Monday, 19 April 2010

Puisi dan kekuatan sosial

Oleh Hengky Ola Sura

Ketua Sanggar Sastra Sint Conrad.



MENULIS puisi adalah ibarat memasuki alam serat seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin- memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Maka sastrawan adalah insinyur jiwa manusia. Mengapa? Karena dengan memasuki alam serat, sebenarnya mereka sedang pilin- memilin kata yang ekspresif untuk membangun kedalaman dari jiwa para pembacanya untuk turut merasakan, memahami, mengejawantah apa yang seharusnya boleh dilakukan. Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh dan sadar. Tetapi lebih dari itu adalah bagaimana penyair menciptakan sebuah ekspresi jiwa dari goresan penanya. Goresan pena itu kemudian mampu membangkitkan, menyentuh nurani terdalam jiwa manusia bahkan struktur sosial dan peraturan sebuah bangsa dan negara yang kaku, yang mapan untuk sejenak merefleksikan dan mengintrospeksikan diri dari kemapanannya.

Adalah Diana Ferrus, penyair dari Afrika Selatan dan penulis masalah perempuan di Universitas Utrecht, Belanda memasuki 'alam serat' dengan jalinan kata yang ekspresif mampu merombak struktur peraturan perundang-undangan negara Perancis yang nyaris tak bisa diganggu-gugat untuk sejenak berefleksi dan membuat introspeksi diri mengenai undang- undang negaranya. Diana Ferrus sungguh merasa gelisah dengan kisah seorang perempuan bernama Sarah Bartmann yang seasal dengannya yang terjadi pada tahun 1810. Sarah Bartmann perempuan dari suku Hottenhot terbujuk untuk mengembara ke Inggris agar bisa menjadi seorang penyanyi. Perempuan berusia dua puluh tahun dari Afrika Selatan itu lalu dibawa oleh dua pelindungnya ke Inggris. Tapi mereka pula yang mencampakkan dia ke Piccadily Circus sebagai barang tontonan. Sarah diikutkan dalam pawai dan dihidangkan kepada masyarakat sebagai makhluk aneh. Empat tahun kemudian, wanita muda ini dijual kepada seorang pelatih binatang di Perancis. Di Perancis, Sarah mengalami nasib yang sama buruknya. Entah ia hanya menjadi tontonan atau dipaksa melakukan perlakuan yang lebih hina, wanita yang rindu pulang kampung itu meninggal pada 1815. Jenazahnya tidak dikubur, tetapi diselamatkan oleh seorang ilmuwan dalam masa Napoleon. Tulang-belulangnya diambil. Otak dan kelaminnya diawetkan dalam formalin. Kemudian semua itu dipamerkan dalam museum kemanusiaan di Paris dengan label manusia setengah jadi alias manusia setengah binatang. Tragis, seorang manusia dipajang dengan label yang demikian.

Terusik oleh fakta itu, seorang penyair dari Cape Town, Diana Ferrus, yang sedang melakukan studi di Universitas Utrecht, Belanda tertarik untuk membawa pulang tubuh Sarah yang menjadi pajangan di museum Paris. "Kalau aku saja begitu rindu pada rumah dan kampung halaman, bagaimana dengan Sarah? Pastilah ia lebih kangen lagi kepada tanah airnya," ujar Diana. Sayangnya, sisa-sisa tubuh Sarah selama bertahun-tahun dijadikan benda pajangan bagi para turis tak boleh dibawa kembali ke tanah air. Undang-undang Perancis menetapkan, semua benda di dalam museum Perancis adalah milik negara Perancis, tak peduli dari mana pun asalnya. Trenyuh oleh bayang-bayang kerinduan itu, pada 1998 Diana menulis sebuah puisi dalam bahasa Afrika. Puisi itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Tribute to Sarah Bartmann. Dalam sajak itu Diana berjanji untuk membawa Sarah pulang kembali. Ia menyediakan tempat tidur, rumah, bahkan gemericik air, gunung, serta bunga- bunga yang sudah berkembang untuk kedatangan perempuan dari Hottenhot itu:

I have come to wrench you away

Away from the pocking eyes of the man-made monster

Who lives in the dark with his racist clutches of imperialism

Who dissects your body bit by bit

Who likens your soul to that of satan

And declared himself the ultimate God!


Aku datang untuk membebaskan engkau

dari tatapan mata sang monster ciptaan manusia

yang hidup dalam cengkraman ras imperialis

yang mengiris tubuhmu keping demi keping

yang mensejajarkan jiwamu dengan iblis

yang memaklumkan dirinya sebagai dewa tertinggi


(Terjemahan penulis)

Sajak itu lalu sampai ke hadapan senator Perancis Nicholas Abaut pada tahun 2001. Sajak itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Dengan diperkuat oleh sajak itu, Senator Nicholas Abaut maju ke dalam perdebatan Senat Perancis. Dia memperjuangkan agar Sarah kembali ke negerinya. Pada saat debat berlangsung, 29 Januari 2002, semua berdoa, menunggu dengan deg-degan. Ketika perdebatan berakhir dengan kemenangan, kami semua bersorak gembira, tutur Diana. Sajak itu lalu dimasukkan ke dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Perancis. Demikianlah, sisa tubuh Sarah diboyong kembali ke Afrika Selatan. Dia dikebumikan di atas Bukit Gamtoos di bagian Timur Cape Town pada 9 Agustus 2002. Sarah yang kemudian dijuluki Venus Hottenhot itu kemudian menjadi legenda. Dan Diana Ferrus adalah legenda yang hidup.

Menimbang kisah Sarah yang diperjuangkan Diana dalam sajaknya diatas maka sajak sesungguhnya telah menjadi kekuatan sosial yang luar biasa dan mengubah undang-undang di sebuah negara seperti Perancis. Sajak sebagai sebuah karya sastra telah tampil sebagai pejuang yang berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Jiwa kemanusiaan yang menguak dalam goresan yang ekspresif menjadi kekuatan sosial. Diana yang seorang penyair itu telah menggunakan belati tajam penanya dalam goresan puisi sebagai satu-satunya media untuk membebaskan Sarah. Dan mengajak banyak orang termasuk Senator Nicholas Abaut untuk sejenak merefleksi dan mengintrospeksi diri. Refleksi dan introspeksi diri adalah perhatian yang sungguh terlibat, terlibat untuk membangun kekuatan sosial yang membebaskan. Sesungguhnya didalam sajak Diana sendiri sudah termaktub sebuah kekuatan sosial yang menuntut perjuangan bersama. Sajak itu telah mempengaruhi begitu banyak orang untuk senantiasa berpikir dan melihat lebih tajam bahwa rasa sosial dan kemanusiaan yang dikungkung/dibelenggu harus diperjuangkan/dibebaskan. Puisi Diana Ferrus hanyalah sebuah 'kerikil tajam' yang melekat pada telapak sandal/sepatu yang mengkilap. Kerikil tajam itu dapat merobek telapak sandal/sepatu. Serentak dapat juga melukai telapak kaki para pemakainya. Atau dalam bahasanya Mudji Sutrisno, 'sebuah batu kecil yang jatuh di permukaan kolam tenang bernama kehidupan, akan membuat dua proses sekaligus. Pertama, 'suara kelepak' saat batu itu sendiri tepat jatuh di permukaan air. Kedua, terjadinya lingkar-lingkar gelombang yang semakin besar di air itu (Mudji Sutrisno : "Estetika Filsafat Keindahan," Kanisisus hal 147).

