Oleh Hengky Ola SuraKetua Sanggar Sastra Sint Conrad.
MENULIS puisi adalah ibarat memasuki alam serat seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin- memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Maka sastrawan adalah insinyur jiwa manusia. Mengapa? Karena dengan memasuki alam serat, sebenarnya mereka sedang pilin- memilin kata yang ekspresif untuk membangun kedalaman dari jiwa para pembacanya untuk turut merasakan, memahami, mengejawantah apa yang seharusnya boleh dilakukan. Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh dan sadar. Tetapi lebih dari itu adalah bagaimana penyair menciptakan sebuah ekspresi jiwa dari goresan penanya. Goresan pena itu kemudian mampu membangkitkan, menyentuh nurani terdalam jiwa manusia bahkan struktur sosial dan peraturan sebuah bangsa dan negara yang kaku, yang mapan untuk sejenak merefleksikan dan mengintrospeksikan diri dari kemapanannya.
Adalah Diana Ferrus, penyair dari Afrika Selatan dan penulis masalah perempuan di Universitas Utrecht, Belanda memasuki 'alam serat' dengan jalinan kata yang ekspresif mampu merombak struktur peraturan perundang-undangan negara Perancis yang nyaris tak bisa diganggu-gugat untuk sejenak berefleksi dan membuat introspeksi diri mengenai undang- undang negaranya. Diana Ferrus sungguh merasa gelisah dengan kisah seorang perempuan bernama Sarah Bartmann yang seasal dengannya yang terjadi pada tahun 1810. Sarah Bartmann perempuan dari suku Hottenhot terbujuk untuk mengembara ke Inggris agar bisa menjadi seorang penyanyi. Perempuan berusia dua puluh tahun dari Afrika Selatan itu lalu dibawa oleh dua pelindungnya ke Inggris. Tapi mereka pula yang mencampakkan dia ke Piccadily Circus sebagai barang tontonan. Sarah diikutkan dalam pawai dan dihidangkan kepada masyarakat sebagai makhluk aneh. Empat tahun kemudian, wanita muda ini dijual kepada seorang pelatih binatang di Perancis. Di Perancis, Sarah mengalami nasib yang sama buruknya. Entah ia hanya menjadi tontonan atau dipaksa melakukan perlakuan yang lebih hina, wanita yang rindu pulang kampung itu meninggal pada 1815. Jenazahnya tidak dikubur, tetapi diselamatkan oleh seorang ilmuwan dalam masa Napoleon. Tulang-belulangnya diambil. Otak dan kelaminnya diawetkan dalam formalin. Kemudian semua itu dipamerkan dalam museum kemanusiaan di Paris dengan label manusia setengah jadi alias manusia setengah binatang. Tragis, seorang manusia dipajang dengan label yang demikian.
Terusik oleh fakta itu, seorang penyair dari Cape Town, Diana Ferrus, yang sedang melakukan studi di Universitas Utrecht, Belanda tertarik untuk membawa pulang tubuh Sarah yang menjadi pajangan di museum Paris. "Kalau aku saja begitu rindu pada rumah dan kampung halaman, bagaimana dengan Sarah? Pastilah ia lebih kangen lagi kepada tanah airnya," ujar Diana. Sayangnya, sisa-sisa tubuh Sarah selama bertahun-tahun dijadikan benda pajangan bagi para turis tak boleh dibawa kembali ke tanah air. Undang-undang Perancis menetapkan, semua benda di dalam museum Perancis adalah milik negara Perancis, tak peduli dari mana pun asalnya. Trenyuh oleh bayang-bayang kerinduan itu, pada 1998 Diana menulis sebuah puisi dalam bahasa Afrika. Puisi itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Tribute to Sarah Bartmann. Dalam sajak itu Diana berjanji untuk membawa Sarah pulang kembali. Ia menyediakan tempat tidur, rumah, bahkan gemericik air, gunung, serta bunga- bunga yang sudah berkembang untuk kedatangan perempuan dari Hottenhot itu:
I have come to wrench you away
Away from the pocking eyes of the man-made monster
Who lives in the dark with his racist clutches of imperialism
Who dissects your body bit by bit
Who likens your soul to that of satan
And declared himself the ultimate God!
