Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Uniflor, Kru Buletin Sastra Seniman Kata
Kamis, 22 Oktober 2009 | 07:40 WITA
HERY Nurdi seorang pegiat sastra dan anggota komunitas Budaya Burung menceritakan pengalamannya tentang seorang anak yang mengajaknya berbicara tentang pusi.
Sebuah sore, seorang anak usia 12 tahun datang menemui saya di rumah. Saya tahu, anak ini adalah salah satu dari sekian banyak anak yang suka datang ke rumah saya untuk membaca. Saya tak ingat betul namanya, tapi saya tak ingin ia tahu bahwa saya tidak tahu namanya. Maka saya menyebutnya sebagai kamu, dan anak itu memanggil saya sebagai bapak. Di rumah, selain buku-buku tentang banyak hal seperti politik, filsafat, novel, dan beberapa tentang kedokteran, saya dan istri mempunyai buku anak-anak yang cukup beragam untuk anak-anak kampung tempat kami tinggal. Ada dongeng Handersen, ada cerita kumpulan cerita anak-anak asia, ada kumpulan haiku yang sudah diterjemahkan, ada majalah, ada komik, ada juga puisi-puisi yang meski karangan Sutardjie, Rendra, Subagio, Tagore, bahkan Pablo Neruda saya suguhkan pula untuk mereka.
"Yang suka silahkan baca, yang tidak jangan merusak," pesan saya setiap kali akan meninggalkan mereka, anak-anak ini biasanya membaca di rumah saya setiap hari libur. Anak tadi, yang berusia 12 tahun itu, yang saya sebut dengan kamu, datang sore hari ke rumah saya. Hari itu bukan jadwal, taman bacaan rumah saya buka. Tapi saya izinkan dia masuk, tapi ternyata dia memang datang untuk tidak membaca. Dia datang untuk bertanya.
"Pak, di sekolah saya, tadi pak guru bahasa Indonesia mengatakan bahwa puisi besar artinya." Anak ini berhenti bicara. Matanya menatap saya yang duduk bertentangan di sebuah tikar rotan.
"Terus..." ujar saya, merasa kalimat anak ini belum selesai seutuhnya.
"Emang puisi penting pak?" Sejenak saya terdiam. Saya tidak tahu persis, apakah puisi penting atau tidak. Tapi saya juga tidak ingin mengatakan bahwa puisi juga tidak penting. Saya tak menguasai benar ilmu tentang puisi atau yang semacamnya. Tapi saya juga tak ingin mengatakan pada anak ini saya tidak tahu apa-apa tentang puisi. Takut ia patah semangat dan tak ingin baca puisi lagi.
"Kamu senang baca puisi?" Untuk mengulur waktu saya lontarkan pertanyaan, sambil mencambuk sel-sel kecil kelabu dalam otak saya bekerja mencari semua kata yang berhubungan dengan puisi. Anak 12 tahun itu menjawab dirinya suka membaca, tapi belum bisa membuat puisi.
"Ah kamu bisa membuat dan menulis puisi," ujar saya, sambil memacu percepatan nueron-nueron dalam otak saya untuk lebih cepat lagi bekerja. BINGO! Saya menemukan sebuah hadits Nabi Muhammad dalam laci ingatan saya yang entah sudah berapa lama mengendap. "Jika ingin anakmu berani, maka ajarilah menulis dan membaca puisi," demikian petikan hadits yang saya yakin sangat tidak lengkap itu. Dengan cepat kukorek-korek isi otak, khususnya tentang hadits ini.
"Begini ya," kata saya memulai percakapan sambil berusaha menjaga intonasi suara agar tetap terdengar wibawa. "Puisi itu penting, paling tidak untuk kita sendiri." Saya memutar kembali otak, mencari cara yang paling mudah menjelaskan pentingnya arti puisi, sementara saya sendiri belum sadar betul tentang pentingnya puisi. Lalu, singkatnya saya ajak ngobrol si kamu ini tentang puisi.
Obrolan kami ngalor ngidul. Saya bilang puisi itu membuat penulisnya menjadi berani. Pertama tentu saja saya katakan, menumpahkan isi hati dalam bentuk puisi perlu keberanian sendiri. Lalu, keberanian juga diperlukan saat membaca, baik membaca sendiri maupun membacanya di depan teman-teman. Keberanian lain adalah berani menyatakan pendapat.