Apakah maksudnya itu? Puisi sebagai bagian dari karya sastra harus tampil dan mampu menunjukkan 'suara kelepak riak sekecil' apa pun di air danau kehidupan. Berjuang untuk membuat 'sobek telapak yang keras' pada tataran kehidupan. Maka apakah tandanya? Sajak harus juga bisa mengundang tanda tanya dalam sanubari para pembacanya, ia menggerus dalam-dalam kalbu para pembacanya. Jiwa sajak itu sendiri harus membangkitkan ketergugahan. Ia menggugat ketenangan hidup yang mapan semu. Ia menimbulkan polemik, mengajak orang untuk mengomentarinya. Menjadi penimbul hidup, gerak, kelepak, dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk berpikir. Dan apabila sudah berpikir usang terlalu lama, ia mengajak menggoda untuk berpikir dalam nuansa baru yang sebelumnya tenggelam dalam rutinitas dan kemapanan sehari- hari yang dangkal.

Lihatlah bagaimana Diana Ferrus berhasil 'melemparkan batu' dan membuat sangkut 'kerikil tajam' dalam goresan kata-katanya sebagai sebuah puisi yang bermakna. Sebagai seorang perempuan dari ras kulit hitam yang selalu saja dianggap masyarakat kelas dua dalam masyarakat, Diana telah menembus alam serat dengan menulis sebuah elegi yang berisi ungkapan rasa duka, atau keluh kesah karena sedih, rindu, gelisah dan murung. Diana menulis tidak hanya untuk menghibur dirinya sendiri yang gelisah, jiwa yang sesak tetapi ia telah menampilkan sebuah kekuatan sosial yang berciri transformatif. Kekuatan sosial yang berciri transformatif adalah kepedulian terhadap nasib orang-orang lain/sesama yang merasa terdesak.

Manusia seperti Sarah yang dipajang sebagai manusia setengah jadi alias manusia setengah binatang. Manusia yang dimarginalkan oleh sistem dan struktur yang kuat. Kekuatan berciri transformatif di lain pihak juga mampu menunjukkan jalan kesadaran atau perubahan struktur mana yang mestinya ditempuh agar terjadi perbaikan nasib. Entah dalam keadilan, entah dalam hal lebih mau saling menghormati hak-hak dasar sesama manusia. Kekuatan sosial yang transformatif pada akhirnya tidak berakhir hanya pada meneror, mengguncang kemapanan untuk menimbang pemecahan masalah, tetapi lebih jauh menggerakkan orang untuk 'mengambil cangkul', mengayunkannya lalu menyebarkan benih-benih bernama peradaban kemanusiaan.

Sastrawan, penyair harus tetap dan terus-menerus menembus serat bahkan menembus serat yang kusut untuk memberi bentuk dari kehidupan bermasyarakat yang carut- marut sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat yang membuat dirinya juga sesamanya terlempar. Seorang penyair Indonesia, Agam Wispi, menyaksikan keadaan itu diawal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak


dia jatuh

rubuh

satu peluru

dalam kepala

ingatannya melayang

didakap siksa

tapi siksa cuma

dapat bangkainya


Sajak Agam Wispi dengan judul Matinya Seorang Petani ini ternyata membuat merah telinga penguasa militer waktu itu sehingga sajak ini dilarang untuk terbit dan beredar. Militer lupa bahwa memberangus puisi adalah juga seperti membunuh petani, kekuasaan selamanya 'cuma dapat bangkainya'. Puisi dan pemberontakan adalah juga 'roh', tak pernah hanya bangkai. Petani yang mati dan puisi yang diberangus 'tetap hidup'. Puisi itu telah menjadi sebuah kekuatan sosial yang mengajarkan tentang kebenaran. Kebenaran bahwa petani adalah juga masyarakat dari sebuah negeri yang bernama Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya. Perjuangannya yang berakhir tragis dilukiskan secara amat lugu namun tajam oleh Agam Wispi. Puisi bukanlah karya imajinasi yang sia-sia, melainkan sebuah seni intelektual dari kedalaman hati yang berkobar, yang gelisah untuk membahasakan realitas yang terjadi. Sesungguhnya Diana Ferrus dan Agam Wispi tidak sedang menggores realitas yang keliru. Mereka sungguh menyadari bahwa puisi bukanlah goresan kata yang sekadar diekspresikan, melainkan nyanyian yang muncul dari luka yang berdarah atau bibir yang tersenyum. Bibir yang tersenyum dalam terminologi sains menandakan kontraksi otot- otot rahang. Namun dalam pemikiran filosofis dan puitis, senyuman mengekspresikan kesenangan, kebahagiaan atau mungkin ironi tergantung makna yang dituju oleh orang yang tersenyum. Diana Ferrus dan Agam Wispi adalah dua dari sekian banyak penyair otentik yang membawa sebuah misi 'messianik', 'misi mencerahkan' sesama umat manusia, dan struktur dari sebuah sistem yang membelenggu dan menindas. Misi messianik dan misi mencerahkan tidak berhenti pada batas-batas nasional negara, tetapi meluas untuk seluruh umat manusia. Penyair pada akhirnya sadar bahwa ia tidak hanya tampil untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Dengan demikian puisinya adalah sungguh sebuah kekuatan sosial yang menjadi pahlawan.*

Pers yang Demokratis, Kado Ultah Pos Kupang

Oleh Hengky Ola Sura, Mahasiswa Uniflor, Ende,
Selasa, 1 Desember 2009 | 12:24 WITA




PERAN pers pada dasarnya adalah mengembangkan jurnalisme yang mengatas namakan publik. Patut diketahui pula bahwa dalam perjalanannya pers kadang juga tidak memainkan peran apa pun selain sebagai audiens.

Rakyat menjadi sesuatu yang abstrak, sesuatu yang dibicarakan oleh pers, tapi tidak diajak bicara. Pers menuntut adanya kebebasan, tapi pers juga yang mengekang kebebasan itu sendiri.

Berkenaan dengan ulang tahun ke-17 harian terbesar yang ada di NTT, Pos Kupang, penulis yang adalah pembaca setia Pos Kupang mencoba memaparkan pemikiran berkaitan dengan peran pers dalam tatanan fungsinya sebagai pengontrol yang harus lebih demokratis. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui Pos Kupang. Hemat penulis Pos Kupang sebagai koran kebanggaan orang NTT telah mengembangkan sebuah 'jurnalisme kepiting' dalam beritanya (Tony Kleden: "Pers sebagai Advocatus Diaboli", dalam Menukik Lebih Dalam, ed. Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, hal, 289, Ledalero, 2009).

Jurnalisme kepiting artinya prinsip jurnalisme di mana obyek berita didekati dari pinggir dan mengganggunya pelan-pelan, tidak langsung menohok dan menukik. Ibarat kepiting, ketika hendak naik batu, dia pasti berputar mengelilingi batu sebelum akhirnya tiba di puncak batu.

Hemat penulis prinsip ini juga adalah bagian dari sebuah kerja pers yang demokratis. Menohok dan menukik harus dengan mulai membongkar dari pinggir, apalagi untuk pemberitaan dengan tingkat konflik yang tinggi dan riskan. Bicara soal demokratis, langsung bersentuhan dengan sistem politik, tetapi sistem politik juga dapat dibentuk dengan peran pers sebagai satu aspek penting yang menyorotinya. Dengan demikian pers pun dalam kerjanya dituntut untuk memberitakan informasi secara demokratis.

Pers yang demokratis hanya dapat berlangsung pula dalam pemerintahan yang demokratis. Jadi bukan sekadar menunggu datangnya pemilu untuk dijalankan secara demokratis, tetapi bahwa dalam fungsi kontrolnya pers mendapat kebebasan. Dan kebebasan itu datangnya dari pemerintahan yang menghendaki hidup dan kehidupan dalam alam demokrasi.