Aku datang untuk membebaskan engkau
dari tatapan mata sang monster ciptaan manusia
yang hidup dalam cengkraman ras imperialis
yang mengiris tubuhmu keping demi keping
yang mensejajarkan jiwamu dengan iblis
yang memaklumkan dirinya sebagai dewa tertinggi
(Terjemahan penulis)
Sajak itu lalu sampai ke hadapan senator Perancis Nicholas Abaut pada tahun 2001. Sajak itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Dengan diperkuat oleh sajak itu, Senator Nicholas Abaut maju ke dalam perdebatan Senat Perancis. Dia memperjuangkan agar Sarah kembali ke negerinya. Pada saat debat berlangsung, 29 Januari 2002, semua berdoa, menunggu dengan deg-degan. Ketika perdebatan berakhir dengan kemenangan, kami semua bersorak gembira, tutur Diana. Sajak itu lalu dimasukkan ke dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Perancis. Demikianlah, sisa tubuh Sarah diboyong kembali ke Afrika Selatan. Dia dikebumikan di atas Bukit Gamtoos di bagian Timur Cape Town pada 9 Agustus 2002. Sarah yang kemudian dijuluki Venus Hottenhot itu kemudian menjadi legenda. Dan Diana Ferrus adalah legenda yang hidup.
Menimbang kisah Sarah yang diperjuangkan Diana dalam sajaknya diatas maka sajak sesungguhnya telah menjadi kekuatan sosial yang luar biasa dan mengubah undang-undang di sebuah negara seperti Perancis. Sajak sebagai sebuah karya sastra telah tampil sebagai pejuang yang berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Jiwa kemanusiaan yang menguak dalam goresan yang ekspresif menjadi kekuatan sosial. Diana yang seorang penyair itu telah menggunakan belati tajam penanya dalam goresan puisi sebagai satu-satunya media untuk membebaskan Sarah. Dan mengajak banyak orang termasuk Senator Nicholas Abaut untuk sejenak merefleksi dan mengintrospeksi diri. Refleksi dan introspeksi diri adalah perhatian yang sungguh terlibat, terlibat untuk membangun kekuatan sosial yang membebaskan. Sesungguhnya didalam sajak Diana sendiri sudah termaktub sebuah kekuatan sosial yang menuntut perjuangan bersama. Sajak itu telah mempengaruhi begitu banyak orang untuk senantiasa berpikir dan melihat lebih tajam bahwa rasa sosial dan kemanusiaan yang dikungkung/dibelenggu harus diperjuangkan/dibebaskan. Puisi Diana Ferrus hanyalah sebuah 'kerikil tajam' yang melekat pada telapak sandal/sepatu yang mengkilap. Kerikil tajam itu dapat merobek telapak sandal/sepatu. Serentak dapat juga melukai telapak kaki para pemakainya. Atau dalam bahasanya Mudji Sutrisno, 'sebuah batu kecil yang jatuh di permukaan kolam tenang bernama kehidupan, akan membuat dua proses sekaligus. Pertama, 'suara kelepak' saat batu itu sendiri tepat jatuh di permukaan air. Kedua, terjadinya lingkar-lingkar gelombang yang semakin besar di air itu (Mudji Sutrisno : "Estetika Filsafat Keindahan," Kanisisus hal 147).
Apakah maksudnya itu? Puisi sebagai bagian dari karya sastra harus tampil dan mampu menunjukkan 'suara kelepak riak sekecil' apa pun di air danau kehidupan. Berjuang untuk membuat 'sobek telapak yang keras' pada tataran kehidupan. Maka apakah tandanya? Sajak harus juga bisa mengundang tanda tanya dalam sanubari para pembacanya, ia menggerus dalam-dalam kalbu para pembacanya. Jiwa sajak itu sendiri harus membangkitkan ketergugahan. Ia menggugat ketenangan hidup yang mapan semu. Ia menimbulkan polemik, mengajak orang untuk mengomentarinya. Menjadi penimbul hidup, gerak, kelepak, dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk berpikir. Dan apabila sudah berpikir usang terlalu lama, ia mengajak menggoda untuk berpikir dalam nuansa baru yang sebelumnya tenggelam dalam rutinitas dan kemapanan sehari- hari yang dangkal.