Kepentingan yang lain, ujar saya lagi, kamu jadi tahu bahwa kata-kata itu banyak. Bukan untuk melatih pandai berbicara dengan penguasaan banyak kata, tapi pandai mengidentifikasikan kata mana yang tepat untuk sebuah fenomena. Tentu saja dalam kalimat saya pada si kamu ini tidak saya gunakan identifikasi dan fenomena. Sekali lagi saya membuat penekanan tentang hal ini pada si kamu, bahwa penguasaan kata-kata sama artinya mempunyai cakrawala baru yang lebih luas, dunia yang lebih tua dari umurnya, kekuatan yang lebih besar dari tenaganya. "Bukan untuk keburukan dan mempermainkan arti dalam kata-kata, tapi untuk kebajikan dan menjernihkan semua," kata saya sambil mengawasi mimiknya yang saya terjemahkan, si kamu sedang bingung. Tapi ketika saya tanya mengerti, dia mengangguk tanda paham.
Lalu saya bilang lagi pada anak umur 12 tahun yang duduk di kelas VI ini. "Kalau nanti puisi-puisimu jadi terkenal, kamu bisa seperti Rendra yang keliling dunia." Saya juga bercerita tentang Sapardi Djoko Damono yang sekarang menjadi guru besar Fakultas Sastra UI, juga karena kepiawaiannya mengolah kata. Tak ketinggalan saya tuturkan pula tentang Goenawan Mohammad yang ketika itu, dalam usia belia sudah menjadi pemimpin majalah Ekspres, cikal bakal perusahaan media Tempo.
Obrolan kami terhenti. Adzan maghrib berkumandang, dan kami shalat berjamaah di ruang tengah rumah saya. Usai shalat, saya sudah berharap, ia akan segera meninggalkan rumah saya. Tapi ternyata tidak, si kamu masih berminat melanjutkan obrolan. Saya terheran, dia mempunyai daya tahan yang luar biasa untuk ngobrol dengan orang yang lebih tua dengan tema yang tak lazim untuk anak seusianya.
Setelah jeda, istri saya memberi segelas air putih pada anak ini. Lalu saya bercerita tentang Widji Tukul yang hilang sampai sekarang juga karena puisi. Saya juga bercerita tentang guru besar penyair Maliboro, Umbu Landu Paranggi yang juga tak jelas rimbanya. Saya juga menceritakan beberapa kisah hidup para penyair yang tak pernah hidup mewah karena jalan kepenyairan yang telah dipilihnya. Tentu saja saya bercerita dengan mengubah sisi-sisi sedih menjadi cerita heroik.
Sebelum adzan isya berkumandang, si kamu sudah menengok jam dinding yang saya tempel di dinding utara rumah saya. "Pak saya pulang dulu, takut dicari ibu," katanya usai melirik jam. Saya mengantarnya sampai di pintu pagar. Memandanginya sampai ditelan sebuah gang dalam kegelapan kampung saya. Diam-diam saya berdoa, benar-benar berdoa, agar Tuhan membetulkan pemahaman anak ini jika salah tentang puisi, karena aku tak yakin benar.
Seminggu lebih aku tak mendengar kabar lagi tentang anak ini. Sampai suatu malam, sepulang aku kerja dari kantor yang tak kenal jam kerja, istri saya bercerita. Si kamu, sore tadi ketika jadwal membaca di taman baca kami, meminta dengan sopan teman-temannya untuk berhenti sejenak membaca. Lalu ia membacakan sebuah puisi. Istri saya menyodorkan secarik kertas, berisi salinan puisi anak berumur dua belas tahun yang duduk di kelas VI itu.
malam ini di luar kamar turun hujan
aku belum bisa terpejam
bapak sudah seminggu hilang pekerjaan
adik sakit, dari hidungnya ingus berleleran
kakak, kemarin ketahuan merokok sepulang sekolahan
ibu, tadi sore menghitung uang
aku, aku sedih bukan main
Pengalaman yang diceritakan oleh Herry Nurdi, anggota komunitas budaya Musyawarah Burung di atas, menggugah saya untuk lebih dalam membahas tentang pentingnya pelajaran sastra (baca, puisi). Seorang anak berusia dua belas tahun dengan lugunya menggores puisi penuh makna, mengharu biru dan mendalam. Si Kamu dalam cerita Herry Nurdi adalah seorang anak yang mungkin kebingungan dengan penjelasan sang guru di sekolah lalu mencoba bertanya lebih lanjut tentang puisi. Ia suka membaca puisi tetapi mengaku belum bisa menulis puisi. Berbekalkan penjelasan dan pengalaman sebagai seorang anak yang selalu setia dengan taman baca, mengantar si Kamu pada keintensitasan untuk mengasah lebih peka dan ikhtiar memperhalus budi untuk memotret realitas.