Pers yang demokratis pada gilirannya akan menyiapkan jurnalis yang profesional. Pers dalam perannya sebagai pengontrol menuntut adanya kebebasan yang disebut kebebasan pers. Berkenaan dengan kebebasan, pers seharusnya senantiasa ingat dengan apa yang dikatakan oleh Albert Camus, seorang penulis termahsyur yang menulis Mitesisifus dan Orang Asing. Dia mengatakan bahwa jika pers bebas itu bisa baik, tetapi bisa juga buruk. Namun, jika tanpa kebebasan pers bisa dipastikan buruk.

Pers dalam perannya adalah pengontrol serentak pembuka tabir yang menguak kebenaran. Kebenaran inilah yang menjadi prinsip paling utama dalam jurnalisme. Pers bebas dalam pemberitaannya harus tetap bertanggung jawab, tetapi juga harus bebas kontrol. Artinya pers dalam kerjanya bekerja tidak sebagai corong pemerintah yang sewenang-wenang atau pejabat publik yang timpang kerjanya tetapi mampu menyuarakan ketimpangan dan kesewenang-wenangan itu dengan model jurnalisme kepiting.

Pers punya komitmen dan konsistensi, ada harga diri dan martabat, ada self expression yang jernih dan tulus. Dengan demikian pers pertama-tama telah menciptakan, mendidik jurnalis-jurnalisnya untuk profesional dalam kerja dan liputannya. Jurnalis tidak hanya punya wawasan dan pengetahuan, skill hebat, tetapi ia harus tahu orientasi yang diutamakan oleh komunitas persnya. Jurnalis sebagai anggota sebuah komunitas persnya bukan hanya bekerja sebagai pembuat berita untuk dibaca, tetapi juga punya rencana berita/planning the news.

Akhirnya semua pekerja pers perlu menyadari bahwa seleksi pemberitaan juga menjadi aspek penting. Tidak hanya soal tampilan fisik (baca, desain kolom dan halaman) tetapi pertimbangan psikologi, daya serap khalayaknya. Seleksi menjadi pekerjaan yang melekat pada pers, dengan demikian pers telah mulai dalam dirinya aspek yang demokratis tanpa menunggu hadirnya pemerintahan yang adil dan demokratis. Selamat ulang tahun Pos Kupang. Teruslah bersuara.*




Kru Buletin Sastra Seniman Kata

Perempuan yang Diempukan


Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Uniflor, Kru Buletin Sastra Seniman Kata
Sabtu, 6 Maret 2010 | 07:54 WITA



KATA orang, jumlah perempuan di jagat raya ini lebih banyak dari laki-laki. Faktor kuantitatif seharusnya dapat mendongkrak laju persamaan hak dan kewajiban dan tuntutan untuk sama dan setara dengan laki-laki.

Sayangnya, jumlah sama sekali belum menjadi penopang untuk membuktikan bahwa perempuan masuk dalam kategori yang membanggakan, tidak hanya soal urusan rumah tangga, tetapi juga memegang peran di sektor publik.

Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah seruan imperatif untuk kembali ke hakikat sesungguhnya bahwa perempuan adalah makhluk yang dari ciptaannya adalah empu yang tidak hanya dihargai tetapi diterima sebagai makhluk yang diadakan untuk menyempurnakan hidup. Berkenaan dengan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret, penulis tergugah untuk membahas soal perempuan yang terlalu banyak dijadikan sebagai obyek dalam tataran hidup harian daripada subyek.


Sekilas sejarah

Sebagaimana dikutip dari www.lbh-apik.or.id (diakses pada 13 Februari 2010), Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan. Dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu. .

Berikut ini adalah kronologi singkat dari beberapa kejadian penting yang mengiringi perjalanan Hari Perempuan Sedunia. Tahun 1909 dalam rangkaian pendirian Partai Sosialis Amerika, Hari Perempuan Nasional pertama kali diperingati pada tanggal 28 Februari di Amerika Serikat. Hari hari tersebut kemudian terus diperingati perempuan pada setiap hari minggu terakhir bulan Februari sampai tahun 1913. Tahun 1910 pertemuan kelompok sosialis internasional di Copenhagen, Denmark, memutuskan untuk memilih Hari Perempuan Internasional sebagai penghormatan atas hak-hak asasi perempuan dan mendorong diperolehnya hak suara bagi semua perempuan di dunia. Keputusan ini diterima secara bulat oleh semua peserta yang diikuti oleh lebih dari 100 perempuan dari 17 negara, termasuk tiga perempuan pertama yang dipilih sebagai anggota Parlemen Finlandia. Pada saat itu, mereka belum memutuskan pada tanggal berapa peringatan hari tersebut akan diadakan. Tahun 1911 sebagai tindak lanjut dari keputusan yang telah diambil setahun sebelumnya, Hari Perempuan Sedunia untuk pertama kalinya diperingati (pada tanggal 19 Maret) di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss, dimana lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki bersama-sama turun ke jalan. Selain hak untuk ikut serta dalam pemilu dan posisi di dalam pemerintahan, mereka menuntut hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Kurang dari seminggu sejak peringatan tersebut, pada tanggal 25 Maret terjadi insiden tragis di New York yang menewaskan lebih dari 140 buruh perempuan yang kebanyakan adalah imigran asal Italia dan Yahudi. Kejadian ini sangat mempengaruhi peraturan perburuhan di Amerika Serikat dan kondisi kerja yang menyebabkan insiden ini terjadi kemudian dikecam habis-habisan selama peringatan Hari Perempuan Internasional tahun berikutnya.

Sebagai bagian dari upaya perdamaian yang berkembang selama berlangsungnya Perang Dunia I, perempuan Rusia memperingati Hari Perempuan Internasional untuk pertama kalinya pada hari Minggu terakhir bulan Februari 1913. Di belahan Eropa lainnya, pada atau sekitar tanggal 8 Maret di tahun berikutnya, perempuan berunjuk rasa baik untuk memprotes perang maupun sebagai ungkapan solidaritas kepada saudara-saudara perempuan di manapun juga.

Tahun 1917, karena dua juta tentara Rusia terbunuh dalam perang, perempuan Rusia sekali lagi turun ke jalan pada hari minggu terakhir di bulan Februari menyerukan "Roti dan Perdamaian". Para pemimpin politik menentang unjuk rasa tersebut, tetapi para perempuan ini tetap bertahan. Dan sejarah mencatat bahwa empat hari kemudian, czar (raja) turun tahta dan pemerintahan sementara mengakui hak perempuan untuk ikut serta dalam pemilu. Hari bersejarah itu jatuh pada tanggal 23 Februari di Kalender Julian yang digunakan di Rusia atau tanggal 8 Maret menurut kalender Gregorian (kalender Masehi yang juga kita gunakan). Dan sejak saat itulah Hari Perempuan Sedunia diperingati pada hari yang sama oleh perempuan di seluruh dunia.

Mengaca dari sejarah perjuangan perempuan tersebut di atas pada dasarnya perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata atau warga kelas dua (second class). Perempuan ada untuk membumikan keteduhan di bumi ini. Lihat saja bagaimana para perempuan turun ke jalan menyerukan 'roti dan perdamaian' dan terbukti raja pun turun tahta seperti perjuangan para perempuan Rusia. Banyak lelaki yang terbunuh dalam perang mendorong para perempuan untuk menyatakan suaranya bahwa perang sama sekali bukan jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian.