Lihatlah bagaimana Diana Ferrus berhasil 'melemparkan batu' dan membuat sangkut 'kerikil tajam' dalam goresan kata-katanya sebagai sebuah puisi yang bermakna. Sebagai seorang perempuan dari ras kulit hitam yang selalu saja dianggap masyarakat kelas dua dalam masyarakat, Diana telah menembus alam serat dengan menulis sebuah elegi yang berisi ungkapan rasa duka, atau keluh kesah karena sedih, rindu, gelisah dan murung. Diana menulis tidak hanya untuk menghibur dirinya sendiri yang gelisah, jiwa yang sesak tetapi ia telah menampilkan sebuah kekuatan sosial yang berciri transformatif. Kekuatan sosial yang berciri transformatif adalah kepedulian terhadap nasib orang-orang lain/sesama yang merasa terdesak.
Manusia seperti Sarah yang dipajang sebagai manusia setengah jadi alias manusia setengah binatang. Manusia yang dimarginalkan oleh sistem dan struktur yang kuat. Kekuatan berciri transformatif di lain pihak juga mampu menunjukkan jalan kesadaran atau perubahan struktur mana yang mestinya ditempuh agar terjadi perbaikan nasib. Entah dalam keadilan, entah dalam hal lebih mau saling menghormati hak-hak dasar sesama manusia. Kekuatan sosial yang transformatif pada akhirnya tidak berakhir hanya pada meneror, mengguncang kemapanan untuk menimbang pemecahan masalah, tetapi lebih jauh menggerakkan orang untuk 'mengambil cangkul', mengayunkannya lalu menyebarkan benih-benih bernama peradaban kemanusiaan.
Sastrawan, penyair harus tetap dan terus-menerus menembus serat bahkan menembus serat yang kusut untuk memberi bentuk dari kehidupan bermasyarakat yang carut- marut sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat yang membuat dirinya juga sesamanya terlempar. Seorang penyair Indonesia, Agam Wispi, menyaksikan keadaan itu diawal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya
Sajak Agam Wispi dengan judul Matinya Seorang Petani ini ternyata membuat merah telinga penguasa militer waktu itu sehingga sajak ini dilarang untuk terbit dan beredar. Militer lupa bahwa memberangus puisi adalah juga seperti membunuh petani, kekuasaan selamanya 'cuma dapat bangkainya'. Puisi dan pemberontakan adalah juga 'roh', tak pernah hanya bangkai. Petani yang mati dan puisi yang diberangus 'tetap hidup'. Puisi itu telah menjadi sebuah kekuatan sosial yang mengajarkan tentang kebenaran. Kebenaran bahwa petani adalah juga masyarakat dari sebuah negeri yang bernama Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya. Perjuangannya yang berakhir tragis dilukiskan secara amat lugu namun tajam oleh Agam Wispi. Puisi bukanlah karya imajinasi yang sia-sia, melainkan sebuah seni intelektual dari kedalaman hati yang berkobar, yang gelisah untuk membahasakan realitas yang terjadi. Sesungguhnya Diana Ferrus dan Agam Wispi tidak sedang menggores realitas yang keliru. Mereka sungguh menyadari bahwa puisi bukanlah goresan kata yang sekadar diekspresikan, melainkan nyanyian yang muncul dari luka yang berdarah atau bibir yang tersenyum. Bibir yang tersenyum dalam terminologi sains menandakan kontraksi otot- otot rahang. Namun dalam pemikiran filosofis dan puitis, senyuman mengekspresikan kesenangan, kebahagiaan atau mungkin ironi tergantung makna yang dituju oleh orang yang tersenyum. Diana Ferrus dan Agam Wispi adalah dua dari sekian banyak penyair otentik yang membawa sebuah misi 'messianik', 'misi mencerahkan' sesama umat manusia, dan struktur dari sebuah sistem yang membelenggu dan menindas. Misi messianik dan misi mencerahkan tidak berhenti pada batas-batas nasional negara, tetapi meluas untuk seluruh umat manusia. Penyair pada akhirnya sadar bahwa ia tidak hanya tampil untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Dengan demikian puisinya adalah sungguh sebuah kekuatan sosial yang menjadi pahlawan.*