Puisi sederhana yang ia tulis tentunya membawa kita pada pertanyaan sulitkah menulis puisi itu? Sesungguhnya tidak ada resep pembuatan puisi. Mengapa demikian? Karena itu ekspresi pribadi. Masing-masing penyair memiliki gayanya sendiri-sendiri. Kepandaian menulis puisi digodog oleh pengalaman penyair dalam menulis puisi. Penyair yang jam terbangnya tinggi akan memiliki pengalaman ekspresi yang tinggi pula. Dan yang terpenting mereka memiliki pengalaman kemanusiaan yang luas, kompleks dan memiliki daya analisis yang tajam. Si Kamu dalam cerita di atas tidak dapat disamakan dengan para penyair berkelas. Si Kamu adalah pemula, namun satu langkah maju yang ditampilkan oleh si Kamu adalah bagaimana ia membaca, membaca, dan menulis. Dan satu yang terpenting adalah bagaimana ia mengajak sang empunya taman baca untuk berdiskusi tentang puisi. Si Kamu adalah seorang yang tumbuh dalam iklim taman baca. Ia mencerap segala sesuatu yang dibaca dengan segala keterbatasannya untuk mencoba memahaminya. Dan ia berhasil menulis sebuah sajak, sangat subyektif, khas anak-anak, tapi di situlah letak keunikannya. Realitas keluarga dipotret dalam horizon yang lugu tapi mendalam dan mengharu biru.
Penulisan puisi, atau dengan meminjam kias sifat ketuhanan, menurut ilmu agama, pen-cipta-an sebuah sajak dilakukan seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra. Ia, si penyair atau penyuka puisi bukan membuat sesuatu dari yang tiada. Sajak/puisi adalah jadi-jadian. Lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki dan dibina oleh si penyair atau penyuka puisi (bdk, Sitor Situmorang, Bunga di atas batu, si anak hilang, Gramedia, hal, 350). Ide (sajak/puisi) itu mirip konsep Plato sebagai rumus filsafat, berupa bentuk dasar, dapatlah dicatat bahwa budaya manusia padat dengan ide-ide yang dikembangkan, diwariskan, dicerap, ditimang-timang dalam hati atau benak. Hasil akumulasi lewat pewarisan (pendidikan), saling mempengaruhi, proses saling membenihi antarbudaya umat manusia dan antarmanusia sepanjang sejarah. Sajak memang dikembangkan dari sesuatu ide, dalam pengertian filsafat secara demikian, dikembangkan oleh si penyair atau penyuka puisi dengan bahasanya sendiri, dituangkannya dalam bahasanya sendiri.
Menulis puisi itu ibarat menembus kabut. Kabut itu menghadirkan kesuraman, keremang-remangan. Percaya atau tidak, tapi kekurangan kita di NTT yakni belum tumbuh suburnya budaya membaca. Akibatnya, kita masih harus berjuang untuk menembus kabut dalam dunia sastra (puisi). Tinta, pena, jari, hati yang berpadu dengan ide tak mungkin menghasilkan sebuah sajak/puisi kalau tanpa membaca dan kejelian memotret realitas. Mari kita coba menembus kabut puisi itu dengan memotivasi anak-anak kita untuk terus membaca, membaca dan membaca seperti si Kamu di atas. *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
POHON SINYAL :buat Anna 1/ sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang hinggap dan berki...
-
Oleh Hengky Ola Sura Kru Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor Ende Memasyarakatkan sastra salah satunya adalah melalui pentas teater. Teater ...
-
Setelah 09 Juni 2004, tinggal kami berlima. Saudari kami, nomor empat berpulang dalam matinya yang paling diam. Tak ada pesan, tak ada cerit...
No comments:
Post a Comment