Seharusnya manusia, terlebih laki-laki, lebih menyadari bahwa perempuan mampu menjalankan peran privat dan publik. Peran privat maupun publik adalah unsur-unsur inheren yang berlaku universal. Peran privat maupun publik yang dijalankan perempuan adalah usaha untuk menggalakan karunia-karunia keperempuanan mereka yang istimewa yang dapat dijuluki sebagai kejeniusan kaum perempuan (Agus Alfons Duka, Ed. Voice in the Wilderness, Pesan Paus Paulus II untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 1979-2005, Ledalero-Maumere, hal 149).


Yang diempukan

Perempuan adalah empu. Empu berarti orang mencipta, orang yang menulis, orang yang berkarya. Perempuan yang diempukan berarti dalam diri perempuan terdapat anugerah elan vital yang dari rahimnya lahir generasi-generasi baru. Perempuan adalah ibu. Dia mengemban amanat menyimpan ovum penerus generasi. Pada dirinya ada sekian potensi yang hampir tidak ada pada laki-laki: kesabaran, kesungguhan, ketelatenan, kelembutan, ketahanan, dan sebagainya. Semua berbaur dengan keindahan dan daya tarik. Tampilan lugas perempuan mencerminkan kelebihan.
 

Perempuan yang diempukan berarti juga dalam dirinya tersimpan anugerah yang tidak dimiliki kaum maskulin. Inilah kelebihan perempuan yang oleh Yohanes Paulus II disebut dengan kejeniusan kaum perempuan. Oleh karena kita adalah orang-orang yang terhormat maka kita wajib menghormati perempuan. *

Pentingnya Pelajaran Sastra (Puisi) untuk Anak

Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Uniflor, Kru Buletin Sastra Seniman Kata
Kamis, 22 Oktober 2009 | 07:40 WITA




 

HERY Nurdi seorang pegiat sastra dan anggota komunitas Budaya Burung menceritakan pengalamannya tentang seorang anak yang mengajaknya berbicara tentang pusi.

Sebuah sore, seorang anak usia 12 tahun datang menemui saya di rumah. Saya tahu, anak ini adalah salah satu dari sekian banyak anak yang suka datang ke rumah saya untuk membaca. Saya tak ingat betul namanya, tapi saya tak ingin ia tahu bahwa saya tidak tahu namanya. Maka saya menyebutnya sebagai kamu, dan anak itu memanggil saya sebagai bapak. Di rumah, selain buku-buku tentang banyak hal seperti politik, filsafat, novel, dan beberapa tentang kedokteran, saya dan istri mempunyai buku anak-anak yang cukup beragam untuk anak-anak kampung tempat kami tinggal. Ada dongeng Handersen, ada cerita kumpulan cerita anak-anak asia, ada kumpulan haiku yang sudah diterjemahkan, ada majalah, ada komik, ada juga puisi-puisi yang meski karangan Sutardjie, Rendra, Subagio, Tagore, bahkan Pablo Neruda saya suguhkan pula untuk mereka.

"Yang suka silahkan baca, yang tidak jangan merusak," pesan saya setiap kali akan meninggalkan mereka, anak-anak ini biasanya membaca di rumah saya setiap hari libur. Anak tadi, yang berusia 12 tahun itu, yang saya sebut dengan kamu, datang sore hari ke rumah saya. Hari itu bukan jadwal, taman bacaan rumah saya buka. Tapi saya izinkan dia masuk, tapi ternyata dia memang datang untuk tidak membaca. Dia datang untuk bertanya.

"Pak, di sekolah saya, tadi pak guru bahasa Indonesia mengatakan bahwa puisi besar artinya." Anak ini berhenti bicara. Matanya menatap saya yang duduk bertentangan di sebuah tikar rotan.

"Terus..." ujar saya, merasa kalimat anak ini belum selesai seutuhnya.

"Emang puisi penting pak?" Sejenak saya terdiam. Saya tidak tahu persis, apakah puisi penting atau tidak. Tapi saya juga tidak ingin mengatakan bahwa puisi juga tidak penting. Saya tak menguasai benar ilmu tentang puisi atau yang semacamnya. Tapi saya juga tak ingin mengatakan pada anak ini saya tidak tahu apa-apa tentang puisi. Takut ia patah semangat dan tak ingin baca puisi lagi.

"Kamu senang baca puisi?" Untuk mengulur waktu saya lontarkan pertanyaan, sambil mencambuk sel-sel kecil kelabu dalam otak saya bekerja mencari semua kata yang berhubungan dengan puisi. Anak 12 tahun itu menjawab dirinya suka membaca, tapi belum bisa membuat puisi.

"Ah kamu bisa membuat dan menulis puisi," ujar saya, sambil memacu percepatan nueron-nueron dalam otak saya untuk lebih cepat lagi bekerja. BINGO! Saya menemukan sebuah hadits Nabi Muhammad dalam laci ingatan saya yang entah sudah berapa lama mengendap. "Jika ingin anakmu berani, maka ajarilah menulis dan membaca puisi," demikian petikan hadits yang saya yakin sangat tidak lengkap itu. Dengan cepat kukorek-korek isi otak, khususnya tentang hadits ini.

"Begini ya," kata saya memulai percakapan sambil berusaha menjaga intonasi suara agar tetap terdengar wibawa. "Puisi itu penting, paling tidak untuk kita sendiri." Saya memutar kembali otak, mencari cara yang paling mudah menjelaskan pentingnya arti puisi, sementara saya sendiri belum sadar betul tentang pentingnya puisi. Lalu, singkatnya saya ajak ngobrol si kamu ini tentang puisi.

Obrolan kami ngalor ngidul. Saya bilang puisi itu membuat penulisnya menjadi berani. Pertama tentu saja saya katakan, menumpahkan isi hati dalam bentuk puisi perlu keberanian sendiri. Lalu, keberanian juga diperlukan saat membaca, baik membaca sendiri maupun membacanya di depan teman-teman. Keberanian lain adalah berani menyatakan pendapat.

Kepentingan yang lain, ujar saya lagi, kamu jadi tahu bahwa kata-kata itu banyak. Bukan untuk melatih pandai berbicara dengan penguasaan banyak kata, tapi pandai mengidentifikasikan kata mana yang tepat untuk sebuah fenomena. Tentu saja dalam kalimat saya pada si kamu ini tidak saya gunakan identifikasi dan fenomena. Sekali lagi saya membuat penekanan tentang hal ini pada si kamu, bahwa penguasaan kata-kata sama artinya mempunyai cakrawala baru yang lebih luas, dunia yang lebih tua dari umurnya, kekuatan yang lebih besar dari tenaganya. "Bukan untuk keburukan dan mempermainkan arti dalam kata-kata, tapi untuk kebajikan dan menjernihkan semua," kata saya sambil mengawasi mimiknya yang saya terjemahkan, si kamu sedang bingung. Tapi ketika saya tanya mengerti, dia mengangguk tanda paham.

Lalu saya bilang lagi pada anak umur 12 tahun yang duduk di kelas VI ini. "Kalau nanti puisi-puisimu jadi terkenal, kamu bisa seperti Rendra yang keliling dunia." Saya juga bercerita tentang Sapardi Djoko Damono yang sekarang menjadi guru besar Fakultas Sastra UI, juga karena kepiawaiannya mengolah kata. Tak ketinggalan saya tuturkan pula tentang Goenawan Mohammad yang ketika itu, dalam usia belia sudah menjadi pemimpin majalah Ekspres, cikal bakal perusahaan media Tempo.

Obrolan kami terhenti. Adzan maghrib berkumandang, dan kami shalat berjamaah di ruang tengah rumah saya. Usai shalat, saya sudah berharap, ia akan segera meninggalkan rumah saya. Tapi ternyata tidak, si kamu masih berminat melanjutkan obrolan. Saya terheran, dia mempunyai daya tahan yang luar biasa untuk ngobrol dengan orang yang lebih tua dengan tema yang tak lazim untuk anak seusianya.

Setelah jeda, istri saya memberi segelas air putih pada anak ini. Lalu saya bercerita tentang Widji Tukul yang hilang sampai sekarang juga karena puisi. Saya juga bercerita tentang guru besar penyair Maliboro, Umbu Landu Paranggi yang juga tak jelas rimbanya. Saya juga menceritakan beberapa kisah hidup para penyair yang tak pernah hidup mewah karena jalan kepenyairan yang telah dipilihnya. Tentu saja saya bercerita dengan mengubah sisi-sisi sedih menjadi cerita heroik.

Sebelum adzan isya berkumandang, si kamu sudah menengok jam dinding yang saya tempel di dinding utara rumah saya. "Pak saya pulang dulu, takut dicari ibu," katanya usai melirik jam. Saya mengantarnya sampai di pintu pagar. Memandanginya sampai ditelan sebuah gang dalam kegelapan kampung saya. Diam-diam saya berdoa, benar-benar berdoa, agar Tuhan membetulkan pemahaman anak ini jika salah tentang puisi, karena aku tak yakin benar.

Seminggu lebih aku tak mendengar kabar lagi tentang anak ini. Sampai suatu malam, sepulang aku kerja dari kantor yang tak kenal jam kerja, istri saya bercerita. Si kamu, sore tadi ketika jadwal membaca di taman baca kami, meminta dengan sopan teman-temannya untuk berhenti sejenak membaca. Lalu ia membacakan sebuah puisi. Istri saya menyodorkan secarik kertas, berisi salinan puisi anak berumur dua belas tahun yang duduk di kelas VI itu.

malam ini di luar kamar turun hujan

aku belum bisa terpejam

bapak sudah seminggu hilang pekerjaan

adik sakit, dari hidungnya ingus berleleran

kakak, kemarin ketahuan merokok sepulang sekolahan

ibu, tadi sore menghitung uang

aku, aku sedih bukan main


Pengalaman yang diceritakan oleh Herry Nurdi, anggota komunitas budaya Musyawarah Burung di atas, menggugah saya untuk lebih dalam membahas tentang pentingnya pelajaran sastra (baca, puisi). Seorang anak berusia dua belas tahun dengan lugunya menggores puisi penuh makna, mengharu biru dan mendalam. Si Kamu dalam cerita Herry Nurdi adalah seorang anak yang mungkin kebingungan dengan penjelasan sang guru di sekolah lalu mencoba bertanya lebih lanjut tentang puisi. Ia suka membaca puisi tetapi mengaku belum bisa menulis puisi. Berbekalkan penjelasan dan pengalaman sebagai seorang anak yang selalu setia dengan taman baca, mengantar si Kamu pada keintensitasan untuk mengasah lebih peka dan ikhtiar memperhalus budi untuk memotret realitas.

Puisi sederhana yang ia tulis tentunya membawa kita pada pertanyaan sulitkah menulis puisi itu? Sesungguhnya tidak ada resep pembuatan puisi. Mengapa demikian? Karena itu ekspresi pribadi. Masing-masing penyair memiliki gayanya sendiri-sendiri. Kepandaian menulis puisi digodog oleh pengalaman penyair dalam menulis puisi. Penyair yang jam terbangnya tinggi akan memiliki pengalaman ekspresi yang tinggi pula. Dan yang terpenting mereka memiliki pengalaman kemanusiaan yang luas, kompleks dan memiliki daya analisis yang tajam. Si Kamu dalam cerita di atas tidak dapat disamakan dengan para penyair berkelas. Si Kamu adalah pemula, namun satu langkah maju yang ditampilkan oleh si Kamu adalah bagaimana ia membaca, membaca, dan menulis. Dan satu yang terpenting adalah bagaimana ia mengajak sang empunya taman baca untuk berdiskusi tentang puisi. Si Kamu adalah seorang yang tumbuh dalam iklim taman baca. Ia mencerap segala sesuatu yang dibaca dengan segala keterbatasannya untuk mencoba memahaminya. Dan ia berhasil menulis sebuah sajak, sangat subyektif, khas anak-anak, tapi di situlah letak keunikannya. Realitas keluarga dipotret dalam horizon yang lugu tapi mendalam dan mengharu biru.

Penulisan puisi, atau dengan meminjam kias sifat ketuhanan, menurut ilmu agama, pen-cipta-an sebuah sajak dilakukan seseorang dalam iklim budaya, iklim sastra. Ia, si penyair atau penyuka puisi bukan membuat sesuatu dari yang tiada. Sajak/puisi adalah jadi-jadian. Lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki dan dibina oleh si penyair atau penyuka puisi (bdk, Sitor Situmorang, Bunga di atas batu, si anak hilang, Gramedia, hal, 350). Ide (sajak/puisi) itu mirip konsep Plato sebagai rumus filsafat, berupa bentuk dasar, dapatlah dicatat bahwa budaya manusia padat dengan ide-ide yang dikembangkan, diwariskan, dicerap, ditimang-timang dalam hati atau benak. Hasil akumulasi lewat pewarisan (pendidikan), saling mempengaruhi, proses saling membenihi antarbudaya umat manusia dan antarmanusia sepanjang sejarah. Sajak memang dikembangkan dari sesuatu ide, dalam pengertian filsafat secara demikian, dikembangkan oleh si penyair atau penyuka puisi dengan bahasanya sendiri, dituangkannya dalam bahasanya sendiri.
 

Menulis puisi itu ibarat menembus kabut. Kabut itu menghadirkan kesuraman, keremang-remangan. Percaya atau tidak, tapi kekurangan kita di NTT yakni belum tumbuh suburnya budaya membaca. Akibatnya, kita masih harus berjuang untuk menembus kabut dalam dunia sastra (puisi). Tinta, pena, jari, hati yang berpadu dengan ide tak mungkin menghasilkan sebuah sajak/puisi kalau tanpa membaca dan kejelian memotret realitas. Mari kita coba menembus kabut puisi itu dengan memotivasi anak-anak kita untuk terus membaca, membaca dan membaca seperti si Kamu di atas. *

Menukik dari Pinggir

Oleh Hengky Ola Sura
Kamis, 9 Juli 2009 | 07:57 WITA




BETA (Beranda Kita) adalah kolom yang hadir setiap hari Senin pada Pos Kupang. Kolom yang diasuh Pemred Pos Kupang (selanjutnya disebut Beta) ini tak lain adalah ekspresi seorang wartawan yang coba mengulas lebih ringan, bernas dan jenaka akan semua yang telah menjadi pemberitaan Pos Kupang pada hari-hari sebelumnya.

Pilihan topik yang diulas pun hal-hal yang kurang mendapat perhatian publik NTT. Dan di sinilah letak kekuatan dari Beta. Beta, hemat penulis merupakan sebuah ulasan tak bedanya catatan pinggir pada Mingguan Tempo yang diasuh redaktur senior Tempo Goenawan Mohammad.

Mengapa Beta? Pertanyaan sederhana ini menjadi kajian penulis yang selalu setia menekuni Beta pada setiap edisi Senin. Beta tak ubahnya sebuah jurnalisme sastrawi. Ia menukik dari pinggir dan menghantam, mengajak semua pembaca untuk tidak sejenak merenung, tetapi mencoba tercenung dan merenung lebih lama akan hakekat hidup dan kehidupan yang seringkali luput untuk diperhatikan.

