Oleh Hengky Ola Sura
Peminat sastra, bergiat pada Sanggar Sastra Sint. Conrad, tinggal di Ende
SAYA selalu teringat pada lagu tanah air yang diajarkan ibu guru saat sekolah dasar kelas satu. Naluri kekanak-kanakan saya tanpa pretensi dan tendensi menyadari bahwa tanah air ternyata adalah juga 'tanah darah'. Keluguan sifat anak-anak sesungguhnya benar-benar melekat dalam benak saya dan kawan-kawan saya. Kami bangga dengan ibu guru yang mengajarkan lagu tersebut. Tanah tempat kami lahir adalah lokus yang mengajarkan bahwa kami harus mencintai tanah air dengan jiwa patriotisme, begitu kata-kata ibu guru dan kami mengangguk-angguk setuju. Tanpa pernah mengerti apa itu patriotisme. Lirik lagunya 'di sana tempat lahir beta (negeri Indonesia), dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata'.
Tapi ketika menjadi orang muda yang penuh dengan vitalitas, saya setuju dengan apa yang digoreskan Goenawan Mohamad bahwa, 'tempat' dalam lirik lagu di atas adalah juga berarti tanah 'tumpah darah'. Darah selalu menerbitkan imagi yang dramatis, apalagi darah yang 'tumpah'. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. 'Darah yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara, risiko, bahaya dan sengketa.
Dari perbedaan itu penulis mengerti mengapa sebuah negeri bisa begitu berarti bagi diri kita. Hampir semua negeri mempunyai trauma, meskipun tak selamanya diakui atau diingat lagi. Dan kita harus pergi dari masa lalu walau itu terasa sangat menyakitkan. Kita tak pernah mau membongkar derita. Oleh karena kita adalah orang-orang terjajah/orang-orang kecil. Benar juga bahwa sejarah selalu milik kepunyaan orang yang berkuasa. Orang-orang muda adalah juga sebagian dari orang-orang yang kalah, yang vitalitas dan suara kritisnya dibungkam.
Berkenaan dengan hari ulang tahun Sumpah Pemuda yang ke delapan puluh, penulis mencoba menggores realitas yang kini sedang terjadi dengan kaum muda Indonesia dan vitalitas mereka, sembari mengaca dari perjuangan para pemuda delapan puluh tahun silam sebagai batu pijak untuk maju satu langkah lebih elegan menatap masa depan dalam mendiami tanah air yang selalu sarat makna penderitaan.
Kaum muda delapan puluh tahun silam adalah orang-orang yang menyadari bahwa darah yang tumpah oleh sakit bersalin ibu dan pengerangkengan rezim penjajah harus diganti dengan hidup anggun di tanah kelahiran dan terlebih bangga berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Tekad pemuda delapan puluh tahun silam telah menjadi nyata dan buktinya, Indonesia kini berdiri sebagai sebuah negara berdaulat yang disegani dimata dunia.
Sampai di sini kita jangan terlebih dahulu mengklaim perjuangan para pemuda sudah selesai. Indonesia di mata dunia adalah sebuah negeri yang sedang terperosok berbagai tatanan kehidupan bernegaranya. Mulai dari ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan yang utama adalah moral kaum mudanya yang tenggelam dalam budaya hedonis dan mental instan.
Contoh paling nyata yang penulis jumpai adalah hampir sebagian besar mahasiswa di Kota Ende gemar nampang di jalan-jalan tanpa suka memanfaatkan waktu untuk berada di perpustakaan atau menumbuhkan semangat dan minat baca. Ada lagi mahasiswa yang kalau lagi kumpul bersama kawan-kawannya lebih suka mengumpulkan uang untuk membeli moke dan minum bersama sampai teler tanpa pernah menyadari bahwa alangkah lebih baik uang tersebut dipergunakan untuk membeli buku bacaan untuk menambah wawasan dan koleksi pustaka pribadi. Atau mendiskusikan pelajaran atau juga situasi aktual yang menjadi perbincangan publik. Mahasiswa yang bakal tampil sebagai agen pembaruan ternyata lebih menikmati diktat-diktat tebal tiap mata kuliah tanpa memiliki paling kurang dua sampai tiga buku pegangan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum muda seperti ini yang bakal menciptakan dan memberi pembelajaran untuk generasi selanjutnya?
Berhadapan dengan kenyataan yang ada, penulis dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang mengelisahkan, akankah ada 'darah yang tumpah' dari sebuah masa yang akan datang di negeri bernama Indonesia atau dalam lingkup Propinsi NTT? NTT yang sarat dengan aneka julukan keterbelakangan, toh akan tetap melahirkan generasi yang pincang pola dan cara berpikirnya hanya karena kaum mudanya tengah dibeliti spirit hedonis dan mental instan dari sebuah gaya hidup yang tak tentu arah dan tujuan hidup.
Ini menjadi bukti jelas bahwa ketika ada perjuangan dan itikad baik dari sekelompok mahasiswa yang berjuang melawan status quo yang sudah terlalu 'karat' dipraktekkan dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Mereka justeru dicap sebagai oposan yang baru belajar berorganisasi dan dicap pembangkang dan penganut paham radikalisme yang laten dalam sebuah tatanan hidup bermasyarakat hanya karena sebagian besar pemuda NTT lebih senang menikmati dunia mudanya tanpa pernah berpikir bahwa manusia sebagai makhluk yang menyejarah adalah juga membutuhkan semacam eksistensi diri dari aktualisasi yang layak diperhitungkan suara kritisnya.
Peringatan delapan puluh tahun Sumpah Pemuda hendaknya menjadi nyanyian penuh kewaspadaan bahwa 'darah yang tumpah' adalah sebuah pengorbanan luhur dari kaum muda untuk lebih bersemangat menciptakan ide-ide kreatif bagi perkembangan mutu hidupnya sebagai modal dasar untuk menjadi lebih baik. Menjadi lebih elegan dalam mengetrapkan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang kini mulai kabur akibat pelbagai aksi separatis.
Kita tahu bahwa Indonesia saat ini tengah dilanda aneka kemerosotan nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda. Papua menuntut merdeka, Maluku menuntut merdeka, Aceh pun demikian. Oleh karena itu vitalitas dalam ranah konstruktif yang positif layak dikedepankan untuk mempertahankan Indonesia yang satu dan berdaulat di mata dunia. Hal ini mau tidak mau harus menjadi fokus perhatian kaum muda.
Semoga saja nyanyian masa kecil 'di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata' tetap menjadi sebuah negeri yang kalau dikenangkan tidak sampai menjadi 'terkenang sayu' melainkan terkenang tidak untuk saat ini saja, tetapi pula untuk generasi kaum muda dan anak-anak yang bakal menyanyikan lagu tersebut karena negerinya adalah juga tempat berdiam jiwanya. *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment