Rabu, 30 Desember 2009 | 01:33 WITA
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi.
Di teras: waktu merayap.
Malam mengalir.
Aku duduk tapi melayang.
Di langit berkeriap bintang-bintang.
Dan di jalan-jalan berkecipak perang.
Seperti di hatiku.
Mungkin juga di hatimu".
Ahmad Nurulah
PENGGALAN puisi Ahmad Nurulah di atas dimuat pada kumpulan sajak Bentara Kompas tahun 2000. Puisi tersebut sesungguhnya adalah sebuah tanya akan eksistensi Tuhan Sang Pencipta sebelum jagat raya diciptakan. Dan pertanyaan itu tak akan terjawab sampai kapan pun. Sebuah pertanyaan tentang waktu yang merayap, waktu yang mengalir begitu cepatnya, temporamus labuntur.
Bumi, jagat ini adalah bentuk representasi akan adanya Tuhan. Pada langit yang berkeriap bintang-bintang, manusia hanya bisa merenung, mengkontemplasikan akan adanya 'sesuatu' yang kita sebut Tuhan, causa prima, ada tanpa ada yang menyebabkan. Manusia yang hidup dalam ruang jagat toh hanya bisa saling bertanya tentang misteri waktu yang terus berputar. Manusia boleh tahu tentang luasnya alam semesta ini, semakin ia mengetahui, makin pula jagat ini menyendiri dan manusia terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang cepat hilang dari ingatan manusia saat ia mati dalam diamnya.
Tapi pada saat yang sama, dalam keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Hidup begitu dekat dan ketiadaan (baca: Tuhan, ada dari yang tidak ada) begitu megah. Dan kita boleh merenung dengan sajak Sitor Situmorang "Catedral des Chartes' dalam kumpulan sajak Bunga di Atas Batu bunyinya demikian "hidup dan kiamat bersatu padu."
Memang ada yang murung dan menakutkan dalam hidup. Saat di mana manusia merasakan hampir-hampir tak punya daya dengan semua persoalan. Saya kira apa yang dibahasakan oleh Ahmad Nurulah dan Sitor dalam bahasa puisi sebenarnya bahasa yang tak datang dari kesendirian. Semua berangkat dari realitas. Ahmad dan Sitor pasti mati seperti kita juga akan mati, namun kata-kata mereka akan menjadi semacam peringatan, refleksi yang menggugah kita. Kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya hidup terus, melampaui atau mengatasi kehadiran kita.
Tahun 2009 akan berakhir dan kita memasuki tahun 2010. Banyak kenangan pahit dan manis telah kita lewati. Semuanya seperti baru kemarin. Seperti sebuah tirai jendela yang disingkapkan ketika datang fajar dan ditutup kembali ketika senja mulai kemuning dan kegelapan perlahan merayap turun.
Memandang penuh harap
Waktu tak juga mati. Waktu adalah kehidupan, modal utama, dan kekayaan paling berharga yang dimiliki setiap kita. Oleh karena itulah kita siap menyambut tahun 2010. Kita ibarat burung yang siap mengepakkan sayap lagi ketika sejenak hinggap pada dahan 2009.Waktu memang tak terduga, waktu mengalir begitu cepatnya. Waktu membuat kita seperti melayang terbang nun jauh. Waktu membuat kita merasa di hati kita adanya getaran-getaran yang berkecipak dari semua pengalaman hidup suka dan duka. Ada perang, begitu kata Ahmad Nurulah, seperti di hatiku, mungkin juga di hatimu.
Hidup adalah sebuah arus eksistensi yang selalu lahir kembali untuk terus diperjuangkan. Dan kita adalah orang-orang yang perlu mendesain makna hidup itu agar kita menjadi manusia-manusia yang mempunyai harapan untuk bangun dari semua kenangan keterpurukan kita.
Tahun 2010 ibarat sebuah lahan yang siap digarap dengan rasa syukur. Rasa syukur karena kita diberikan lagi kesempatan oleh Sang Pencipta untuk memandang matahari 2010. Rasa syukur kita hendaknya menjadi sebuah momen etis. Ia tak menuntut konsep. Seperti puisi (Goenawan Mohamad, "Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai", Penerbit Kata Kita, Jakarta, 2008 hal 55).
Waktu memang tak berbunyi, tak bersuara tak merisaukan tergantung bagaimana kita memaknai waktu dengan terus-menerus menjadikan waktu yang terberi dengan sebaik-baiknya. Kita memandang penuh harap, belajar dari 2009 dan siap maju menyongsong 2010. Kita mesti bersyukur atas waktu yang terus meluncur. Bersyukur memandang matahari 2010 dan dalam doa-doa syukur kita bersama mendengungkan O Sole Mio (oh Matahariku). Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris menulis, "Bila matahari tertawa, jiwaku lebih mendekat ke Tuhan." *
Mahasiswa Uniflor Ende, Ketua Buletin Sastra Seniman Kata
No comments:
Post a Comment