Beta menulis tentang Alorawe. Alorawe yang tidak terkenal itu sontak menghentak dan menggugat. Menggugat kebijakan sinterklas yang ditempuh pemerintah dengan rasa bangga selama ini melalui program beras untuk keluarga miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT). Alorawe sekadar berita kecil demikian tulis Beta yang mungkin tak sempat dikecapi isinya oleh tuan dan puan (PK, Beta, Senin, 8 Juni 2009).

Alorawe memang hanya sebuah desa kecil di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagakeo. Berita tentang Alorawe pun tidak memiliki daya ledak tinggi. Desa yang terpencil dan terisolir ini tidak memiliki jalan. Bayangkan sudah setengah abad lebih kita merdeka dan salah satu aspek infrastruktur berupa jalan raya pun sama sekali tidak ada untuk warga Alorawe. Kisah yang diangkat Beta ini sungguh sebuah kisah dari pinggir, yang mencoba menembus sekat kemapanan sinterklas di lingkup Propinsi NTT dan Kabupaten Nagekeo sendiri untuk mencari alternatif tentang pembangunan.

Kolom Beta adalah sebuah kolom yang menurut penulis adalah sebuah kolom yang tak hanya sekadar menulis kembali semua yang menjadi pemberitaan Pos Kupang, melainkan lebih dari itu kolom Beta adalah sebuah kolom estetika. Estetika artinya ilmu tentang keindahan atau cabang filsafat yang membahas tentang keindahan yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat dan sebuah karya seni.

Beta identik dengan gulma tetapi bukan sembarang gulma. Kalau dalam dunia tanam-tanaman, gulma adalah tanaman pengganggu, maka Beta adalah gulma yang mengikat, menjerat, mencekik dan merasuk rasa nyaman orang-orang terhormat yang memang senang menerima penghormatan dan disapa dengan Yang Terhormat.

Simak ulasan Yth (PK, Beta, 22 Juni 2009). Cincin emas-berlian tanda ucapan terima kasih atas pengabdian yang luar biasa selama lima tahun memperjuangkan aspirasi rakyat Flobamora. Mereka yang selalu disapa Yth meski rumah dinas untuk mereka yang dibangun dengan uang pajak rakyat dibiarkan tanpa penghuni. Persoalannya bukan soal cincin emas karena telah memperjuangkan aspirasi rakyat (yang belum tentu juga benar) tetapi sapaan Yth jangan-jangan mirip talkshow negeri impian di televisi. Bangga karena selalu disapa Yth tetapi sebenarnya kegalauan sedang meliputi seluruh diri (apa sih yang telah diperjuangkan Yth, seperti saya ini?).

Demikian pertanyaan yang senantiasa mengganggu pikiran dan benak si Yth. Kemajuan tidak diukur dengan berdasarkan semakin banyaknya jumlah sapaan Yth. Ulasan Beta tentang Yth adalah sebuah bentuk protes akan kondisi impersonal, kondisi Yth sebagai manusia tanpa kemanusiaanya, tanpa kepribadian.

Para Yth di negeri ini memang harus senantiasa diusik agar jangan sampai mereka lelap. Maka suara Beta sebenarnya adalah seruan yang membangunkan para Yth dari tidur lelap. Yth harus diajak, diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan pengganggu tentang kebijakan-kebijakan yang diambil yang menyangkut masalah hidup orang banyak agar Propinsi NTT tidak terus-menerus dicap punya hobi unik yakni mengoleksi MoU (Memorandum of Understanding) yang selalu tidak tepat sasar.

Pos Kupang pada kolom Beta 1 Juni 2009 menulis demikian, coba periksa fakta di beranda Flobamora, adakah MoU yang sungguh menjejak bumi? Mudahkah tuan menemukan penjabatan konkret atau agenda aksi demi merealisasikan nota kesepahaman yang telah ditandatangani? MoU sungguh menebar pesona.. Suatu hari diakhir masa jabatan, terjadilah serah terima jabatan. Pejabat lama maju menyerahkan memori kepada penggantinya. Dia mengucap sepata dua kata. Hadirin yang terhormat, selama masa kepemimpinan saya, lembaga ini membuat sejarah. Saya menandatangani MoU dengan 50 mitra. Tidak ada institusi seperti kita! Pejabat baru menerima memori itu dengan senyum terangguk. Bangga! Tepuk riuh membahana.

MoU seperti yang disuarakan Beta merupakan sebuah pelajaran teramat berharga bahwa MoU harus telak benar mendarat dengan apa yang menjadi harapan rakyat banyak. Beta dalam seruan ini jelas menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat sebagai korban dari MoU yang menindas. Beta mengingatkan bahwa MoU yang selalu melingkupi kehidupan rakyat banyak jangan sampai menjadi ironi.

Kolom Beta sesungguhnya adalah sebuah kritik sosial yang senantiasa menukik dari pinggir. Ia harus memulai dari pinggir, mengangkat realitas pinggiran yang sering terlewatkan dan menukiknya dalam-dalam. Tukikan itulah yang diulas dalam kolom Beta. Beta menjadi pengganggu, tukang kritik yang harus senantiasa ada untuk menyatakan bahwa diam-diam dalam keharmonisan itu tidak baik. Sebab keharmonisan kadang menjadi hegemonik yang menciptakan ketimpangan. Maka perlawanan dengan menukik dari pinggir adalah penting.



Ketua Buletin Sastra Seniman Kata Uniflor, bergiat pada Sanggar Sastra Sint. Conrad Ende

Temporamus Labuntur

Oleh Hengky Ola Sura
Rabu, 30 Desember 2009 | 01:33 WITA


"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?

Sunyi.

Di teras: waktu merayap.

Malam mengalir.

Aku duduk tapi melayang.

Di langit berkeriap bintang-bintang.

Dan di jalan-jalan berkecipak perang.

Seperti di hatiku.

Mungkin juga di hatimu".


Ahmad Nurulah





 PENGGALAN puisi Ahmad Nurulah di atas dimuat pada kumpulan sajak Bentara Kompas tahun 2000. Puisi tersebut sesungguhnya adalah sebuah tanya akan eksistensi Tuhan Sang Pencipta sebelum jagat raya diciptakan. Dan pertanyaan itu tak akan terjawab sampai kapan pun. Sebuah pertanyaan tentang waktu yang merayap, waktu yang mengalir begitu cepatnya, temporamus labuntur.

Bumi, jagat ini adalah bentuk representasi akan adanya Tuhan. Pada langit yang berkeriap bintang-bintang, manusia hanya bisa merenung, mengkontemplasikan akan adanya 'sesuatu' yang kita sebut Tuhan, causa prima, ada tanpa ada yang menyebabkan. Manusia yang hidup dalam ruang jagat toh hanya bisa saling bertanya tentang misteri waktu yang terus berputar. Manusia boleh tahu tentang luasnya alam semesta ini, semakin ia mengetahui, makin pula jagat ini menyendiri dan manusia terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang cepat hilang dari ingatan manusia saat ia mati dalam diamnya.

Tapi pada saat yang sama, dalam keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Hidup begitu dekat dan ketiadaan (baca: Tuhan, ada dari yang tidak ada) begitu megah. Dan kita boleh merenung dengan sajak Sitor Situmorang "Catedral des Chartes' dalam kumpulan sajak Bunga di Atas Batu bunyinya demikian "hidup dan kiamat bersatu padu."

