempuan pelacur masuklah wajah Kuda, wajah Harimau, wajah Babi, wajah Monyet dan wajah Politisi. Teater Wajah sesungguhnya adalah sebuah teater yang melakonkan kisah perjalanan hidup manusia yang tampil dengan wajah-waajah yang tidak sesungguhnya. Wajah bertopeng. Wajah yang bukan wajah. Srikandi sebagai tokoh utama teater merasa terpanggil untuk mendobrak kemampetan dominasi laki-laki yang tergambar dalam wajah kuda, harimau, monyet dan politisi. Wajah-wajah tersebut tampil dengan keangkuhan untuk membawa masuk kaum perempuan ke dalam lembah hitam dunia pelacuran. Wajah sesungguhnya juga adalah sebuah bentuk aspirasi dari diri kaum perempuan sendiri bahwa mereka perlu didengarkan. Perempuan adalah sosok kehidupan yang daripadanya lahir generasi-generasi. Melacurkan kaum perempuan adalah sama dengan membunuh kaum perempuan. Itu berarti meniadakan generasi-generasi baru yang akan lahir dari rahim perempuan itu. Teater Wajah secara eksplisit mengantar penonton pada pemahaman akan kecantikan makluk bernama perempuan yang dicoreng, dilemparkan kaum penguasa ke dalam lembah kenistaan setelah puas menikmati tubuh perempuan. Cantik itu luka, dan wajah pelacur perempuan korban nafsu kaum pria dan perempuan kuda beban dalam teater Wajah adalah gambaran perempuan yang mempertanyakan makna wajah, makna rupa dan versi kecantikan menurut pandangan banyak orang. Konon semua perempuan ingin disebut cantik, rupawan. Segenap daya upaya dikerahkan untuk menjadi. Dan wajah-wajah perempuan dalam teater wajah adalah wajah yang menjadi. Wajah yang sesungguhnya tercoreng. Melacurkan diri seolah melibatkan, meleburkan diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan yakni ketika wajah perempuan pelacur itu dibuang dan tempatnya dalam hukum postif tidak ada seperti kata Rendra dalam puisinya yang berjudul Perempuan yang tergusur. Wajah-wajah perempuan pelacur yang tergusur itu pun semakin mencekam penderitaannya setelah tampil wajah kuda, wajah harimau, wajah babi dan wajah politis yang cuma mau enaknya sendiri. Cuma mau menikmati tubuh dan kecantikan perempuan. Ketergusuran wajah-wajah perempuan pelacur akhirnya membawa mereka pada sebuah tanya, “ Mengapa wajahku jadi begini? Mengapa? Kecantikan telah membuat kita mesti bertanya pada ahli kecantikan, pada wajah kuda, pada wajah monyet, pada wajah harimau, wajah babi dan politisi, pada tokoh pemerhati kaum perempuan seperti Srikandi dalam teater ini. Dan mungkin perlu kalau kita bertanya pada selebriti tentang apa itu cantik? Seperti pertanyaan apa itu demokrasi dan apa itu teater? Lalu wajah-wajah kaum laki-laki dalam rupa wajah kuda, harimau, monyet, babi, politisi, pemerhati kaum perempuan dan sampai pada selebriti menjawab kecantikan itu apa yang tampak dari luar, sekaligus juga yang ada di dalam diri. Atau mereka menyebutnya sebagai inner beauty. Kecantikan atau kerupawanan menjadi suatu impresi yang kadang sengaja dihadirkan lewat bingkai kosmetik dan balutan pakaian yang menarik. Karena kecantikan merupakan impresi, kadang ia meninggalkan jejak dalam benak ingatan mereka yang memandangnya. Mengutip Sarah Ashari dalam wawancaranya dengan sebuah program nfotaiment di televisi, bahwa kecantikan juga mencakup inner beauty. Tampaknya rumusan ini digunakan juga oleh sejumlah pejabat kita yang dilakonkan dalam wajah kuda, babi, monyet, harimau dan politisi. Semuanya bertopeng. Wajah-wajah dalam teater wajah yang diperankan Kru Seniman Kata adalah gambaran wajah-wajah kita dalam hidup harian kita. Wajah-wajah itu akhirnya didobrak dengan hadirnya tokoh perempuan bernama Srikandi yang melecutkan semangat sesama perempuannya untuk angkat bicara. Bahwa perempuan bukan pada tempatnya dijadikan objek bagi kaum laki-laki. Wajah-wajah kaum lelaki dengan perannya sebagai wajah kuda, monyet, harimau, babi dan politisi seharusnya berkaca bahwa wajah mereka tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan atau postur. Jabatan seharusnya menjadikan mereka menjadi lebih bermartabat untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan yang tergusur yakni perempuan pelacur dan bukannya ongkang-ongkang kaki menikamti uang dari penghasilan yang ditarik dari para mucikari dan lokalisasi. Wajah akhirnya adalah sebuah tanya sekaligus teriakan penuh kewaspadaan bahwa teater adalah salah satu bentuk ‘demokrasi yang lain’ untuk bersuara. Seperti Srikandi yang tampil gagah dan meneyerukan agar semuanya kembali ke wajah yang sesungguhnya. Wajah jangan sampai mengalienasi kita. Teater Wajah adalah sebuah bentuk demokrasi yang lain yang sarat imajinasi dan simbol-simbol wajah. Tapi wajah yang dipertontonkan di panggung adalah refleksi dari keadaan masyarakat banyak. Kita seharusnya belajar melihat wajah kita sendiri. Tanpa rasa diburu-buru dan rasa tanpa takut. Teater wajah bukanlah luks buat masyarakat. Dia adalah makanan dan minuman sehari-hari yang kita lakonkan dan tidak kita sadari. Akhirnya pesan sesungguhnya dari teater ini adalah bahwa wajah kita jangan sampai mengalienasi kita. Ketika wajah sampai mengalienasi kita, kita bakal tampil lebih dari sekedar binatang.

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...