Memang ada yang murung dan menakutkan dalam hidup. Saat di mana manusia merasakan hampir-hampir tak punya daya dengan semua persoalan. Saya kira apa yang dibahasakan oleh Ahmad Nurulah dan Sitor dalam bahasa puisi sebenarnya bahasa yang tak datang dari kesendirian. Semua berangkat dari realitas. Ahmad dan Sitor pasti mati seperti kita juga akan mati, namun kata-kata mereka akan menjadi semacam peringatan, refleksi yang menggugah kita. Kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya hidup terus, melampaui atau mengatasi kehadiran kita.

Tahun 2009 akan berakhir dan kita memasuki tahun 2010. Banyak kenangan pahit dan manis telah kita lewati. Semuanya seperti baru kemarin. Seperti sebuah tirai jendela yang disingkapkan ketika datang fajar dan ditutup kembali ketika senja mulai kemuning dan kegelapan perlahan merayap turun.


Memandang penuh harap

Waktu tak juga mati. Waktu adalah kehidupan, modal utama, dan kekayaan paling berharga yang dimiliki setiap kita. Oleh karena itulah kita siap menyambut tahun 2010. Kita ibarat burung yang siap mengepakkan sayap lagi ketika sejenak hinggap pada dahan 2009.

Waktu memang tak terduga, waktu mengalir begitu cepatnya. Waktu membuat kita seperti melayang terbang nun jauh. Waktu membuat kita merasa di hati kita adanya getaran-getaran yang berkecipak dari semua pengalaman hidup suka dan duka. Ada perang, begitu kata Ahmad Nurulah, seperti di hatiku, mungkin juga di hatimu.

Hidup adalah sebuah arus eksistensi yang selalu lahir kembali untuk terus diperjuangkan. Dan kita adalah orang-orang yang perlu mendesain makna hidup itu agar kita menjadi manusia-manusia yang mempunyai harapan untuk bangun dari semua kenangan keterpurukan kita.

Tahun 2010 ibarat sebuah lahan yang siap digarap dengan rasa syukur. Rasa syukur karena kita diberikan lagi kesempatan oleh Sang Pencipta untuk memandang matahari 2010. Rasa syukur kita hendaknya menjadi sebuah momen etis. Ia tak menuntut konsep. Seperti puisi (Goenawan Mohamad, "Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai", Penerbit Kata Kita, Jakarta, 2008 hal 55).

Waktu memang tak berbunyi, tak bersuara tak merisaukan tergantung bagaimana kita memaknai waktu dengan terus-menerus menjadikan waktu yang terberi dengan sebaik-baiknya. Kita memandang penuh harap, belajar dari 2009 dan siap maju menyongsong 2010. Kita mesti bersyukur atas waktu yang terus meluncur. Bersyukur memandang matahari 2010 dan dalam doa-doa syukur kita bersama mendengungkan O Sole Mio (oh Matahariku). Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris menulis, "Bila matahari tertawa, jiwaku lebih mendekat ke Tuhan." *


Mahasiswa Uniflor Ende, Ketua Buletin Sastra Seniman Kata

Tanah Air, Pemuda dan Vitalitas

Oleh Hengky Ola Sura
Peminat sastra, bergiat pada Sanggar Sastra Sint. Conrad, tinggal di Ende




SAYA selalu teringat pada lagu tanah air yang diajarkan ibu guru saat sekolah dasar kelas satu. Naluri kekanak-kanakan saya tanpa pretensi dan tendensi menyadari bahwa tanah air ternyata adalah juga 'tanah darah'. Keluguan sifat anak-anak sesungguhnya benar-benar melekat dalam benak saya dan kawan-kawan saya. Kami bangga dengan ibu guru yang mengajarkan lagu tersebut. Tanah tempat kami lahir adalah lokus yang mengajarkan bahwa kami harus mencintai tanah air dengan jiwa patriotisme, begitu kata-kata ibu guru dan kami mengangguk-angguk setuju. Tanpa pernah mengerti apa itu patriotisme. Lirik lagunya 'di sana tempat lahir beta (negeri Indonesia), dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata'.

Tapi ketika menjadi orang muda yang penuh dengan vitalitas, saya setuju dengan apa yang digoreskan Goenawan Mohamad bahwa, 'tempat' dalam lirik lagu di atas adalah juga berarti tanah 'tumpah darah'. Darah selalu menerbitkan imagi yang dramatis, apalagi darah yang 'tumpah'. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. 'Darah yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara, risiko, bahaya dan sengketa.

Dari perbedaan itu penulis mengerti mengapa sebuah negeri bisa begitu berarti bagi diri kita. Hampir semua negeri mempunyai trauma, meskipun tak selamanya diakui atau diingat lagi. Dan kita harus pergi dari masa lalu walau itu terasa sangat menyakitkan. Kita tak pernah mau membongkar derita. Oleh karena kita adalah orang-orang terjajah/orang-orang kecil. Benar juga bahwa sejarah selalu milik kepunyaan orang yang berkuasa. Orang-orang muda adalah juga sebagian dari orang-orang yang kalah, yang vitalitas dan suara kritisnya dibungkam.

Berkenaan dengan hari ulang tahun Sumpah Pemuda yang ke delapan puluh, penulis mencoba menggores realitas yang kini sedang terjadi dengan kaum muda Indonesia dan vitalitas mereka, sembari mengaca dari perjuangan para pemuda delapan puluh tahun silam sebagai batu pijak untuk maju satu langkah lebih elegan menatap masa depan dalam mendiami tanah air yang selalu sarat makna penderitaan.

Kaum muda delapan puluh tahun silam adalah orang-orang yang menyadari bahwa darah yang tumpah oleh sakit bersalin ibu dan pengerangkengan rezim penjajah harus diganti dengan hidup anggun di tanah kelahiran dan terlebih bangga berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Tekad pemuda delapan puluh tahun silam telah menjadi nyata dan buktinya, Indonesia kini berdiri sebagai sebuah negara berdaulat yang disegani dimata dunia.

Sampai di sini kita jangan terlebih dahulu mengklaim perjuangan para pemuda sudah selesai. Indonesia di mata dunia adalah sebuah negeri yang sedang terperosok berbagai tatanan kehidupan bernegaranya. Mulai dari ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan yang utama adalah moral kaum mudanya yang tenggelam dalam budaya hedonis dan mental instan.

Contoh paling nyata yang penulis jumpai adalah hampir sebagian besar mahasiswa di Kota Ende gemar nampang di jalan-jalan tanpa suka memanfaatkan waktu untuk berada di perpustakaan atau menumbuhkan semangat dan minat baca. Ada lagi mahasiswa yang kalau lagi kumpul bersama kawan-kawannya lebih suka mengumpulkan uang untuk membeli moke dan minum bersama sampai teler tanpa pernah menyadari bahwa alangkah lebih baik uang tersebut dipergunakan untuk membeli buku bacaan untuk menambah wawasan dan koleksi pustaka pribadi. Atau mendiskusikan pelajaran atau juga situasi aktual yang menjadi perbincangan publik. Mahasiswa yang bakal tampil sebagai agen pembaruan ternyata lebih menikmati diktat-diktat tebal tiap mata kuliah tanpa memiliki paling kurang dua sampai tiga buku pegangan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum muda seperti ini yang bakal menciptakan dan memberi pembelajaran untuk generasi selanjutnya?

Berhadapan dengan kenyataan yang ada, penulis dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang mengelisahkan, akankah ada 'darah yang tumpah' dari sebuah masa yang akan datang di negeri bernama Indonesia atau dalam lingkup Propinsi NTT? NTT yang sarat dengan aneka julukan keterbelakangan, toh akan tetap melahirkan generasi yang pincang pola dan cara berpikirnya hanya karena kaum mudanya tengah dibeliti spirit hedonis dan mental instan dari sebuah gaya hidup yang tak tentu arah dan tujuan hidup.

Ini menjadi bukti jelas bahwa ketika ada perjuangan dan itikad baik dari sekelompok mahasiswa yang berjuang melawan status quo yang sudah terlalu 'karat' dipraktekkan dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Mereka justeru dicap sebagai oposan yang baru belajar berorganisasi dan dicap pembangkang dan penganut paham radikalisme yang laten dalam sebuah tatanan hidup bermasyarakat hanya karena sebagian besar pemuda NTT lebih senang menikmati dunia mudanya tanpa pernah berpikir bahwa manusia sebagai makhluk yang menyejarah adalah juga membutuhkan semacam eksistensi diri dari aktualisasi yang layak diperhitungkan suara kritisnya.

Peringatan delapan puluh tahun Sumpah Pemuda hendaknya menjadi nyanyian penuh kewaspadaan bahwa 'darah yang tumpah' adalah sebuah pengorbanan luhur dari kaum muda untuk lebih bersemangat menciptakan ide-ide kreatif bagi perkembangan mutu hidupnya sebagai modal dasar untuk menjadi lebih baik. Menjadi lebih elegan dalam mengetrapkan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang kini mulai kabur akibat pelbagai aksi separatis.

Kita tahu bahwa Indonesia saat ini tengah dilanda aneka kemerosotan nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda. Papua menuntut merdeka, Maluku menuntut merdeka, Aceh pun demikian. Oleh karena itu vitalitas dalam ranah konstruktif yang positif layak dikedepankan untuk mempertahankan Indonesia yang satu dan berdaulat di mata dunia. Hal ini mau tidak mau harus menjadi fokus perhatian kaum muda.

Semoga saja nyanyian masa kecil 'di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata' tetap menjadi sebuah negeri yang kalau dikenangkan tidak sampai menjadi 'terkenang sayu' melainkan terkenang tidak untuk saat ini saja, tetapi pula untuk generasi kaum muda dan anak-anak yang bakal menyanyikan lagu tersebut karena negerinya adalah juga tempat berdiam jiwanya. *

Saturday, 17 April 2010

Menafsir Ke-Indonesiaan untuk Berubah

Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Uniflor, Ende
Rabu, 28 Oktober 2009 | 15:26 WITA




PENGALAMAN sejarah menunjukkan bahwa kaum muda selalu mempunyai peranan unik untuk menunjukkan kiprah intelektualnya. Ke-Indonesiaan yang awalnya tulus dan terus membangsa, dalam seruan 'kami bangsa Indonesia' dalam teks kultural 1928, ikrar berbahasa satu, bertanah air satu, berbangsa satu Indonesia dari keragaman itu pernah jatuh dalam otoritarianisme demokrasi terpimpin Soekarno.

Jatuh dalam demokrasi paternalistik keluarga Soeharto hingga persoalan kekuasaan yang terpusat. Dan korupsi yang meletakkan ke-Indonesiaan dalam jurang ketidakadilan pusat dan daerah, lokal dan nasional. Ke-Indonesiaan pun mulai luntur. Nasionalime pudar dan beberapa daerah di tanah air menuntut berpisah. Pada titik ini kita kembali mengenang perjuangan para pemuda dan kiprahnya.

Kiprah pemuda pada setiap generasi punya peranan yang tak bisa dipandang sebelah mata ataupun disepelehkan. Ke- Indonesiaan awal justru tumbuh dan lahir dari pemuda. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda sebagai makhluk istimewa karena peran intelektualnya. Orde Lama tergusur karena kiprah pemuda. Orde Baru lahir berkat demonstrasi mahasiswa yang terkenal dengan angkatan 66, tapi demonstrasi angkatan '98 pula yang menjatuhkannya. Setelah rezim itu tumbang, demonstrasi merupakan pilihan tepat berbagai kalangan untuk menyatakan aspirasi mereka, terutama pemuda. Geliat politik di masa krisis sangat diwarnai aksi-aksi demonstrasi. Pelakunya meluas dari mahasiswa ke berbagai gerakan : prodemokrasi, buruh, dan organisasi kemasyarakatan. Pada masa pemerintahan Soeharto dan BJ Habibie, setiap aksi demonstrasi selalu dibalas dengan redaman represif oleh aparat keamanan.

Pada masa pemerintahan sesudahnya ataupun saat ini, aparat relatif menjaga jarak. Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, maka ke-Indonesiaan kita perlu diperbaharui lagi. Menafsir ke- Indonesiaan adalah sangat urgen dan signifikan, bagaimana pemerintah dan mahasiswa (pemuda) perlu menggalang sebuah cara baru yang lebih kreatif agar ke-Indonesiaan itu semakin elegan dan berwibawa. Pertama, patut dicatat dan disadari bahwa proses menjadi Indonesia adalah perjuangan awal dari ikrar Sumpah Pemuda dan oleh para pendiri bangsa diproklamirkan secara politis pada 17 Agustus 1945 sebagai Republik Indonesia. Oleh karena itu yang menjadi prioritas bagi pemerintah dan pemuda adalah membangun solidaritas dan menafsirkan keragaman sebagai bentuk yang harus dihormati dalam bahasa hukum dan HAM.

Dua refleksi pokok yang harus diperhatikan dan jangan sampai membuat ke-Indonesiaan merosot apabila tidak diindahkan. Pertama, korupsi sebagai sumber melemahnya sistem dan demoralisasi moral pejabat pemerintah sampai menciptakan mentalitas dan budaya korupsi. Inilah yang harus menjadi fokus agar moral pejabat tidak sampai jatuh. Pada tahap ini, pemuda Indonesia hendaknya terus menjadi semacam 'alarm' yang mengkritisi pelbagai kebijakan pemerintah yang menyimpang.

Kedua, adalah karena kesadaran yang lambat untuk membedakan mana yang privat dan publik; lalu krisis pendidikan yang tidak mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam cerah budi dan bening nurani, maka harga yang harus dibayar adalah kemerosotan nilai-nilai yang sudah membudaya, anarkisme dan 'distrust'. Dua hal ini menjadi semacam tafsiran untuk membaca bahwa ke-Indonesiaan bukan milik pemerintah sebagai penguasa, tetapi lebih kepada sebagai pelayan yang ada untuk rakyatnya.

Pada momen ini, pemerintah diharapkan memperhatikan dan memberi ruang gerak kepada pemuda. Pemuda akan tampil sebagai pejuang yang memiliki andil dalam wacana tentang 'civil society' atau masyarakat sipil sebagai entitas yang diharapkan mampu menjaga stabilitas ke-Indonesiaan.

Pemuda juga sesungguhnya adalah cendekiawan yang punya andil dalam proses nation building dan pembentukan suatu masyarakat politik yang demokratis. Peringatan delapan puluh satu tahun Sumpah Pemuda membawa peran penting bagi pemuda saat ini untuk tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Pemuda sebagai cendekiawan muda adalah bagian integral dari rakyat, atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi pemuda ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Sumpah Pemuda adalah sebuah peristiwa dahsyat, sakral dan transendental. Sumpah di dalam Sumpah Pemuda merupakan tekad sekaligus ancaman agar tidak ada manusia Indonesia yang berani melanggar persatuan yang diperlukan untuk merenggut kemerdekaan. *

Puisi-Puisi Gody Usnaat-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

POHON SINYAL :buat Anna 1/  sudah dua jam aku duduk di bawa pohon sinyal menanti sinyal datang  hinggap dan berki...